Raditya sudah tidak bisa lagi membohongi hatinya yang gelisah, sehingga dia terpaksa menghubungi Saras untuk menanyakan keberadaan Caca.
"Halo, Mbak. Kamu tahu tidak, Caca hari ini ada jadwal kemana?"
"Emang kenapa, kok tanya gitu? Aneh banget," tutur Saras.
"Saya khawatir saja sama dia. Saya ingin mengikutinya dan memastikan dia baik-baik saja."
Di ruang kasir–kafe miliknya–Saras berpikir serius. Dia memikirkan ucapan Raditya yang tidak seperti teman biasa.
Seraya mengangkat satu tangannya ke pinggang, Saras mencoba menyelidik Raditya dengan beberapa pertanyaan.
"Emang kamu siapanya Caca, sampai sebegitunya, ha? dia itu modelan cewek yang ribet dan kagak suka dicampuri urusannya," ujar Saras.
"Saya tidak peduli sekalipun harus kena marahnya Caca, Mbak. Yang terpenting saya bisa menjaga dia." Suara panik terdengar begitu jelas. Sedikit bergetar.
"Saya suka sama Caca," imbuhnya dengan suara lirih sembari menahan rasa malunya.
Seketika itu juga, Saras tertawa keras hingga sakit perut lantaran mendengar pengakuan Raditya yang sesuai dengan dugaannya sejak beberapa minggu yang lalu.
"Ngobrol dong, dari tadi! Okey, gue kasih tahu agendanya Caca, tapi jangan pernah bilang kalau gue yang kasih tahu, ya ..."
"Oke, siap!" Pemuda itu menghela nafas lega.
Saras mengirimkan alamat lengkap tempat pemotretan Caca dan Sahida ke nomor hijau milik Raditya. Mata Raditya terkejut dengan penjelasan Saras. Dia tidak menyangka kalau perempuan yang dia sukai ternyata bukan perempuan biasa.
"Jadi, dia seorang model juga. Masyaallah, luar biasa keren, cewek ini," tutur batinnya.
Bel pulang berbunyi dan dia segera berangkat menuju ke sebuah jalan yang ia perkirakan akan dilintasi oleh Caca dan Sahida. Dengan tekad yang tidak main-main dan dengan penuh kesabaran, Raditya menunggu di sudut Jalan Senayan sembari terus mengawasi jalanan.
"Akhirnya ... Nongol juga," ucap Raditya sembari tersenyum dan melajukan motornya.
***
Tepat di depan Kafe Dahlia, pengintaian Raditya terbongkar oleh Caca. Gadis jutek itu berjalan dengan santai, menuju ke pintu gerbang kafe, lalu menegur Raditya yang pura-pura tidak melihatnya.
"Ngapain disini? Ngikuti aku, ya?" Caca tertawa seraya memukul lengan tangan kanan Raditya.
"Eng–enggak ..., siapa juga yang ngikutin kamu? GR banget, sih. Saya kebetulan saja lewat sini, terus ketemu kamu," ujar Raditya.
Caca meliriknya, "Emm .. Masa, sih? Yang bener?"
"Iya, serius ..., Ca!"
"Ya udah kalau gitu aku masuk dulu ya! Hati-hati kalau mau pergi, nanti kepikiran!" teriak Caca sembari pergi meninggalkan Raditya.
Pria itu mendecih, lalu memasukkan motornya ke halaman kafe dan turun–mengikuti Caca dan Sahida.
"Ca. Raditya kok ikutan masuk, sih. Pakai sragam, lagi," bisik Sahida.
"Biarin aja lah, Da. Mau gimana lagi? Masa mau kita usir? Yang ada nanti malah jadi keributan, disini."
Caca berhenti di tempat kasir dan menanyakan tempat yang sudah dia booking beberapa hari yang lalu. Kasir itu lantas memanggil salah satu temannya untuk mengantar Caca dan Sahida ke lokasi.
"Mohon maaf, Pak. Bapak mau pesan apa?" tanya pelayan kafe yang menghalangi jalannya.
"Mas, dia ikut rombongan saya!" teriak Caca.
"Oh, baik, Mbak. Silakan ke belakang kalau begitu, Pak ..." Sang pelayan dengan ramah mempersilakan Raditya mengikuti Caca dan Sahida.
Tiba di lokasi pemotretan, lebih tepatnya ruang kafe bernuasa taman yang indah, Caca bertemu dengan satu foto grafer, satu video grafer dan dua model yang akan memakai produk karya Caca.
"Periasnya mana?" tanya Caca.
"Belum datang, Mbak. Masih kena macet di jalan, katanya," sahut Amira–salah satu model ternama di kotanya.
Caca hanya manggut-manggut, lalu memilih duduk di tempat bergaya gubuk atau jogloan–di dekat kolam ikan, disusul oleh Sahida dan Raditya. Sembari menunggu periasnya datang, Caca dan Sahida mengeluarkan seluruh produk yang akan di foto dan video. Tetapi, sorot matanya tiba-tiba melihat Raditya yang duduk termenung, sedikit menunduk karena sedang memainkan ponselnya.
"Oh iya, teman-teman, maaf ya .. Kali ini teman aku minta ikut. Dia khawatir kalau aku kenapa-kenapa di jalan, katanya." Caca meringis sembari berpandangan mata dengan Raditya–beberapa saat.
"Dia namanya Raditya. Kenalan dulu, dong ... Biar akrab," ujar Caca lagi.
Tidak lama kemudian, pelayan kafe datang memberikan buku menu dan mencatat semua pesanan Caca beserta teman-temannya.
"Saya kopi saja, Mbak. Obatnya ngantuk," ucap Raditya sembari sedikit meringis.
"Tambah air mineral dingin 3 botol ya, Mbak," sahut Caca.
Caca tahu kalau Raditya sangat lelah dan ngantuk, tetapi dia memaksakan diri untuk mengikutinya ke kafe. Sehingga Caca sengaja memesan air dingin juga untuk Radit. Tak lama yang ditunggu telah datang.
Kegiatan photoshoot dimulai dan berjalan cukup lancar. Sementara Caca berulang kali menengok ke belakang. Ya ... Tentu saja menengok Raditya yang masih duduk santai di jogloan sembari merekam suasana sekitar kafe.
Caca tersenyum dan memutuskan untuk mendatangi Raditya dan menyerahkan pekerjaannya kepada Sahida.
"Pak! Gak capek?" tanya Caca.
"Capek, lah. Tapi capek saya hilang kalau ketemu kamu," ucapnya.
"Hmm ... Gombal nih, ceritanya?"
"Nggak, kok. Nggak nggombal. Saya ngomong serius." Mereka saling memandang beberapa detik, lalu Caca berusaha mengalihkan obrolan mereka dengan minum jus yang sudah dihidangkan.
"Air dinginnya jangan lupa diminum, biar gak dehidrasi. Jangan kopi mulu," ucap Caca.
"Iya ..., terima kasih. Perhatian banget, sih. Tumben." Polisi muda itu pun terkekeh dan menjadi saling bergurau sampai pemotretan selesai.
***
Burung-burung berterbangan di sekitar taman, seakan menjadi saksi kedekatan Caca dan Raditya. Hingga mereka keluar dari lokasi menuju ke halaman depan, Raditya tidak ada henti-hentinya memandang Caca yang sedang asyik mengobrol dengan teman-temannya sembari berjalan.
"Total semuanya berapa, Mbak?" Suara khas anak-anak itu terdengar nyaring di tempat kasir.
Raditya segera mendekatinya dan melarangnya untuk membayar makanan dan minuman yang telah dipesan.
"Biar saya saja yang bayar, Ca," ujarnya.
"Loh, jangan dong, Pak. Gak apa-apa biar aku aja, ini 'kan acaraku," sahut Caca.
Berdebat masalah sepele seperti biasanya, seolah sudah menjadi ciri khas mereka saat bertemu. Hingga Caca membungkam mulut Raditya agar bisa diam.
Lelaki tiga tahun lebih muda dari Caca itu berakhir diam–tidak bisa berkata apa-apa lagi selain ucapan terima kasih.
"Aku gak suka perdebatan, apalagi hal sepele. Lagian jadi cowok gengsian banget, sih. Disini adalah acaraku, kebutuhanku, jadi aku yang bayar," gerutu Caca sembari mendekati Sahida yang sedang mengambil motornya.
"Caca!" teriak Raditya. Namun Caca hanya menoleh.
"Ada yang mau saya bicarakan sebentar sama kamu, sebelum pulang. Bisa, 'kan? Tapi nggak disini bicaranya," ujar Raditya lagi.
"Ngomong apaan, sih? Pakai acara rahasia segala. Ribet, deh." Gadis itu kembali menaruh helm nya.
"Ya udah ayo, dimana?" tanya Caca.
Raditya sudah seperti sinetron Ftv yang biasa dilihat oleh anak-anak muda masa kini. Dia menggandeng tangan kanan Caca dan berhenti di samping mushola yang tidak jauh dari pintu masuk kafe.
"Cepetan, mau ngomong apa?" tanya Caca lagi.
"Saya ingin kamu jadi pendamping hidup saya. Apa kamu mau?"
Sebuah pertanyaan tidak terduga yang membuat wajah Caca memerah dan kebingungan.
"Kamu serius? Tapi aku ini cuma—"
"Ca, ayo cepetan! Keburu Maghrib!" Teriakan Sahida membuat Caca menghentikan ucapannya.
"I–iya! Nanti aja ya, lanjut japri. Assalamualaikum!" Caca berlari pergi–meninggalkan Raditya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments