Upaya Afya untuk menghindari Alden telah diketahui. Sebenarnya, tingkah gadis yang ia anggap adiknya itu terlihat jelas. Seperti saat Alden berbicara dengan guru penjaga perpus, gadis itu terlihat merapatkan diri pada adik kelasnya yang dikenalkan Airiel tempo hari. Atau saat bertemu pandang di kantin saat makan siang dengan Airiel, Afya langsung melengos, lantas menarik tangan laki-laki yang sama—Alden mengenalnya, Miko.
Bahkan kadang, Afya berpura-pura tak melihatnya, satu-dua kali kabur saat hendak dihampiri. Hingga kini, Alden tak tau harus berbuat apa terhadapnya. Maka dari itu, saat netranya melihat siluet Miko keluar dari perpus, ia menghampirinya.
“Hei, Mik! Bisa bicara bentar?” Adik kelasnya itu langsung berhenti, balik menyapa, lantas menimang-nimang ajakan Alden.
“Keburu nggak, Kak? Gue masih mau ke toilet soalnya,” balas Miko kemudian. Alden menggeleng, “Enggak kok, gue tunggu di dalem perpus, ya.”
Ia ingin menanyakan beberapa hal yang berkaitan dengan Afya. Sebab hatinya semakin risau saja setelah pengakuan gadis itu di UKS tempo hari.
Tak lama Miko datang. Namun pergi lagi, hendak meminta ijin pada senior di ekskulnya katanya. Lalu hilang di balik pintu merah tua. Tak lama, ia muncul kembali, mendudukkan diri di samping Alden.
“Mau ngomong di sini, Kak?” Alden mengangguk, Miko bertanya lagi, “Nggak papa?”
“Selama kita ngomongnya nggak teriak-teriak, nggak papa,” canda Alden, Miko nyengir, mengiyakan dalam hati.
“Mau ngomongin apa?”
Alden terdiam sejenak, menghembuskan napas sedikit berat. “Hubungan lo sama Afya, apa?”
Miko terkesiap, walau sudah menduga pembicaraannya seputar gadis itu, ia tak menyangka Alden akan langsung menanyakan hal itu.
“Pacaran, kenapa?” Miko menjawab setelah beberapa saat terdiam. Alden manggut-manggut.
“Oh, gitu, Jagain adek gue itu, ya. Gue percaya sama temennya Airiel.” Entah mengapa suara Alden terdengar sedikit tidak rela. Namun, Miko mengangguk tegas menanggapinya, “Iya, pasti.”
Alden tertawa pelan, “Bilang juga, jangan kabur terus kalo ada gue, gue nggak gigit. Ada banyak hal yang mau gue tanyain ke dia, gitu.” Kali ini Miko tersenyum, mengangguk, lalu pamit kembali ke ruang ekskulnya. Meninggalkan Alden yang mendesah lelah, mengusap wajahnya sedikit kasar.
Sementara Miko yang kembali mendudukkan dirinya di samping Afya, langsung disambut dengan dengkuran halus gadis itu. Ia terlelap di balik buku, pipinya menempel pada meja. Miko bergulir menatap sekitar, anggota lainnya tidak ada yang memperhatikan, malah ada yang terlelap juga—siswa seangkatan Miko juga, yang rambutnya cepak. Ken dan Ayu sedang absen. Sasha sibuk mengetikkan sesuatu di komputer klub.
Miko mendengus geli, menatap dahi Afya yang sedikit mengerut. Ia layangkan jarinya untuk mengelus dahi gadis itu—menghilangkan kerutannya. Beralih mengelus pipi, menyelipkan rambut Afya yang jatuh menutupi setengah wajah. Melihat wajah tenang Afya, entah mengapa hasrat menjahili gadis itu timbul. Diam-diam, ia cubit pipi tebal gadis itu pelan. Tidak ada respon.
Lagi, kali ini dengan sedikit tekanan. Barulah gadis itu melenguh pelan, dahinya kembali mengerut. Hei, ini menyenangkan. Miko memandang sekitar, merasa tidak ada yang memperhatikan, ia kembali mencubit pipi Afya, menariknya sedikit keras.
Lantas saja Afya membuka mata—alis-alisnya bertaut dengan tatapan kesal dan mengantuk yang ketara. Miko menahan tawa.
“Miko ...,” rengek gadis itu dengan suara yang sedikit serak—lupa bahwa mereka masih ada di ruang klub sastra. Miko melengos, membuka buku, pura-pura membaca saat beberapa pasang mata menatap Afya yang menyembulkan wajah kuyunya dari balik buku.
Begitu sadar, ia membulatkan mata, menarik sudut bibir dengan canggung, menggumamkan maaf.
Hingga jam pulang tiba. Afya masih sebal pada Miko, mengerucutkan bibirnya lucu di jok belakang. Miko tak ambil pusing, memacu Loki dengan kecepatan sedang.
Tiba-tiba Afya teringat sesuatu, sebalnya menghilang. Ia mendekatkan kepalanya pada bahu Miko.
“Eh Miko!” Afya berseru sedikit keras, takut setengah suaranya terbawa angin.
“Hah?”
“Gue abis beli puzzle! Tolongin nyusun, ya!” Miko melirik Afya lewat spion, mengangguk. “Iya!”
...***...
“Ta-da!” Afya berseru, memamerkan puzzle yang kotaknya bergambar istana Erendel milik Elsa. Miko manggut-manggut, meletakkan ranselnya di sofa, membuka kemeja putihnya yang melapisi kaos putih juga.
Afya masih berseragam walau sudah tak rapi, kemeja putihnya berada diluar, menutupi bagian atas rok span abu-abunya. Dasi dan jaketnya diletakkan begitu saja di atas ranjang—yang seruangan dengan televisi dan sofa.
“Tapi, Mik, mending makan atau mandi dulu?” tanya gadis itu. Miko yang merebahkan punggungnya di sofa menjawab dengan mata tertutup, “Lo mandi dulu aja. Lo mau apa? Biar gue yang masak, selagi bahannya ada.”
Afya bersorak—senang karena hendak dimasakkan oleh Miko. Berpikir sejenak, “Terserah aja deh, Mik. Gue bakal makan semua, wahaha!”
Miko membuka mata, menggeleng saat Afya memasuki kamar mandi sambil tertawa. Segera bangkit, merenggangkan badan sebelum membuka isi kulkas.
Tak lama Afya keluar dari kamar mandi dengan rambut basah, wajahnya segar, ia berganti memakai kaos oblong berwarna merah muda dikombinasikan dengan celana pendek di atas lutut. Miko menoleh sekilas saat Afya menunggu di depan mini bar sambil mengeringkan rambut dengan handuk.
“Masak apa, Mik?”
“Hm? Lalapan terong, selada, sama kubis. Make sambel juga sama tempe dan tahu goreng. Nggak masalah?” Afya memandang takjub, tipe idaman, pikirnya sekilas.
“Malah gue berterimakasih, Mik. Dah, biar gue aja yang nata, lo mandi gih.” Miko mengangguk, melepas apron abu-abu, lalu bertolak menuju kamar mandi. Belum genap setengah jalan, laki-laki itu menoleh—memergoki Afya yang mencolek sambal dengan kubis. Merasa tertangkap basah, Afya nyengir kuda, melahap kubis yang dicocoli sambal tanpa dosa. Miko menatap lempeng.
“Jangan abisin dulu, loh, Afya,” tegur laki-laki itu setengah bercanda. Lantas melanjutkan langkah menuju kamar mandi.
Selang sekitar 15 menit, Miko keluar juga dengan raut segar, handuk pendek tersampir di bahunya sementara tetesan air dari rambut basahnya ia biarkan membasahi lantai. Afya sudah siap di mini bar, menunggu sedikit tidak sabar.
“Miko rambutnya netes,” tegur Afya, Miko segera mengungsel rambutnya dengan handuk sebentar saja. Lalu bergabung dengan di samping Afya. Mulai makan siang.
Selesai makan, rintik hujan mulai membasahi kaca. Mereka yang telah beralih dari dapur ke meja depan televisi menatap rintik hujan sejenak. Awan-awan kelabu tebal menutupi langit sore dengan cepat, disusul gemuruh dengan larik petir pendek.
“Hujan, Af,” gumam Miko, menatap rintik hujan yang semakin deras. Afya melengos, kembali mencari pasangan puzzle di meja. “Gue juga tau kalo ujan, Miko.”
“Gue nggak bawa mantel hujan, semoga aja terang sebelum malem,” tutur laki-laki itu, mulai mengalihkan pandangan kembali pada tumpukan puzzle.
“Nggak terang pun, nggak papa. Tinggal nginep aja di sini,” balas Afya santai. Miko melempar satu potongan puzzle padanya, tepat mengenai kepala, kembali memantul pada tempat Miko. Afya mencebik.
“Oh, iya. Tadi Alden nemuin gue di depan perpus,” ujar Miko. Tiba-tiba saja degupan jantung Afya meningkat, punggungnya terasa panas-dingin. Potongan puzzle yang ia angkat berhenti di udara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments