"Ngapain ke sini?" tanya Caca dengan nada ketus.
"Santai saja, kali. Aku kesini mau kasih tahu kamu kalau aku dua bulan lagi mau nikah. Kamu masih punya waktu untuk mencegah pernikahan itu, kalau kamu masih sayang sama aku," ujar pria tinggi blasteran dua negara.
Caca tertawa, "Mas Sandi, kamu dengar sendiri, kan!" ucap Caca dengan suara keras. Sandi hanya tersenyum miring dan menggelengkan kepala saja, mendengar ucapan Haikal yang dia lontarkan kepada adiknya.
"Untuk apa aku mencegah hari bahagiamu? Aku nggak akan pernah mencegah atau pun ikut campur urusanmu. Justru aku bahagia, bila kamu bahagia. Bukankah dulu yang membuat aku memutuskan hubungan, itu kamu? Apa kamu lupa? sekarang kenapa kamu bicara seperti itu?" tanya Caca.
"Maaf, Bro ... perasaan cinta itu sudah hilang dan seratus persen nggak ada lagi untuk kamu." Caca menjelaskan panjang lebar tentang perasaannya saat ini dengan Haikal, kepada Haikal.
Caca juga tidak segan-segan mengatakan bahwa dirinya tidak pernah berharap bisa bertemu dengan Haikal lagi, setelah kejadian pengkhianatan yang cukup menyayat hati itu. Sandi juga berkata hal yang serupa dengan Caca. Dia sangat bahagia dan mengucapkan selamat, kepada Haikal atas keberhasilannya dalam hubungan asmara dengan kekasih barunya.
Sandi berharap semoga hubungan mereka langgeng dan tidak ada pengkhianatan- pengkhianatan berikutnya, seperti apa yang telah menimpa adiknya. Haikal hanya diam, tidak dapat bicara apapun. Dia kemudian berpamitan pulang dan meminta maaf untuk yang terakhir kalinya, kepada Caca dan juga Sandi, sebagai kakak kandung Caca.
***
Langit mendung seakan bercerita. Tentang asa yang tak bertepi Terlihat sendu, memang Namun hati tak pernah bimbang Selama Tuhan masih terpatri dalam hati Kuyakin ada jalan keluar yang mengiringi Sebab Tuhan tak pernah buruk hati Mungkin memang tidak hari ini Namun tepat waktu itu pasti
by Caca
Diksi singkat itu tertulis dalam profil akun media sosial miliknya. Puluhan komentar pun berbaris, menyerbunya. Ada yang mengamini, menyemangati hingga menghakimi. Namun Caca tidak pernah mempermasalahkan itu. Sebab penghakiman, hinaan dan cacian itu sudah biasa dia dengar dan dia dapatkan, sejak dia masih kecil hingga dewasa ini.
Baginya semua itu adalah cambuk untuknya agar dia semangat melakukan hal-hal baik dan hidup yang lebih baik lagi, dengan sifat dan mental yang lebih baik lagi. Gadis mungil merah jambu itu tidak pernah berhenti berharap akan keajaiban dari Tuhan. Dia sangat percaya bahwa Tuhan tidak pernah membiarkan hamba-Nya larut dalam kesedihan dan juga penderitaan.
Dia meyakini bahwa Tuhan menciptakan manusia berada di dunia ini bukan untuk menderita, tetapi untuk memenangkan sebuah ujian yang nantinya akan bisa membuat hidupnya bahagia. Simpelnya, Tuhan menciptakan manusia di bumi ini untuk belajar.
Belajar memahami sesama manusia, walaupun berbeda-beda suku, agama, karakter, bahasa, pemikiran dan banyak lagi lainnya. Belajar untuk bersabar menghadapi ujian dan belajar untuk bisa menerima kenyataan atas segala apa yang sudah Tuhan tetapkan.
Seperti apa yang telah menimpanya saat ini. Bagi Caca, putus dengan Haikal adalah suatu keuntungan sendiri untuknya. Karena dengan mereka berpisah, Caca bisa mendapatkan banyak pelajaran hidup dan juga teman-teman yang baru–dengan pengalaman yang baru pula.
Meskipun terasa sepi, membosankan dan sangat berbeda dari kehidupannya yang dulu, tetapi Caca yakin, selagi masih ada Tuhan di hatinya, semua pasti akan baik-baik saja. Caca yakin, kesepian itu akan segera hilang, bila Tuhan sudah mendatangkan seorang pria terbaik untuknya yang akan menemani dia di kala suka dan duka. Menerima segala kekurangan dan kelebihannya dengan sebuah ketulusan.
Bripda Bayu mengirim pesan! Nada dering pesan hijau pada ponsel Caca berbunyi. Dia sengaja menggunakan nada dering custom, agar dia tahu 'siapa yang mengirim pesan,' tanpa harus membukanya.
Bripda Bayu : Malam, Ca. Ganggu gak?
Caca : Ya, malem. Nggak kok. Kenapa?
Bripda Bayu : Gak papa, cuma pengen ngobrol saja. Lagi apa sekarang?
Caca : Lagi santai aja, sih. Tapi habis ini mau tidur.
Bripda Bayu : Oh, gitu. Masih sore loh ini, masih jam delapan. Memangnya terbiasa tidur sore ya? Hehe
Caca merasa sangat risih, membaca pesan terakhir dari Bayu. Dia mendengus dan tidak lagi mau membalas pesannya. Bagi Caca, semua lelaki sama saja. Apalagi, Caca bukan tipe perempuan yang suka di atur berlebihan.
Apalagi dengan orang yang tidak memiliki hubungan apa-apa dengannya. Gadis merah jambu itu sengaja menjauhkan ponselnya dari tempat tidurnya dan dia pejamkan mata–beristirahat untuk kumpulkan tenaga yang baru, meskipun dia belum mengantuk.
***
"Ca, di tunggu Sahida di depan," ucap Sandi.
Caca tidak menjawab ucapan Sandi.
Dia berjalan menuju ruang tamu dan menemui Sahida. Kali ini wajah Sahida sedikit berbeda dari biasanya–yang membuat jiwa jahilnya Caca keluar.
"Tumben, make up. Habis makan apa?" Caca tertawa–meledek Sahida.
"Ih, apaan sih. Memangnya kamu aja, yang boleh cantik? Aku juga mau, lah." Sahida mengerutkan alisnya dan menjawab ledekan Caca dengan sewot.
Caca semamin tertawa, melihat ekspresi Sahida yang manyun. Tiba-tiba, Sahida memutus ledekan Caca dengan memberikan informasi yang membuat suasana pagi ini mendadak menyebalkan. Raditya menyuruh Sahida untuk membawa Caca ke rumah sakit. Sebab Caca harus bertanggung jawab.
"Apaan, sih. Lebay banget. Aku kan sudah tanggung jawab, Da. Udah aku bawa ke klinik juga, aku bayarin juga. Harus tanggung jawab model apa lagi, sih?!" tanya Caca dengan suara keras.
Sahida mengendikkan bahu, "Mana ku tahu, Ca. Makanya, ayo ke sana sama aku.
Lagi-lagi, Caca di buat kesal oleh Raditya. Dia mendengus dan terpaksa menerima ajakan Sahida. Gadis jutek segera berganti pakaian, lalu berangkat ke klinik untuk menemui Raditya.
Di sepanjang jalan, Caca masih terus mengomel hingga tiba di lokasi. Sampai di lokasi, ternyata gadis itu di pertemukan dengan hal yang menyebalkan hatinya lagi. Raditya meminta Caca merawatnya sampai sembuh.
***
"Ogah. Kamu pikir, aku ini perawat? Nggak usah cari kesampatan dalam kesempitan, ya ...," ucap Caca–ketus.
"Wah wah ... Nggak bisa begitu, dong. Gara-gara kamu ngelamun di tengah jalan, saya jadi seperti ini. Kalau saja saya nggak menghindar, kamu mungkin bisa patah tulang karena saya tabrak," jawab Raditya.
"Ya tapi 'kan, aku udah tanggung jawab! Udah aku bawa ke sini dan aku bayarin juga," ujar Caca.
Akan tetapi Raditya masih bersikeras meminta Caca untuk tanggung jawab. Dia ingin Caca yang merawat dan menjaganya, selama masih di klinik.
"Terus ... Maumu apa, sekarang?" Caca bertanya sekali lagi dengan sedikit membentak.
"Ya ..., saya maunya kamu yang rawat dan jagain saya di sini sampai sore, sampai saya sudah bisa pulang. Kalau kamu keberatan, nggak papa, sih. Tapi jangan salahkan saya kalau nantinya saya bikin laporan ke Polisi." Raditya menatap Caca yang sedang murung.
Sahida membujuk Caca agar mau mengikuti kemauan dari Raditya. Dengan berat hati, Caca bersedia. Namun dia hanya bisa mengunjungi jam tujuh pagi sampai jam tiga sore saja, sebab dia juga punya pekerjaan lain.
Raditya setuju dan dia bernafas lega. Caca akan memulainya besok pagi. Dia dan Sahida kembali pulang, setelah urusannya selesai.
"Mampir ke kafe Saras, yuk. Bete, aku ..." ujar Caca sembari memakai helmnya.
"Dah lah, Ca. Nggak usah di bikin kesel gitu. Kali aja, kalian jodoh dan bisa nikah setelah kisah ini." Sahida terkekeh.
"Aduh ..., mending aku jomblo, deh. Daripada punya suami ngeselin model dia begitu," jawab Caca.
Caca sendiri tidak pernah menyangka akan Tuhan pertemukan dengan orang seperti Raditya–sorang pria menyebalkan yang sangat sok kenal dan hobi dakwah tanpa kenal waktu dan tempat.
"Mimpi apa, Ca ... Kamu bisa ketemu orang model Raditya. Emang iya, ganteng, sih. Tapi kelakuannya bikin ilfeel," ucapnya dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments