[2 – A Goodbye]

"Kak Alden."

Siluet itu perlahan menoleh, bak adegan slow motion, rambutnya tertimpa angin dengan raut wajah dihiasi senyuman. “Kenapa? Tumben ngajak ketemu di sini,” ujarnya.

“Enggak papa, pengin ngerasain suasana yang beda aja.” Aku menautkan tangan di belakang badan. Memasang senyuman yang terasa hampa. Ia terkekeh pelan, “Apa-apaan itu?”

“Aku cuma mau bilang, terima kasih atas waktu yang Kakak luangin buat aku selama ini. Terima kasih atas tenaga yang rela Kakak buang demi aku. Intinya, terima kasih karena selalu ada buat Afya Calyta ini.” Aku mencoba memasang cengiran. Tiba-tiba saja pipi Kak Alden merona walau tipis-tipis.

“Apa, sih? Tiba-tiba ngomong beginian. Kamu itu kan udah aku anggap adik aku sendiri, Afya. Kalau cuma segitu mah enggak masalah!”

Adik ... ya? Aku berdeham pelan, mengabaikan dadaku yang menyesak, “Mau aja, masa tidak boleh?”

Ia menggaruk tengkuknya, canggung. “Ya-ya, boleh aja sih cuma aneh aja gitu.” Aku meringis pelan.

“Udah itu aja, Afya pergi dulu ya, Kak. Perlu diingat bahwa Afya ini sayang sama Kak Alden!” Aku mendeklarasikannya, walau tak urung pipiku bersemu malu. Ia terkekeh pelan, “Yaudah, Alden ini juga sayang sama Afya!”

“Daah ... Kak, sampai jumpa lagi,” semoga.

Aku berbalik pergi. Namun, sebelum benar-benar pergi, aku mengucapkannya. Dengan pelan tanpa berharap bahwa ia akan mendengarnya.

“Afya sayang Alden sebagai ... laki-laki.”

Angin musim semi yang berhembus kali ini, sedikit membawa rasa pahit.

Matahari telah tergelincir dari puncaknya saat aku baru sampai di bumi bagian lainnya. Berteman suara deru mobil yang perlahan berhenti, aku memakukan tatapanku keluar jendela. Menatap rumah minimalis yang akan menjadi naunganku selama beberapa tahun ke depan.

Kami tak langsung keluar, seolah tau ada yang masih ingin dibicarakan. Aku mengelus lengan boneka beruang kesayanganku.

“Afya ....” Papa membuka suara. Kepalaku tertoleh. Menanti ia melanjutkan bicaranya. “Kami minta maaf atas segalanya. Kami tau ini egois, tapi, maksa bertahan cuma nambah penderitaan. Baik bagi kami, juga Afya. Entah siapa di antara kami yang lebih dulu bermain api, yang jelas semua kena dampaknya.” Wajah sendu mereka terlihat melalui kaca spion depan.

“Waktu kebersamaan kami sebagai pasangan, terenggut oleh jam kerja. Akhirnya tanpa sadar, kami mencari pelampiasan lain,” lanjut Papa. Mama menarik napas berat, dengan suara parau ia berkata, “Bukannya kami tidak mencoba untuk memperbaiki atau mempertahankannya, berkali-kali kami mencobanya ... but, didn’t work. Sampai kami ngerasa ada di titik ‘Ah, there’s no way to get back up’ dan kami akhirnya ... memilih mengakhiri ini.”

Aku pun sadar, aku tidak berhak merasa paling tersakiti di sini. Layaknya sebuah perang, baik pihak pemenang maupun pihak yang kalah, sama-sama kehilangan banyak hal.

“Mungkin, sekarang kamu belum mengerti atas apa yang kami maksud. Namun, seumpama, suatu saat kamu telah cukup dewasa untuk mengerti, tolong ... jangan meniti jejak kami.” Papa mengulas senyum pedih.

Hening beberapa saat, hingga aku tergerak memeluk mereka. Mau se-memuakkan apapun, mereka tetap orang tuaku. Mereka membesarkanku penuh kasih sayang dan pengertian, menanti pencapaian besar dariku suatu saat nanti. Kami pernah tertawa dan menangis atas hal yang sama. Walau pada akhirnya seperti ini, mereka pernah menyayangi sampai lupa sekitarnya.

Sesak. Lagi.

“Terima kasih karena udah ngebesarin Afya penuh cinta. Afya bahagia bisa lahir sebagai anak Mama dan Papa.” Suaraku sedikit tercekat, pandanganku memburam. “Walau pada akhirnya kita seperti ini, Afya bakal selalu ingat, kalau kita juga pernah menjadi keluarga yang paling bahagia.” Pada akhirnya, suaraku bergetar, seolah tidak lagi kuat untuk menahan rasa sesak ini.

Dadaku sesak, serasa dihimpit batu besar. Di ruang mobil yang sempit ini, suara tangisan kami bersaut-sautan tanpa tahu malu. Kami tidak lagi peduli pada sekitar, hanya berfokus untuk meluapkan kesedihan ini bersama. Walau nantinya akan tetap tersisa, setidaknya tidak akan membuat kami sulit bernapas.

Sekitar beberapa waktu, kami keluar dari mobil dengan mata bengkak yang mengerikkan. Pun dengan ingus kami yang mendadak meler-meler tak karuan. Sebelum keluar tadi, kami sempat berbenah diri terlebih dahulu.

Papa mengeluarkan satu koper besar dan satu koper sedang milikku. Lalu menggeretnya hingga halaman. Sedang Mama membawa koper kecilku, membiarkanku hanya memeluk boneka beruangku di belakangnya.

“Hei,” bisik Papa pada Mama yang berada dua langkah di belakangnya, walau aku masih bisa dengar. Mama menyejajarkan langkahnya dengan Papa.

“Apa?”

“Nanti abis dari sini, mampir ke tempat makan dulu. Ada yang mau aku omongin.” Aku tidak tau bagaimana ekspresi Mama saat ini karena aku di belakang.

“Apa? Kenapa harus di tempat makan?”

“Aku lapar lagi,” keluh Papa, rasanya aku ingin menangis saja. Yang keluar air mata, yang hilang malah nutrisi perutnya.

“Dasar! Yaudah, tapi nanti anterin ke rumah, mana belum packing lagi.”

“Iyalah, tenang aja.” Aku meringis dalam hati, apakah mereka terliat seperti pasangan yang akan berpisah? Aku tidak habis pikir.

Di dalam sana, Nenek menyambut kami dengan senyum lembut yang menenangkan hati. Sementara Mama dan Papa berbincang dengan Nenek, aku disuruh meninjau kamar yang akan kutempati nantinya. Aku tau apa yang mereka bicarakan.

Mengabaikan hal itu, aku berfokus menatap ruangan dengan dinding bercat pastel di depanku. Terdapat jendela lebar di sisi kanan, meja belajar dan lampu tidur yang elegan.

Sprei berwarna biru malam dengan selinut putih. Memang tidak jauh berbeda dengan kamar lamaku. Hanya saja, aku tau, tidak akan ada Mama yang membangunkaku pagi-pagi, tidak akan ada Papa yang merecoki Mama sewaktu memasak, tidak akan ada lagi sarapan yang penih canda tawa. Semua ... mulai berubah.

Perlahan, aku menghela napas. Entah sejak kapan, semua yang kuliat seolah abu-abu. Tidak ada warna cera yang menyegarkan mata. Aku terdiam beberapa saat, hingga suara Papa memanggilku dari luar. Aku bergegas ke depan.

“Iya?” sahutku.

“Papa sama Mama pergi dulu ya. Afya jangan nakal-nakal sama Nenek, nanti Nenek sakit kepala,” pamit Papa. Mama menambahkan, matanya mulai berkaca-kaca kembali, “Mama sama Papa bakal sering-sering jenguk Afya di sini, kok.”

Mama mendekat ke araku memelukku dengan erat, “Mama sayang Afya, sangat sayang. Jaga diri baik-baik ya, Nak.”

Tatapanku menyendu. “Afya juga sayang Mama sama Papa. Jaga kesehatan ya Ma, Pa.”

Papa memelukku selepas Mama mengurai pelukannya. Ia mengecup puncak kepalaku lembut. “Papa bakal sering ke sini, kok. Nanti kita bisa makan bersama lagi, jalan-jalan juga.” Aku mengangguk dalam dekapan hangatnya.

“Dahh! Baik-baik sama Nenek, ya!”

Aku mengangguk sembari membalas lambaian tangan Papa dan Mama dari balik kaca mobil. “Mama, Papa, juga!”

Deru kendaraan roda empat itu mulai memelan seiring jauhnya jarak yang tercipta. Nenek membawaku masuk, menyuruhku untuk beristirahat agar tidak kelelahan. Aku malah meraih koper kecilku, hendak menata isinya. Namun urung saat kedua ponselku ikut tergeletak bersama barang-barang lainnya. Aku akan menyalin data di ponsel lamaku ke ponsel baru, tanpa kecuali. Sembari menunggu prosesnya selesai, aku menata barang-barang seperti laptop dan chargernya, alat kosmetik, aksesoris, dan beberapa lainnya.

Melihat proses transfer data selesai, aku merebahkan tubuhku sejenak, hendak memeriksa kelengkapan yang sudah terkirim. Namun, jariku terhenti kala foto laki-laki tampan dengan seragam voli-nya terpampang indah di layar ponsel.

Bagaimana jika dia tau aku tidak lagi di sana? Akankah ia membenciku?

Aku menghela napas berat, seperti Mama dan Papa yang akan memilai awal baru, aku juga akan menata kembali hidupku.

Walau pada akhirnya, semua telah mengabur menjadi abu-abu.

Terpopuler

Comments

Xavia

Xavia

Baper abis!

2023-07-29

0

Aki

Aki

Sayang banget udah selesai. 😢

2023-07-29

0

Jaku jj

Jaku jj

Thor, cerita mu sangat seru! Aku sudah menunggu dengan tidak sabar untuk mendapatkan deskripsi lanjutan dari cerita. Update secepatnya ya! 😍

2023-07-29

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!