Kelewatan jika selama ini Bulan mengabaikan aroma yang mengusik ingatannya. Pasalnya memang gadis itu sudah berusaha keras mengingat sampai ia terbayang lagi bagaimana harum Andra, siapa tahu sebenarnya itu bau Andra. Tapi bukan. Dan karena keputus asaan Bulan tentang aroma itu, dia mengabaikannya dan menganggap bahwa aroma itu mungkin yang ia sering cium di banyak tempat.
Dan hari ini, ingatan Bulan jelas sekali saat ia terpaku di pelukan Biru. Detak jantung pria ini, aroma, dan tempat yang sama saat Bulan mendaratkan pipinya di tubuh seseorang malam itu, malam dimana ia menghampiri Andra yang selingkuh di pub kota kelahirannya. Aroma dan bidang dada ini, sama persis dengan orang malam itu. Kesadaran Bulan memang hanya beberapa persen waktu itu, tapi dia sekarang ingat betul dan tidak salah, bahwa yang mengambil alih botol pecah di tangan Bulan adalah... Biru.
"Kamu ga apapa?"
Pertanyaan itu membuat Bulan tersadar seketika. Dia menjauhkan tubuhnya dari Biru. Mendadak Bulan salah tingkah.
Otaknya masih terus memaksanya mengingat, apa benar itu sepupunya? Bisa saja orang lain, sebab untuk apa Biru datang ke kotanya waktu itu...
"Bulan?"
"Ah, iya. Saya ngga apapa." Jawabnya tanpa melihat. Entah kenapa jantungnya juga ikut berdetak hebat.
"Baju saya basah. Ayo, saya antar pulang sekalian."
Bulan yang terselap sesaat, langsung mengangguk dan mengikuti langkah Biru di depannya.
Punggung lebar itu basah, memperlihatkan dengan jelas bentuknya. Bulan menundukkan pandangan. Dulu dia suka sekali melihat itu. Tapi sekarang, setiap melihat orang yang memiliki postur tubuh yang tak jauh beda dengan Andra, membuat Bulan berpikir lain. Padahal dia tahu tidak semua pria seperti Andra. Hanya saja, perlakuan Andra padanya masih sangat membekas di hati Bulan.
Bohong kalau dia tidak teringat Andra setiap hari. Apalagi siang tadi, kurir meneleponnya dan mengatakan bahwa mereka akan mengantar dua dus cetakan undangan yang telah dipesan. Dan dengan suara tercekat Bulan menyuruh mereka membuang saja semua itu. Pasalnya, mantan calon suaminya tidak menyukainya sama sekali.
Ah. Mengingat itu, kepala Bulan jadi pusing.
BUK! Bulan yang melamun membuat kepalanya tertabrak punggung Biru.
Lelaki itu diam mematung. Terasa di belakangnya jika Bulan menabraknya yang berhenti tiba-tiba. Biru menyentuh dadanya. Pikirannya yang berisik mempertanyakan apakah Bulan tadi mendengar detakan jantungnya ini? Bulan yang merebahkan kepalanya di dada Biru membuat lelaki itu membeku, sebenarnya. Getaran jantungnya memompa darah Biru semakin kencang sampai hasrat untuk menyeret perempuan ini ke kamar pun sempat terlintas di pikirannya.
"Masuk."
Tak ingin membuat Biru memerintah dua kali, Bulan pun masuk ke dalam mobil yang pintunya telah dibukakan oleh lelaki itu. Sempat membuat Bulan canggung, sebenarnya. Karena tak perlu Biru melakukan ini padanya.
Biru masuk ke dalam mobil. Dia tidak langsung menjalankannya, melainkan membuka kaos basah itu hingga memperlihatkan bentuk tubuh atletisnya.
Buru-buru Bulan membuang wajah ke jendela mobil yang tertutup. Jantungnya yang tadi sudah mulai berdetak normal harus kembali memburu saat ternyata ia masih bisa melihat tubuh Biru dari kaca mobil dengan sangat jelas.
Lelaki itu mengambil sesuatu di bangku belakang, membuat lengannya bersentuhan dengan kulit Bulan. Biru menarik tangannya karena sentuhan itu seperti aliran listrik yang membuat tubuhnya meremang. Dia memakai kaos lainnya cepat-cepat dengan menelan ludah saat ternyata sentuhan kilat di kulit halus Bulan saja telah membangkitkan sesuatu pada dirinya.
Sementara Bulan, menganggap Biru terlalu berlebihan. Gadis itu merebahkan kepalanya dengan terus menghadap jendela saat merasakan sentuhan yang cepat-cepat Biru leraikan. Mungkin Biru risih bersentuhan dengan perempuan, pikirnya.
Dan mobil berjalan seperti biasa, tanpa ada suara diantara mereka berdua. Hingga sampai di depan rumah, Bulan keluar dari mobil meninggalkan Biru yang masih menggenggam setir bundar dengan kuat. Dia menghantukkan kepalanya di kemudi saat merasa ia terlalu gila, ketika tubuhnya bereaksi berbeda setiap kali ia berhadapan dengan Bulan.
...🍀...
"Biru, kamu tau nggak, kemarin Malika nelpon mama, lho." Ucap Dina pada Biru. Sejenak lelaki itu berhenti mengunyah, melirik Bulan yang tak acuh. Gadis itu asyik makan roti isi selai coklat dengan taburan seres.
"Trus dia hari ini ngajak mama belanja. Kamu ga ada niat ketemu, Malika?"
"Enggak." Jawabnya singkat. Sesekali matanya melirik Bulan. Dia ingin tahu respon gadis itu saat Dina membicarakan perempuan lain di meja makan ini. Tapi Bulan tampak asyik saja tanpa peduli dengan topik pembicaraan.
"Malika bilang, dia sudah selesai kuliah di Prancis. Jadi balik kesini lagi, dan kangen sama mama, katanya. Tapi kayaknya dia kangen kamu, deh. Kalian balikan, gih. Mama seneng lho, Malika anaknya baik dan pinter."
Ocehan Dina diabaikan Biru. Pikirannya terus bergumam soal Bulan. Sebenarnya dia berharap Bulan meliriknya sekilas saja, menunjukkan kalau gadis itu mendengar dan tahu sesuatu tentangnya.
"Biru..."
"Biru berangkat, ma." Dia berdiri, melirik Bulan lagi. Gadis itu kini mengobrol santai dengan Selatan, membuat Biru berdecih karena dia benar-benar tidak dipedulikan.
"Oh, iya udah. Hati-hati, sayang."
Biru pergi begitu saja, dan dalam hati Bulan merasa lega sekali. Untung saja Biru cepat pergi, jadi dia bisa ke kampus sendiri.
Setidaknya itu yang Bulan pikirkan, sampai ia berdiri di depan gerbang menunggu ojek yang telah ia pesan via online.
TIN!
Bulan terperanjat kaget. Dia melirik ke samping dan dilihatnya mobil Biru terparkir di depan rumahnya sendiri.
Alisnya bertaut, ngapain Biru disana? Tanyanya dalam Hati.
Mobilnya bergerak dan menepi tepat di dekat Bulan berdiri. Kacanya turun setengah, lalu Biru berseru.
"Naik!"
Hah? Bulan menoleh ke belakang. Sudah tidak ada orang di depan rumah. Dina sudah masuk ke dalam.
"Cepat."
Bulan mengutuk dalam hati, meski begitu ia tetap masuk ke dalam mobil dan Biru menjalankannya dengan cepat.
Bulan menarik napas berulang kali. Rasanya sesak seperti kehilangan oksigen. Padahal di dalam mobil Biru terasa sangat dingin. Tapi Biru dan suasana ini membuat paru-parunya seperti tak memperoleh udara segar.
Berhenti di depan Fakultas Teknik, membuat Bulan menoleh keluar dengan bingung.
"Saya tahu kamu gelisah karena takut saya turunkan di depan Fakultas Bahasa."
Ooohh.
Bibir Bulan membentuk huruf O walau tidak ada suaranya. Dia agak lega. Untunglah Biru mengerti. Lalu saat ia akan membuka pintu, Biru menyodorkan tangannya dengan beberapa lembar uang merah.
Bulan menatap uang itu dan Biru bergantian, seolah tengah menanyakan apa maksud dirinya.
"Saya udah bilang, kan. Kalau saya akan bantu uang jajan kamu."
"Oh!" Bulan jadi salah tingkah. Dia pun mendorong perlahan tangan Biru. "Nggak, kak. Ga usah. Uang dari tante sangat cukup, kok."
"Ga apapa. Memang saya mau kasih." Biru menyodorkan lagi.
"Ngga usah, kak. Ah.." Bulan menolak dan kembali mendorong tangan Biru sampai lembaran uang itu terjatuh.
"M-maaf, kak." Bulan merunduk ingin mengambil uang yang jatuh, tetapi ternyata kepalanya berhantukkan dengan kepala Biru yang juga refleks ingin mengambil uang yang jatuh, sampai bunyi kedua kepala itu terdengar, dan Bulan mengaduh kesakitan.
"Maaf, sakit ya?" Biru segera mengusap-usap kepala Bulan yang kejedot kepalanya. Seketika Bulan syok dan mematung saat tangan besar itu menyentuh kepalanya. Sakitnya spontan menghilang, menyisakan debaran yang tiba-tiba saja muncul. Apalagi wajah Biru teramat dekat, ditambah harum tubuhnya membuat Bulan teringat lagi akan malam itu.
"Sakit?" Tanya Biru, membuat Bulan tersadar dan memundurkan kepalanya.
"Ngga apapa."
Melihat penolakan halus Bulan membuat Biru menarik kembali tangannya.
Mereka diam beberapa saat, sampai Bulan yang berinisiatif ingin mengutip uang yang berhambur di bawah.
"Maaf, kak. Sebenanya aku kerja bukan sekedar cari uang. Tapi juga ngasah passion aku dibidang culinary." Ucapnya sambil memungut uang di bawah kakinya dan kaki Biru.
Bulan sadar kalau dia mengutip uang terlalu jauh, sampai ia memungutnya tepat di bawah kaki Biru. Ia terlalu santai melakukan itu karena mengira Biru tidak normal.
Bulan bermaksud kembali duduk tegak, namun sialnya rambutnya ternyata tersangkut.
"Aduh.." dia menahan kepalanya saat rambutnya tertarik. Bulan meraba rambutnya, yang ternyata tersangkut di kacing baju Biru.
Bulan mendongak, ingin melepaskan rambutnya, namun saat ia melihat ke atas, ia mendapati Biru tengah berkedip lambat, seolah wajah itu tengah terhipnotis oleh sesuatu.
Bulan mendadak menahan napas dengan mata membulat, saat Biru mendekatkan bibir dan menempelkannya di bibir Bulan dengan sempurna.
Ah.. ****!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Fifid Dwi Ariyani
trussabar
2024-01-07
0
Mamah Kekey
ciuman pertama bln nih 😀
2023-12-22
2
Efvi Ulyaniek
ahhhhh meleyot ga tuh bulan tiap ada kesempatan selalu aja dimanfaatin dg baik ma si biru
2023-11-27
0