Seorang gadis berjalan dengan cukup tergesa-gesa karena terlambat. Sesekali dia berlari hingga sampai pada ruangan yang selalu tertutup. Sebuah ruangan beraroma alkohol. Gadis itu mengetuk pintu dua kali, lalu membukanya perlahan. Tidak ada orang lain di dalam sana, kecuali seorang pria gotot yang berwajah manis dan tampan.
"Jam berapa ini? Saya belum makan, lo ... Kamu mau bunuh saya, apa bagaimana?" tanya Radit–menegur Caca.
"Sorry. Aku lupa kalau ada janji." Caca menutup pintunya kembali–berjalan menuju meja dekat ranjang pasien. Dia menaruh tasnya di kursi, lalu melakukan pengecekan makanan rumah sakit dan memberikannya pada Raditya.
"Ya ampun, nggak ikhlas banget, bantunya. Niat ngrawat saya apa nggak, sih?" tanya Raditya dengan tatapan galak.
"Ya terus? Maksudmu gimana? Maumu kayak apa, ha?!" Caca pun bertanya dengan nada kesal, lalu menaruh kembali bubur itu di meja dan berdiri–mengambil tasnya–hendak kembali pulang.
"Eh eh ... Sabar dong, tunggu dulu. Ya sudah. Saya makan sendiri, tapi kamu duduk di sini dan jangan kemana-mana, oke," ujar Raditya.
Caca mengerutkan alisnya dan mendengus kesal. Berulang kali dia menghela nafas berat, menahan emosinya yang semakin hari semakin sulit untuk di kontrol. Sesekali juga, Raditya melirik Caca yang sedang duduk di sampingnya dengan kepala yang menunduk.
"Maaf ya, Ca. Kalau saya boleh tahu ..., kamu kenapa sih, benci sekali sama saya? " tanya Raditya.
"Memangnya kita pernah ketemu sebelum kejadian di kafe? Apa saya punya salah sama kamu?" tanyanya lagi dengan nada bicara yang merendah.
"Aku nggak benci sama kamu. Aku cuma nggak suka sama caramu. Aku juga nggak suka lagi sama cowok," jawab Caca masih tetap ketus.
Raditya terkejut dan menghentikan makannya, "Maksud kamu, sekarang kamu lesby? Astaghfirulloh, padahal sama cowok masih enak loh," kata pria berkulit sawo matang.
"Bisa nggak sih, nggak bercanda? Aku nggak lesby. Aku normal. Dah lah, nggak faedah juga aku di sini. Mau pulang aja lah." Caca kembali berdiri untuk keluar dari kamar Raditya.
Tapi langkahnya tertahan, sebab Raditya memegang tangan kanan Caca dengan sangat kuat.
Pria itu kembali menyuruh Caca duduk dan berjanji tidak akan menggodanya lagi. Dia ingin tahu penyebab Caca trauma dengan dalih untuk menambah pengetahuannya. Caca hanya bisa menceritakan sedikit saja, sebab dia belum mengenal Raditya secara akrab.
"Jadi ..., kamu nggak mau kenal cinta lagi karena bisnismu hancur dan namamu di hitamkan?" tanya Raditya.
"Ya." Caca menjawabnya dengan wajah murung.
"Kalau suatu hari nanti, ada cowok yang benar-benar tulus dan mau serius sama kamu, gimana?" Pria gotot itu kembali bertanya.
Diawali dengan helaan nafas yang berat, Caca bercerita bahwa dirinya sengaja memutuskan untuk sendiri dulu sampai dia bertemu dengan seseorang pilihan Tuhan untuknya. Seseorang yang mampu membuatnya tenang, percaya diri, kuat dan lebih dekat sama Tuhan.
Perlahan-lahan, matanya memerah bersamaan dengan pipinya yang sedikit chubby. Air matanya pun menetes. Raditya masih terus menatap gadis yang sibuk menghapus air matanya. Dia mengambil selembar tisu dan memberikannya ke gadis mungil yang ada di sampingnya.
"Nggak usah nangis, sudah gede. Jelek kalau nangis," kata Raditya. Caca menerima tisu dari Raditya dan menghapus air matanya, hingga tak lagi menetes.
"Sorry," ucap Caca–lirih. Caca kembali diam beberapa menit. Suasana ruangan itu mendadak sunyi, tanpa ada suara Raditya dan Caca lagi.
Raditya berusaha bangun untuk duduk, tetapi dia kesulitan, sehingga Caca yang harus membantunya bangun.
"Terima kasih," ujar Raditya. Dia mengambil sebatang coklat mente yang sengaja dia taruh di dalam laci untuk Caca, hari ini.
"Nih, buat kamu ..." Raditya tersenyum dan menyodorkan coklat ke Caca.
Caca terkejut dan tiba-tiba tersenyum, "Kok jadi kamu yang ngasih kue? Harusnya yang waras 'kan ..." Caca terkekeh.
"Masyaallah, dia memang benar-benar cantik. Senyumnya bikin meleleh," gumam Radit dalam hati.
Saat itu, Raditya tidak membalas ucapan Caca. Dia malah terpesona dengan senyum dan tawa Caca yang begitu manis baginya. Tidak lama, dia tersadar dari lamunannya dan segera beristighfar.
"Kenapa? Kok istighfar?" tanya Caca.
"E–eng–enggak, kok. Nggak kenapa-kenapa. Terpesona saja sama senyumanmu," ucap Raditya. Sialnya, Caca kembali menekuk mukanya dan bersikap menyebalkan seperti hari-hari lalu–membuat Raditya juga kembali minta maaf dengan menghela nafas berat.
Pria muda itu lama-lama juga kesal dengan Caca yang terlalu dingin dan sulit untuk di taklukkan. Tetapi, dia semakin penasaran dan ingin mengenal lebih jauh lagi dengan Caca.
"Makasih ya, coklatnya. Ternyata bisa baik juga ya, kamu." Caca tersenyum meledek Raditya.
"Saya memang dari dulu baik. Nggak kayak kamu, juteknya minta ampun," gerutu Raditya.
"Dih, sombong amat." Caca tersenyum kecut, sambil mengangkat piring-piring kotor untuk dia bawa ke dapur rumah sakit, agar petugas tidak perlu masuk ke kamar Raditya.
Sebab, Raditya adalah pria yang cukup galak dan cerewet, setiap kali ada petugas atau perawat yang datang ke kamarnya.
Saat Caca hendak kembali ke kamar Raditya, dia merasa kasihan dengan Raditya dan tidak ingin lagi membuat kesalahan yang mengesalkan hatinya.
"Mau gimana pun, dia udah nyelamatin aku dan aku harus balas budi sama dia," gumamnya dalam hati.
"Kak, mau beli kue nya, gak? Mumpung masih hangat, Kak." Seorang anak laki-laki tiba-tiba mendatangi Caca yang sedang melamun di depan pintu kamar Raditya. Anak usia SD itu menjual roti goreng buatan rumah yang sengaja di jual keliling rumah sakit.
"Berapa?" tanya Caca.
"Satu potong seribu, Kak. Sehat dan bersih kok, Kak." Anak laki-laki itu berusaha meyakinkan Caca agar mau membeli dagangannya.
"Okey. Aku mau satu bungkus aja, ya. Isi berapa itu, Dik?" tanya Caca kembali.
"Sepuluh potong, Kak." Bocah itu memberikan sebungkus roti goreng ke Caca dan mengambil uang kembalian, tapi Caca menolaknya dan memilih segera masuk, lalu menutup pintunya.
Raditya terkejut melihat Caca berlarian. Dia yang saat itu sedang asyik membaca buku, kini turut panik dan menanyai Caca 'apa yang terjadi' sehingga membuat Caca harus tergesa-gesa masuk kamar.
"Nggak papa, kok. Nggak ada apa-apa," ujar Caca.
"Nih, mau nggak? Barusan beli di depan, masih panas. Tapi ..., makanan murah, sih." Caca menaruhnya di meja.
Awalnya Raditya hanya meliriknya saja. Tetapi lama-lama, dia mengambil dan memakannya satu potong dengan lahap.
Caca mendadak bengong, "Kamu mau roti goreng!" Suaranya sedikit keras.
Raditya memandang Caca, "Nggak ikhlas banget sih ngasihnya. Nanti saya ganti uangmu," ujar Raditya dengan muka cemberut.
Caca terkekeh, "Bukan itu maksudku. Aku kira orang kaya kayak kamu gini, nggak doyan makanan murah. Makanya aku syok," ujar Caca.
Raditya tertawa, "Saya bukan pria kemayu. Saya juga bukan orang kaya. Bagi saya, semua makanan itu enak. Selagi hygenis dan halal, saya nggak pernah memilih-milih makanan."
"Saya ini hanya anak dari seorang ibu yang bekerja menjadi Guru TPQ dan bapak saya buruh tani," sambungnya.
"Kalau kerjamu apa?" tanya Caca. Raditya hanya diam, hingga beberapa menit.
"Saya ..., nggak penting itu. Nanti juga kamu tahu sendiri," ujar Raditya.
"Ish. Pelit amat," gerutu Caca dengan sedikit memajukan bibirnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments