Hari libur dimanfaatkan oleh Bulan untuk bersantai, melepas kepenatan yang ditahannya sejak satu minggu belakangan. Pulang kuliah selalu harus bekerja, pulang malam. Atau jika teman-temannya mengajak bertemu, Bulan jadi mengurangi jam kerjanya. Lelah, tapi dia harus bertahan supaya bisa menabung untuk dirinya sendiri.
Sedangkan Biru, dia baru bangun pukul 7 pagi, dan keluar dari balkon kamar untuk sekedar merenggangkan badan. Sesekali matanya melirik ke samping, pintu bening kamar Bulan yang dilapisi tirai putih hingga tak membuat Biru bisa melihat apa yang dilakukan gadis itu.
"Satu, dua, satu, dua." Biru berusaha membuat suara sedikit lebih keras sambil melakukan peregangan supaya Bulan mendengar suaranya.
Tapi tidak ada suara dari dalam. Terlalu hening, sampai Biru mengira mungkin Bulan masih tidur.
Biru menghela napas. Rada gila dirinya, dia sadar itu. Biasanya dia tidak pernah sampai cari perhatian begini.
Biru sedikit membungkukkan tubuh dengan tangan menyangga pada besi pembatas balkon. Dia melihat ke bawah untuk sekedar meluruskan pandangan mata.
Dan, disanalah Bulan. Duduk di kursi panjang dekat kolam renang. Gadis itu diam dengan kacamata bertengger di hidung dan buku di depan wajahnya.
Pantas saja hening. Biru merasa perbuatannya tadi sangat memalukan walau tidak ada yang melihatnya. Birupun buru-buru masuk untuk berganti pakaian. Dia akan berenang.
Biru menuruni anak tangga dengan cepat. Lalu langkahnya melambat saat hampir mendekat. Biru diam, benar-benar diam saat melihat Bulan dari belakang.
Bulan berbaring miring dengan siku kiri yang menyangga sembari memegang buku. Kakinya menekuk indah bak model yang ingin di potrait. Kaos tipis putih, rambut cepol asal yang malah terlihat seksi di mata Biru.
"Sial." Desisnya saat darahnya mengalir kencang karena gairah yang meningkat.
Biru berusaha mengalihkan pikiran kotornya. Dia berjalan dan menempati kursi kosong yang di sisi berbeda dengan Bulan. Ekor matanya melirik, ingin tahu apakah Bulan sadar akan kehadirannya. Tapi sepertinya tidak. Sebab Bulan hanya diam dengan posisi yang sama seperti tadi.
Biru berdiri di tepi kolam, memulai pemanasan sebelum menceburkan diri ke dalam. Kembali dia melirik Bulan, dan gadis itu masih betah bergeming disana. Hanya satu kali gerakannya, hanya saat membalikkan lembar buku.
Byurr! Biru berenang. Dengan gaya bebas dia menyusuri kolam sepanjang dua puluh meter. Dia berhasil sampai ke pinggir dan mengibaskan rambut. Dia menatap Bulan. Gadis itu masih dengan posisi yang sama.
Biru kembali ke posisinya, berenang dengan gaya dada. Setelah menyentuh keramik berwarna biru di pinggir, Biru mengangkat kepala guna mengambil napas. Dan Bulan, masih pula tidak berubah.
Huuuh. Biru menghela napas berat saat menyadari bahwa dia benar-benar diabaikan. Biru merendamkan tubuh, melipat tangan di pinggir kolam, lalu menatap Bulan dengan kepala yang ia miringkan.
"Lirik sedikit saja, bisa?" Ucapnya berbisik seolah tengah bicara pada Bulan. Dua menit dia menunggu sambil menatap Bulan. Lagi-lagi gerakan Bulan hanya membalikkan lembar halaman.
Kecewa, Biru kembali berenang dengan lebih santai karena percuma, tidak ada yang memperhatikannya. Dia sampai di tepi, lalu menoleh ke arah Bulan. Gadis itu sudah tidak ada disana.
Biru menghela napas berat. Acara caper-nya tidak berhasil.
Biru berniat naik, tapi seseorang yang berdiri di depannya membuat Biru terkaget sesaat, sampai dia melihat dengan jelas Bulan berdiri dengan menenteng buku, menunduk melihat Biru.
"Bulan." Biru naik ke atas sampai tetesan air mengaliri tubuhnya. Dia tersenyum tipis, sementara di dalam hati riang gembira.
"Saya mau minta maaf, pak."
Dahi Biru berkerut. "Soal?"
"Emm.. saya belum selesai dengan tugasnya, pak. Tadi malam, saya ketiduran. Tapi siang ini saya bakalan kerjain kok. Please, jangan marah ya, pak."
Ohh. Soal itu. Biru manggut-manggut menyentuh dagu, pura-pura berpikir.
"Kasih saya waktu, pak. Tadi malam beneran kecapean. Siang ini saya selesaikan." Bulan menangkup kedua telapak tangan di dada.
"Oke kalau gitu."
Bulan tersenyum. "Makasih, pak. Kalau gitu saya permisi dulu." Pamit Bulan.
"Eh bentar!"
"Ya, pak?" Bulan menahan langkah.
"Ini kan, di rumah. Masa kamu panggil saya bapak." Protes Biru. 'Kalau panggil bapak begitu, kesannya kayak saya ini bapakmu, Bulan. Tua banget. Padahal saya masih cocok jadi pacar kamu.' Batinnya.
"Oh. I-iya. Kalau gitu, saya Permisi, kak."
Biru memperhatikan langkah Bulan yang tergesa-gesa. Dia lalu tertawa kecil, karena akhirnya berbicara juga dengan Bulan. Mana tadi mohon-mohon begitu, buat Biru gemas saja.
Sementara Bulan berjalan cepat-cepat tak sabar segera masuk ke kamar.
"Gawat-gawat-gawat..." Ucapnya sambil tergesa-gesa. Matanya tadi hampir saja turun melihat abs perut Biru. Sampai dia tegang sendiri. Kalau sampai dia melihat ke perut Biru, dan lelaki itu sadar, pasti malu banget.
Bulan menutup pintu kamar dan bersandar dibaliknya. Memegang jantung yang berdegup. "Gilaa. Mataku udah balik normal, nih?? Untung aja aku bisa nahan tangan buat ga nyentuh."
Pasalnya, saat dulu bersama Andra, Bulan tak bisa tidak menyentuh bahu Andra yang besar itu.
Bulan membuka telapak tangannya. "Bahaya kalian!" Ucapnya pada jari-jarinya. Belum lagi rambut hitam Biru yang basah tadi menetesi air ke wajahnya. Tampan dan seksi dalam satu waktu.
Sedetik kemudian, Bulan menggigit bibirnya. Dia lupa, kalau dia pernah berciuman dengan Biru.
"Sialan..." desisnya kesal saat otaknya tak lagi mampu berpikir jernih.
...🍀...
Bulan sampai di Gudwings. Dia duduk sebentar dan mengadahkan kepala di sandaran sofa ruang ganti. Padahal niatnya ingin bersantai. Tapi mendadak bosnya memintanya datang karena pekerja hari ini tidak bisa hadir. Terpaksa Bulan berangkat menggantikan.
"Hei."
Bulan menoleh sekilas, lalu kembali menatap langit-langit ruangan. "Kok datang, Pat."
"Main chef lagi libur. Gue disuruh gantiin." Patriot yang sudah berganti seragam, memperhatikan Bulan. Gadis itu kelihatan lesu. "Sakit, ya?"
"Engga. Cuma libur gini disuruh kerja itu, kayak...." Apa, ya. Bulan tidak tahu cara menggambarkannya. Dia udah mengkhayal akan tidur sepanjang hari.
"Masih ada setengah jam, kok. Istirahat aja dulu." Patriot keluar dapur dan membiarkan Bulan sendiri. Dia menuju depan. Dilihatnya dosen psikologinya sudah ada disana.
"Eh, kak Biru.." Sapa Patriot.
"Ngapain lu? Sana ke dapur!" Titah Nakula, kakak Patriot.
Bukannya nurut, lelaki itu malah duduk. "Selatan kok ga pernah main ke rumah lagi, kak. Padahal seru, lho, main sama Selat." Patriot dan Selatan hanya beda satu tahun. Dan yang membuat mereka akrab, tentu saja karena kakak mereka yang bersahabat.
"Coba aja telepon. Anak itu jarang di rumah." Jawab Biru. Matanya menuju pintu perbatasan, mencari Bulan disana.
"Oh ya, kak Biru tau nggak, kalau Bulan juga kerja disini."
Biru melirik Nakula, lalu memperbaiki posisi duduknya.
"Kok lu tau Biru dan Bulan saling kenal?" Tanya kakak Patriot.
"Lah, kan, kak Biru dosen kita!"
"Hah?" Nakula terbelalak kaget. "Bulan itu mahasiswa lo, Ru?"
Biru menggaruk kepala yang tak gatal. Dia memang sengaja melewatkan berita soal ini pada Nakula. Karena....
"Jadi lo naksir mahasiswi lo sendiri?"
"Hah? Kak Biru naksir Bulan?" Tanya Patriot dengan suara keras.
Nah, kan. Ini dia. Ini alasan yang buat Biru enggan banyak bicara. Kakak adik ini sifatnya sama saja. Biru sampai menahan malu karena beberapa pelayan yang kebetulan lewat mendengar pembicaraan mereka.
TBC
GUYS jangan lupa Vote😆
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Fifid Dwi Ariyani
trussrhat
2024-01-08
0
Afternoon Honey
💖💖💖
2023-11-02
2
랟 팰퍁
double up dong pen...
2023-09-28
1