[8 – Miko: I See ... and I’m Happy For You]

Jam dinding menunjukkan pukul tujuh kurang seperempat. Aku bergegas menyampirkan tas di bahu kiri lalu buru-buru mengolesi roti dengan selai kacang. Lantas mengapitnya di belahan bibir sembari mengeluarkan scoopy hitam dari garasi.

Aku memberinya (si scoopy hitam) nama, Loki.

Selagi memanaskan mesin Loki, aku melahap roti sembari menatap pantulan bayangan di jendela kaca rumah. Mengangguk pelan dirasa sudah mapan.

Mengambil napas rendah sebelum melajukan Loki dengan kecepatan sedang.

Melewati beberapa pertigaan dan pemberhentian bus yang menampakkan gadis-gadis berseragam saling berinteraksi. Beruntung tidak ada kemacetan walau hari sudah semakin siang. Membuatku berpikir di tengah arus angin yang menghantam kaca helm. "Kota ini lumayan juga."

Selepas berbelok kanan di pertigaan terakhir, gerbang Semanggi Empat telah terlihat di kanan jalan. Di tandai dengan plang besar dengan logo sekolah di sisi kanan-kiri nama sekolah.

Aku sedikit merapikan rambutku setelah memarkirkan Loki di bawah pohon yang cukup rindang untuk melindunginya dari panas matahari. Suara-suara yang saling bersahutan menggema di mana-mana, ini benar-benar sekolah elit. Tempat ini ramai sekali, sedari aku tiba, lalu-lalang remaja berseragam tak ada hentinya.

Ah, iya! Aku harus mencari tau letak kelasku!

Geh.

Raut wajahku langsung berubah tatkala melihat halaman mading dipenuhi orang-orang. Kerumunan, berdesakan. Reflek memandang horor sambil bergumam, "Setelah masuk ke sana, gue pasti nggak bakal keluar utuh."

Mau bagaimana lagi? Mau tidak mau, aku harus tetap menyelinap ke sana. Aku mengambil napas dalam-dalam. Baru saja hendak melangkah, seseorang mencegatku.

"Permisi!" Aku menoleh pada gadis yang ... cukup aneh, lantas menatap sekitarku lalu menunjuk daguku sendiri.

Anak-anak nyasar?

Gadis itu memakai hoodie kuning, berambut pendek dan memakai masker—astaga dia kenapa?— "Anu, bisa minta tolong?"

Aku menatapnya bingung, apa dia juga murid di sini?

"Apa?" tanyaku pada akhirnya.

Gadis itu menunjuk ke arah kerumunan di depan mading, "Kalau kamu mau ke sana, carikan namaku juga, bisa tidak?"

Aku melirik kerumunan itu, lalu beralih menatapnya lempeng. "Bisa aja sih. Nama?"

Matanya yang sayu menampakkan sedikit binar-binar, sial! Gadis ini pintar sekali dalam memanfaatkan orang, ya.

"Afya Calyta," ujarnya, aku mengangguk. Segera berlari menyusup dengan lincah di antara kerumunan gila itu. Ikut berdesak-desakan dengan orang-orang ini. Tak mengapa sih, toh aku juga butuh mencari namaku.

Setelah bersusah payah, akhirnya sisi mading terlihat olehku. Aku berjinjit-jinjit agar bisa melihatnya lebih jelas. "Afya Calyta kelas ... 1-5. Miko, Miko kelas ... 1-3! Ah, denah-denah!"

"1-5 di lantai satu, nomor dua dari pojok. 1-3—aduh! Jangan jambak-jambak dong!" Aku memekik kesal, menatap perempuan yang tadi menjambakku dengan kuat. Gila!

Aku tidak tahan lagi, aku bergegas keluar sebelum rambutku rontok. Masa bodoh dengan letak kelasku, yang penting nyawaku selamat. Begini saja napasku sudah terengah-engah, aku juga merasa sedikit mual.

"Afya Calyta, kelas 1-5. Letaknya di lantai satu, kelas nomor dua dari paling pojok."

"Iya, terima kasih. Eum, kamu di mana?" Suaranya jernih bak lonceng kaca berdenting. Aku berkedip pelan, mengembalikan kesadaran yang hilang akibat suara jernihnya itu.

"1-3, Miko. Salam kenal sebelumnya." Ia mengangguk pelan, lantas pamit undur diri. Selepas siluet gadis itu menghilang di belokan, aku mendesah lelah. Mau mati rasanya.

Aku beristirahat sejenak guna mengembalikan tenagaku sebelum kembali menelusuri dungeon—sekolah ini maksudnya.

...***...

Setengah jam kemudian, aku terkapar di kantin dengan satu soda kaleng setelah hampir tiga kali keliling sekolah untuk mencari letak kelasku yang ternyata berjarak dua ruang kelas dari kelas si Afya tadi. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan nalarku sendiri.

Bagaimana bisa aku tidak memikirkan kemungkinan kalau kelasku bertetangga dengan kelas si Afya tadi?

Bego emang.

Sudahlah, memikirkannya membuatku semakin lelah.

Tanpa sadar, aku menghela napas lelah. Kembali menenggelamkan kepalaku pada lipatan tangan. Hingga tepukan ringan di bahu membuatku mendongak malas.

"Ternyata benar Miko," ucap si pelaku. Mengabaikanku yang masih termenung, ia duduk di depanku. Tersenyum manis seperti dulu-dulu. "Apa kabar?"

"Riel," gumamku tanpa sadar, lantas berkedip sedikit tidak percaya. "Ah, baik kok. Lo sendiri?" responku setelah mendapat kesadaranku kembali.

Ia tidak banyak berubah, dari penampilannya. Dengan rambut setengah punggung yang sedikit ikal di bawahnya, senyuman cerahnya, sama seperti dulu.

"Baik kok. A-ah, iya! Sebelumnya aku ingin minta maaf sama Miko, karena udah ngilang tanpa pamit. Maaf banget, soalnya abis upacara kelulusan, tiba-tiba ada masalah internal di keluargaku. Maaf ya, Mik." Ia menjelaskan dengan mimik wajah menyesal.

Aku menegakkan punggungku. Merenggangkan pinggangku yang agak letih setelah berkeliling tadi. Memasang senyum tipis. "Engga papa kok, gue ngerti. Gue khawatir aja karena elo tiba-tiba ngilang. Takutnya digondol kucing," kelakarku. Ia tertawa pelan.

"Mana ada, ih! Miko mah enggak berubah, ya," ujarnya. Aku mencebikkan bibirku, "Lo sendiri juga enggak berubah, Riel."

Diam-diam menghela napas lega. Syukurlah, aku bisa melihatnya lagi.

"Aku kan bukan Satria Baja Hitam, mana bisa berubah!" Aku meliriknya malas. Lantas sama-sama tertawa.

Namun, tawa kami bungkam oleh seseorang yang menghampiri kami, "Riel," sapanya.

Seseorang itu laki-laki, dengan perawakan yang cukup tinggi. Wajahnya juga manis ditambah dengan dua tahi lalat kecil di bawah bibirnya. Ia terlihat melirik ke arahku beberapa kali, dia bukannya sedang tertarik padaku bukan?

"Ah, Mik! Kenalin ini Alden, pacarku. Alden, ini Miko, adik kelasku waktu SMP," ujarnya tiba-tiba, membuat tubuhku melemas, otakku tidak mampu memproses keadaan lebih lanjut. Membuatku mengabaikan uluran tangan Alden dalam beberapa saat.

Aku segera sadar, lantas menyambut uluran tangannya dengan hangat. "Salam kenal ya, Mik. Oiya, lo belum masuk ekstrakurikuler 'kan? Lo bisa mampir ke lapangan indoor di deket perpus situ, nanti ada latihan perkenalan. Eh, gue dari ekskul voli btw," cerocosnya. Tidak hanya wajahnya yang enak dilihat, ia juga ramah. Pantas saja Riel nyaman bersamanya. Berbeda denganku yang seperti ini.

"Salam kenal juga, Kak Alden. Ntar gue coba mampir ke sana, sepulang sekolah bukan?" Ia mengangguk. Lantas keduanya pergi dari hadapanku setelah berpamitan ingin ke kelas.

Aku menatap punggung mereka berdua yang hilang tertelan jarak. Mendesah lelah beberapa kali sebelum akhirnya bangkit pergi.

Aku butuh tempat yang tenang untuk sementara ini.

Dan karena kalimat itulah aku menemukan tempat yang tersembunyi di taman belakang sekolah. Tempat di mana berakhirnya sesuatu dan tergantikan oleh yang baru.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!