Sejak kemarin siang, aku resmi menjalin hubungan dengan Miko Bagaskara. Laki-laki pelupa yang nahasnya cukup mempesona.
Walau masih dilanda ragu serta kecemasan sepihak, aku telah memantapkan hati. Untuk berhenti menatapnya, untuk berhenti berpatokan hidup padanya. Untuk berhenti bersikeras mengubah tatapannya.
Aku menghela napas pelan, menatap debu-debu dilantai koridor kelas 1-3, yang mana bersebrangan dengan gedung kelas sebelas. Aku sedang menunggu Miko menyelesaikan piket kelas sepulang sekolah.
Hembusan angin yang mendayu-dayu membuatku mengantuk. Kalau aku tetap tidak bergerak, bisa-bisa kantukku ini semakin menjadi. Jadi, karena Semanggi Empat ini sudah sepi siswa—kecuali beberapa anggota klub yang sedang berlatih—aku bisa menjelajahinya dengan leluasa.
Aku melongokkan kepalaku di pinggir pintu, "Miko, gue ngantuk. Mau keliling sekolah, ya. Nanti kalo udah selesai, chat atau telfon aja, oke?"
Miko menoleh sebentar, mengangguk, dan kembali fokus menyapu. Dingin!
Aku berjalan ke arah lapangan basket, baru dua langkah dari tepi, aku berbalik. Panas sekali.
Akhirnya aku pergi ke area kolam pasir di samping kelas 2-4. Di sini cukup rindang, karena tertutupi bayangan tiga pohon mangga yang berjejer.
Angin mendesau pelan menemaniku yang meniti pinggiran kolam pasir. Wah, aku benar-benar mengantuk. Aku menutup mulutku yang terbuka karena menguap. Mataku ikut terpejam, sepersekian detik hingga sebuah bola loreng kuning-biru melayang ke arahku.
"Awaaaas!"
Begitu mataku terbuka, bolanya sudah ada di depan kepala. Aku tidak sempat mengelak. Bugh!
Aku oleng ke belakang, kepalaku kliyengan, pandanganku menjadi gelap walau aku membukanya lebar-lebar.
"Hey, lo enggak papa? Gara-gara Ben nih!"
"Gue enggak tau kalo ada orang di depan. Hey, ini angka berapa?"
"Angkat! Angkat! Bawa UKS dulu!"
Saat berada dalam keadaan antara sadar dan tidak, aku dapat melihat bayangan segerombolan kepala laki-laki mengerubungiku. Menanyakan ini dan itu, yang jelas, mereka berisik. Aku mengerjab pelan, perlahan warna-warna di sekitarku mulai terlihat. Ada se—satu, dua, tiga, sepuluh kepala.
Aku kembali memejamkan mata sejenak. Kepalaku masih sedikit pusing. Tanganku tergerak menyentuh ubun-ubun. Setelahnya aku tidak mengingat apa-apa lagi
Begitu membuka mata, aku sudah berada di dalam ruangan bercat putih berbau obat-obatan. Kutebak, ini UKS. Jadi, aku pingsan tadi?
Aku perlahan bangun. Ah, kepalaku masih sedikit pusing. Aku beralih pada sakuku bergetar, panggilan masuk dari Miko.
"Halo? Lo dimana? Gue udah beres ini."
"Di UKS, lo ke sini, ya!"
"Lah, ngapa lo? Kena lempar bola?" Suaranya terdengar bercanda. Namun tebakannya benar.
"Heh, kok lo tau? Ah udahlah. Mending buruan ke sini, udah rada sore juga."
"Iya-iya."
Panggilan terputus. Aku turun dari tempat tidur guna memakai kembali sepatuku. Beberapa saat kemudian suara pintu terbuka terdengar di belakangku.
Aku berdiri, memasang senyum jahil yang jarang kutampilkan. "Cepet banget nyampenya, Mik. Khawatir ya lo—"
Namun, senyum itu luntur tatkala aku berbalik.
Tak!
Ponselku terlepas. Jatuh membanting lantai. Seolah waktu berhenti berputar.
Dua netra yang saling bersitatap ini membuat waktu seakan membeku. Di antara jeda panjang dan waktu yang terlalui, tak pernah kusangka akan ada scene seperti ini.
Ia ... bukan Miko.
"A-afya? Afya Calyta?" Dengan suara yang bergetar, ia memanggilku.
Suara yang familiar dengan keadaan yang asing.
"Kak Alden ...," lirihku tanpa sadar. Mataku dengan cepat berembun, menimbulkan efek berkaca-kaca yang emosional.
Sepersekian detik, akhirnya tangan yang hangat itu meraihku. Mendekapku dalam hangat yang pernah hilang.
Aku yang katanya lupa akan caranya menangis, kini mulai meneteskan air mata. Apa ini?
"Afya! Afya! Kamu kemana aja? Kenapa kamu seenaknya ninggalin aku sendiri, hah?"
Aku terus terisak. Suaraku bergetar. "S-sesuatu terjadi, aku memilih pergi. Aku minta maaf, Kak. Aku bener-bener minta maaf!"
Aku tidak mau menjelaskan seberapa menyedihkannya keluargaku.
"Kamu egois, Afya. Kenapa kamu harus pergi tanpa pamit? Kenapa juga kamu harus pergi? Bagaimana sesuatu itu bisa terjadi?" Ia melemparkan pertanyaan bertubi-tubi setengah menghakimi.
Ia mengurai pelukannya, mencengkram kedua bahuku. Menatap tepat di mataku yang basah dan menyedihkan. "Kamu tau? Aku marah waktu tetangga kamu bilang, kalo kamu udah pindah. Aku marah, aku kecewa, aku sedih. Ternyata aku enggak penting bagi Afya, sampai dia pergi pun enggak pamit, sampai dia ada masalah pun aku enggak tau,"
"Tapi, seharusnya aku paham, dua tahun yang lalu, kenapa kamu ngajak ketemu di taman. Kenapa sikap kamu rada beda, kenapa kamu tiba-tiba bilang kayak gitu. Aku emang kakak yang enggak berguna." Ia memberi jeda pada penjelasannya sejenak.
"Aku nyari kamu, aku nyoba hubungin kamu. Nanya-nanya ke tetangga, barangkali mereka tau. Tapi, mulai saat itu, kamu seakan lenyap."
"Bukan hanya pergi tanpa pamit. Kamu juga memutuskan hubungan. Puluhan panggilan tertolak, banyak pesan yang tak terbaca."
Tangisku makin pecah. "Aku butuh penjelasan, Afya. Kamu udah aku anggap adikku sendiri."
Ah ... hanya kata-kata itu yang tidak ingin kudengar darinya. Ia membuatku sadar akan realita. Bahwa, selamanya, aku hanya adik kecil baginya.
"Kamu mau tau kenapa aku pergi tanpa pamit? Kamu mau tau kenapa aku enggak bisa dihubungi?" Tanpa sadar aku mulai terbawa emosi.
"Karena aku enggak mau ngebebanin pikiran kamu! Aku mau kamu lupain aku, begitu pun aku yang mau lupain kamu! Karena kupikir ... aku enggak bakal kembali lagi," sentakku yang diakhiri lirihan.
"Tapi kenapa kamu mau lupain aku? Kenapa aku harus lupain kamu?!" Suaranya meninggi.
"Karena— aku suka kamu! Aku capek dianggep 'adik' sama kamu! Aku pengen kamu ngeliat aku sebagai perempuan, bukan kayak gini ...."
Kak Alden terdiam beku, matanya menatapku tidak percaya. Aku memalingkan wajah.
"A-apa? S-sejak kapan?"
Manusia memang makhluk yang serakah. Tidak cukup memiliki fisiknya, hatinya pun ingin dikuasainya juga.
"Siapa yang tau?" Aku menyeka sudut mataku, menatap netranya dengan penuh perasaan. "Jadi ... tolak aku, Kak."
Aku menyunggingkan senyum tipis. "Tolak aku, agar aku bisa melangkah maju."
"M-maaf, Afya, maafin aku. Aku emang bodoh karena enggak peka sama perasaanmu. Tapi, As you know, i see you as my little sister."
"I'm so sorry, untuk hal ini ... dan semuanya."
Aku mengangguk mengerti, "Senang bertemu dengan Kakak lagi."
Aku berbalik, mengamit ponselku dilantai. Lantas menatapnya sebentar, "Aku pulang dulu, Kak."
Lalu melangkah dengan cepat sebelum lenganku tertangkap. "Tunggu, aku antar," tuturnya. Aku menggeleng, tersenyum dengan mata yang menyipit, "Maaf, aku butuh beberapa jarak, Kak. Permisi,"
Lantas, aku melepas cengkramannya dan berlari keluar. Namun, begitu sampai di celah samping UKS, seseorang menarikku.
Untuk kedua kalinya, laki-laki itu datang memelukku. Mengusap kepalaku dengan lembut, membuatku mengingat akan dadaku yang masih berdegup kencang dan napas yang tersengal.
Aku bergumam, menyebut namanya, "M-miko ...,"
"You did well, Afya." Ia berujar pelan, membuat tangisku kembali pecah.
Hari ini, aku merasa lega karena berhasil mengungkapkan perasaanku pada Kakak. Pun merasa sesak karenanya.
Akan tetapi ... entah mengapa, aku sedikit menyukai sensasi ini. Seolah hampa yang kurasakan selama ini tidak pernah ada.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
AkiraMay_
Aaaahhh! Begitu seru sampe gak berasa waktu berlalu!
2023-08-01
0