Baik Bulan maupun Biru saling diam di dalam mobil. Hujan mulai reda walau gerimis deras masih membuat tetesan di kaca mobil Biru.
Tidak ada yang berani memulai pembicaraan. Sebab keduanya sama-sama mengutuk diri. Ciuman yang terjadi diantara mereka beberapa menit yang lalu di depan ruko tutup cukup memalukan. Apalagi ciuman itu terpisah lantaran genangan air lagi-lagi menyiram tubuh Biru saat ada mobil yang melaju kencang.
Bulan merapatkan tubuhnya ke pintu mobil. Sejak tadi jantunnya tidak bisa berhenti berpacu. Bukan karena gejolak perasaan suka yang timbul, namun rasa malu yang menguasai dirinya saat ini membuat Bulan ingin sekali kabur dari Biru.
Biru mengalihkan wajah ke arah lain saat tak bisa ia tahan senyuman yang ingin tampil di wajahnya saat ingatan lelaki itu bahkan mampu merasakan kembali balasan dari bibir Bulan. Biru merasa ada kupu-kupu bermain di perutnya, karena walau gadis itu tengah mengutuk diri, setidaknya Biru mengetahui bahwa Bulan menyukai kejadian tadi.
Dia menoleh, melihat Bulan yang menghantuk-hantukkan pelan kepalanya di kaca mobil. Ingin Biru tertawa, tetapi ia memilih berdehem kecil hingga Bulan membenarkan posisi duduknya menghadap depan.
"Bul-"
"Kak-"
Hening pun terjadi saat keduanya berbicara di detik yang sama.
"Kamu dulu.." Ujar Biru.
Bulan menunduk sebentar, lalu menatap Biru. "M-maafkan aku, kak." Suara Bulan tercekat, dia merasa bersalah juga karena telah berani menyentuh leher Biru. Padahal seharusnya dia tidak melakukan itu. Lalu soal ciuman, Bulan melipat bibirnya. Entah kenapa dia tidak bisa marah soal itu, dan sialnya dia malah ikut menikmati sentuhan hangat Biru yang sampai membuatnya lupa diri.
"Ga perlu minta maaf, Bulan. Seharusnya saya yang ucapin terima kasih karena kamu tidak menolak ciuman saya."
Bulan terbelalak sebentar, lalu menunduk saat tiba-tiba pipinya terasa panas memerah malu. 'A-apaan kak Biru...'
"Saya tau ini ga boleh. Kamu mahasiswi saya, juga sepupu. Tapi saya harus bicara jujur, kalau saya menyukai kamu, Bulan. Bukan sekedar suka biasa. Saya merasa kalau suka saya udah merambat ke hati yang dalam."
Bulan sontak menoleh. Tidak pernah ada dalam bayangannya bahwa Biru akan sejujur ini padanya. Biru, lelaki yang irit bicara ini tiba-tiba mengungkapkan rasa suka padanya? Ini rumit...
"Jangan liatin saya kaya gitu, Bulan. Saya ngga bohong, apalagi bercandain kamu."
Kini Bulan menunduk. Jantungnya gerdegup kencang sekali. Rasa dingin yang tadi ia rasakan mendadak hilang, diganti rasa gugup luar biasa. Perasaan asing ini membuat Bulan tidak bisa mengatakan apapun.
"Saya ga nuntut kamu buat jawab. Yang penting kamu tahu aja. Dan... tolong jangan hindari saya."
Bulan belum berani mengangkat kepala. Sebelum ini, Bulan menganggap Biru sebagai laki-laki yang tatapannya mengintimidasi. Hingga ruang lebar menjadi sempit, udara segar menjadi sesak jika Biru ada di dekatnya. Lalu, dari mana asalnya perasaan Biru itu? Bulan tidak mengerti, apa Biru hanya asal bicara?
"Kita pulang, ya. Baju kamu basah. Saya ga mau kamu sampe sakit dan melewatkan lagi kelas saya." Ucapnya. Tidak terdengar seperti perhatian ke orang yang disayang. Ini malah perhatian guru ke murid. Kemudian Biru menjalankan mobil, menerjang hujan yang kembali turun.
~
Sarapan kali ini terasa canggung bagi Bulan. Setelah semalam mengalami hal yang tak terduga dengan kakak sepupu, semua jadi berbeda. Ditambah pak dosen sudah menyatakan rasa sukanya pada Bulan sampai gadis itu kesulitan tidur. Suara Biru mengiang di telinganya. Tentu saja ini tidak membuat Bulan lantas bisa bersikap seperti biasa.
"Tapi serius, ma. Temen Selat ada yang udah tunangan..."
Bulan baru duduk. Di tersenyum canggung pada semua yang sudah duduk duluan di meja makan. Suasana tidak berubah, tetap ramai karena Selatan suka bercerita. Hanya perasaan Bulan saja yang tak enak, terlebih dari ekor matanya, dia bisa melihat Biru terus menatapnya.
"Kelas berapa emang?" Tanya Dina.
"Seangkatan Selat. Cuma cewenya udah pindah sekolah." Jawab Selatan. Lalu dia beralih ke papanya. "Itu lho, pa, yang waktu acara bisnis papanya jadi tamu yang paling penting. Nama anaknya Ariva. Dia tunangan sama anaknya mantan penyanyi Arga Alexander itu.." Seru Selatan menceritakan kejadian langka di sekolahnya. Cakra hanya mengangguk-angguk saat ingat siapa yang dimaksud anaknya.
"Berarti hubungannya serius, dong."
"Iya, kali. Lagian lebay banget ngapain sih, sampe tunangan."
Bulan mendengarkan sambil mengoles roti panggang dengan selai coklat.
"...apalagi mereka LDR. Cewenya di Rusia, cowoknya disini. Aku sih, ga yakin mereka bakal langgeng."
"Hush. Kok gitu ngomongnya."
"Namanya juga laki-laki. Apalagi cewenya ngga cantik-cantik amat. Malah cowoknya yang jadi incaran cewe-cewe. Yakin deh, ngga bakal kuat dia. Gayaan pake acara tunangan segala sampe ke Lombok sana."
"Bagus dong, berarti cowoknya serius."
Sahutan Bulan mendapat delikan dan kepala yang langsung miring. "Bagus?" Cebik Selatan.
Bulan mengangguk. "Ngga semua laki-laki punya mental pemberani kaya gitu. Kebanyakan gak serius dan malah mempermainkan."
Jawaban Bulan membuat Biru berhenti mengunyah. Dia serasa disentil gadis itu.
"Serius sih, serius. Tapi ga harus tunangan, kan. Pacaran juga bisa serius, kok. Kita tuh, masih SMA. Harusnya nikmati masa-masa muda. Main, cari kesenangan sana-sini. Kenalan ke banyak cewe untuk cari yang paling baik. Kalau tunangan secepat itu, buehh gampang miring tuh, si Arsya kalo ketemu yang lebih cakep."
"Itu tandanya pikiranmu masih anak-anak. Sedangkan dia sudah dewasa."
Bulan melirik Biru. Lelaki itu menyahut sambil menikmati rotinya. Bahkan tidak menatap Selatan yang termangu mendengar jawaban kakaknya. Bukan karena tersentil, Selatan hanya heran, kok kakaknya tumben bersuara.
Setelah sarapan, semua berangkat ke tujuan masing-masing. Cakra, Biru, dan Selatan sudah pergi. Kini Bulan berpamitan pada Dina. Lalu ia keluar pagar dan berhenti sebentar untuk mencari ojek atau taksi.
Ponselnya masih rusak. Rencananya siang nanti dia akan memperbaikinya.
Tak menunggu waktu lama, mobil Biru berhenti di depannya. Kacanya turun, Biru tersenyum. "Mau pergi bareng?"
Kali ini dia bertanya, tidak lagi memerintah seperti kemarin. Karena dia ingin Bulan tidak terpaksa ikut bersamanya. Dia mau, gadis itu masuk ke mobil karena memang ia menghendakinya.
Bulan memberi jeda sebelum menjawab. Kini otak Bulan menyuruhnya untuk irit-irit karena ia harus memperbaiki ponselnya yang rusak. Tidak mungkin dia minta uang Dina lagi karena dia sudah ada jatah bulanan.
Dengan sedikit kaku, Bulan membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. Gadis itu menahan matanya agar tidak melirik Biru. Dia duduk dengan tenang walau jantungnya lagi-lagi berdetak hebat.
Biru belum menjalankan mobil. Sebelumnya, ada sesuatu yang ingin dia tanyakan pada Bulan.
"Malam ini, kamu kerja?"
"Emm, siang ini sampai jam 6." Jawab Bulan dengan lirikan sekilas.
Ya, tentu Biru tahu. Sebab jadwal Bulan telah duluan dikirim oleh Nakula. Biru yang mengatur itu. Dia tidak mau Bulan kelelahan. Jadi sebelum Nakula mengirim pada Bulan, ia meminta Biru mengeceknya terlebih dahulu.
"Kalau gitu... mau dinner dengan saya, Bulan?"
Gadis itu menoleh dengan alis terangkat. Sedetik kemudian ia mengalihkan pandangan dengan napas tertahan. Bukankah ini terlalu tiba-tiba? Dinner... terdengar menyenangkan di telinga. Tapi Bulan tidak yakin dia bisa menelan makanan dengan benar saat duduk berdua dengan Biru nanti. Tapi dia juga tidak mau menolaknya.
"Gimana, Bulan?" Setelah kejadian kemarin, Biru tidak mau tinggal diam. Dia akan bergerak walau pelan-pelan karena tak ingin Bulan merasa tertekan dengan pendekatannya. Terlebih gadis itu sudah menyentilnya tadi. Tentu Biru tidak mau dianggap mempermainkan perasaannya.
"Oke."
Biru tersenyum puas mendengar jawaban itu. Langkah pertama berjalan mulus.
Sementara Bulan, menggigit lidahnya sambil menatap keluar jendela agar aksinya tidak dilihat Biru. Punggungnya tegak karena tubuhnya yang tegang.
"Sebentar." Biru ingin membantu Bulan memasang seatbelt, lelaki itu mencondongkan tubuhnya pada Bulan. Namun karena aksi tiba-tiba Biru itu, membuat Bulan menoleh dan seketika membeku tatkala ujung hidungnya menyentuh pipi Biru. Gadis itu sampai menahan napas. Benar-benar tidak bernapas.
Dengan jarak wajah yang sedekat itu, Biru tersenyum, lalu meraih seatbelt dan memasangkannya dengan benar.
Tidak ada kata yang keluar setelah itu, Bulan masih membeku seperti tadi.
Sementara Biru menjalankan mobil dengan hati yang berdesir. Dengan susah payah dia menahan wajah untuk tidak tersenyum saat ingatannya terus memunculkan cuplikan Bulan yang mencium pipinya. Mungkin hari ini tidak sengaja. Tapi suatu saat nanti, siapa yang tahu. Bisik Biru dalam hati.
To Be Continued...
** Eyy, udah singgah di DEAR MAJIKANKU YANG LUMPUH? Klik dibawah yaaa🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Fifid Dwi Ariyani
trusskses
2024-01-08
0
Ros Konggoasa
certax uda mulai asiii ni thor
2023-12-13
1
Efvi Ulyaniek
nah mbok ya kaya gini dr awal ngaku kan enak...masa bolak balik minta maaf trus Ben nyium
2023-11-28
0