[18 – Mendung yang Menutupi Mata]

Hari-hari berlalu cepat, tak terasa ujian akhir semester ganjil telah di depan mata. Tak terasa pula, sudah agak lama Afya menjalin hubungan—yang pelik—dengan Miko.

Namun, pikiran Afya bukan penuh tentang ujian atau Miko—sebagian memang masih terisi laki-laki itu—melainkan kabar sang ayah yang seolah lenyap. Walau uang bulanan tetap cair, tapi, selama enam bulan terakhir ini, Papa-nya itu tidak pernah menelpon atau mengunjunginya. Ia sudah mencoba berkali-kali menyakinkan diri bahwa ‘itu hal biasa, Papanya sibuk bekerja’, tak urung ia merasa cemas juga.

Pernah suatu hari, ia bertanya pada Karina—Mamanya. Jawaban yang ia dapat ternyata tidak memuaskan, Karina bilang, “Dia selalu sibuk, tapi selama uang bulanan darin Papamu lancar, tidak usah hiraukan saja.”

Lagi-lagi Afya menghela napas panjang. Hiruk pikuk suasana kantin di jam istirahat tak ia hiraukan. Suara-suara berisik di sekitarnya seolah menguap begitu saja. Bakso di hadapannya mulai mendingin.

Dena yang duduk di samping Sasha, berhadapan dengan Afya, menyikut lengan Sasha pelan. Memberi gestur bertanya, dia kenapa?

Sasha balas mengendikkan bahu, menggeleng, juga tidak tau. Beralih menatap Rista yang nampak acuh, semangat memakan baksonya.

Setelah bel istirahat berbunyi, Afya pergi ke kantin bersama teman-temannya. Sedang Miko juga bersama dua temannya, duduk memakan mie rebus di meja pojok.

Dena menendang pelan kaki—yang ia kira milik Rista—di bawah meja. Namun itu kaki Afya. ‘Sapaan’ pelan dari Dena membuat Afya terkesiap, menatap Dena dengan bingung.

Dena terkejut, ia salah sasaran. “Eh?” beonya.

“Apa, Den?” tanya Afya. Kesadarannya kembali, ia menyendok kuah bakso yang agak hangat.

Sasha menahan tawa, melengos menatap meja sebelah. Rista hanya menatap sekilas, mengendikkan bahu lalu lanjut mengunyah bakso.

“Eng-enggak. Nggak sengaja kok,” alibi Dena, sedikit kelabakan. Afya manggut-manggut, beralih menghabiskan baksonya yang sedari tadi belum tersentuh.

Sasha terdengar menghela napas. Afya menoleh, menimpali, “Kenapa lo? Ada masalah?”

Baik Sasha dan Dena memandang Afya gemas—sebal sebenarnya.

“Harusnya gue yang nanya gitu, Afya dodol!” ketus Sasha. Afya mengernyit bingung.

“Gue kenapa?”

Dena menghela napas, menahan diri untuk tidak menarik pipi Afya keras. “Yang dari tadi banyak ngelamun, ngehela napas tuh elo. Napa jadi nanyain si Sasha?”

Bakso Rista sudah habis. Ia nimbrung percakapan. Bertanya dengan suara rendah. “Lagi berantem sama Miko lo? Tapi tadi pagi gue liat masih boncengan.”

Afya mengerutkan dahinya, lantas menggeleng. “Enggak kok, gue sama Miko nggak berantem.”

“Terus, lo ada masalah apa? Cerita aja kali,” tutur Sasha. Dena dan Rista mengangguk.

Afya terdiam, mulai paham arah pembicaraan.

“Gue kepikiran Papa aja kok. Soalnya lama nggak ada kabar, gue khawatir kenapa-kenapa.”

“Nggak coba nelpon dulu?” Rista memberi saran. Afya menggeleng, “Takut ganggu. Biasanya Papa yang nelpon dulu sih.”

“Atau samperin ke rumahnya?” Saran lain dari Sasha. Afya menggeleng lagi. “Gue nggak tau dia tinggal dimana sekarang.”

“Mending lo coba telpon dulu, nanti pas pulang sekolah,” usul Dena. Rista dan Sasha menimpali, “Iya.”

“Nanti deh gue coba,” ujar Afya pada akhirnya.

...***...

Entah kebetulan atau bagaimana, sepulang sekolah, saat Afya selonjoran di sofa dengan ponsel di tangan—hendak menelpon ayahnya sesuai saran teman-temannya tadi, panggilan masuk datang dari pria itu. Afya dengan sigap menggeser icon hijau ke atas. Menempelkan ponselnya do telinga.

“Halo, Pa?” sapa gadis itu.

“Afya? Bisa kita ketemu, Nak? Ada yang mau Papa omongin.”

Afya mengernyit bingung, tak urung mengangguk reflek. “Boleh, Pa. Kapan dan di mana?”

“Nanti Papa shareloc, jam 3 sore ya.”

“Oke, Pa.”

Hening selama beberapa saat. Afya melihat layar ponselnya, masih terhubung, apa Papanya lupa mematikan sambungan?

“Pa?” panggil Afya.

“Ah, Afya apa kabar? Maaf ya, belakangan ini Papa nggak ngabarin Afya.” Suara Papanya—Mario—terdengar berat, helaan napas beberapa kali Afya dengar.

“Baik kok, Pa. Nggak papa, Afya tau Papa sibuk. Papa sendiri apa kabar?”

“Papa baik juga. Ya sudah, sampai ketemu nanti sore ya.”

“Iya, Pa, dahh.”

Sambungan terputus setelah bunyi ‘tut’ pelan. Afya menghela napas lega. Maniknya melirik jam di dinding. Sudah pukul setengah tiga, ia harus bersiap. Sebelum beranjak, bar notifikasinya memberitahu satu pesan dari Mario, lokasi pertemuan yang pria itu katakan di telpon tadi.

...***...

“Papa bakal nikah lagi.”

Apa? Pendengaran Afya mendadak tuli. Di hadapannya, Mario mengatakan hal itu dengan tatapan tak lepas dari putrinya. Afya meneguk ludah, melengos, menatap sembarang hal, meja-meja kafe yang lengang, pekerja di kafe yang membersihkan meja, jalan-jalan ramai di balik kaca, mendung yang mulai menutupi langit.

“Kenapa?” Suara Afya tercekat, tak beranjak lebih dari tenggorokan. Mario mencoba memandang Afya sehangat mungkin, menata kalimat agar putrinya tidak salah paham.

“Mungkin sudah waktunya Papa berkeluarga lagi.”

Bagi Afya, kalimat itu terdengar bagai omong kosong belaka. Berkeluarga lagi? Seolah kehancuran rumah tangga pertamanya bukan apa-apa.

Gadis itu meneguk ludah susah payah. Matanya berkaca-kaca dengan cepat. Sekuat mungkin ia tahan agar tidak jatuh di depan Mario.

“Apa—apa nanti kita masih bisa ngumpul bareng?” Afya bertanya ragu, memaksa suaranya yang tercekat keluar, walau malah terdengar sedikit bergetar. Jemarinya saling meremas di bawah meja. Terasa dingin.

Afya tau, Mario bukan orang yang suka berbasa-basi. Maka dari itu, begitu Afya mendudukkan diri di hadapan ayahnya di sebuah kafe, Mario langsung mengatakan tujuannya setelah menanyakan kabar kembali.

“Tentu saja bisa, Papa usahakan bisa. Uang bulanan kamu nggak bakal Papa potong kok.”

Jika saja Afya selangkah lebih berani untuk mengatakan bahwa bukan hanya uang saja yang ia perlukan untuk menjadi dewasa. Namun, ia tidak berani, ia tidak ingin membebani.

Sudut bibir Afya tertarik, menampilkan senyum getir, “Semoga kehidupan baru Papa berjalan lancar,” ucapnya pelan. Menatap pinggiran cangkir di depannya.

“Terima kasih, Afya. Jaga diri kamu ya, maaf kalo selama ini saya bukan Papa yang baik bagi kamu.” Suara Mario memelan di akhir kalimat.

Dada Afya terasa sesak. Ia tertawa dalam hati. Menertawakan dirinya yang hendak ditinggal lebih jauh lagi.

“Ya,” sahut Afya pelan. Hening selama beberapa saat. Hingga Afya memberanikan diri bertanya. “Seperti apa ... wanita itu?”

Mario tersenyum. “Papa tidak bisa menjelaskannya dengan detil tapi dia wanita yang bisa membuat Papa nyaman bercerita banyak hal, tentang masa lalu, hal-hal yang membebani Papa. Kami belum kenal terlalu lama, sekitar 6 bulanan, tapi hidup Papa mulai berubah semenjak mengenal dia. Dia mengarahkan hidup Papa yang tanpa tujuan. Dia memberi alasan bagi Papa untuk pulang. Seolah menjadi rumah bagi Papa.”

Itu sangat indah, jika bukan percakapan tentang ayah yang mengatakan hendak menikah lagi kepada putrinya. Seolah, selalu ada kesempatan kedua bagi setiap orang untuk memperbaiki hidupnya.

“Afya seneng kalo Papa juga seneng. Nanti, jaga keluarga Papa bener-bener ya, agar yang terlewat tidak terulang. Kayaknya hari ini sampe di sini aja, Pa. Afya pamit ya, sekali lagi, selamat menempuh hidup baru, Pa.”

Setelah kalimat panjang itu, Afya beranjak. Menyalimi tangan Mario dengan takzim sebelum melenggang pergi. Menyisakan Mario yang termenung di tempatnya. Lantas menghela napas berat.

Mario tau, bagi dirinya saja yang hendak memberitahu hal itu terasa berat, apalagi Afya—yang jarang ia kabari selama enam bulan terakhir ini, lantas buru-buru meminta bertemu hanya untuk mengatakan bahwa ia akan menikah lagi, tentu lebih berat bagi putrinya itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!