Arkana tepat berada di depan ruang UGD, menunggu Mazaya yang berada di dalam sana, yang langsung ditangani oleh seorang dokter dan beberapa perawat. Wajah Arkana tampak tegang sambil menautkan jari-jarinya tanda khawatir. Apa Mazaya akan melahirkan?batinnya bertanya.
"Di mana Mazaya? Apa dia di dalam?"
Arkana langsung menoleh pada sumber suara seseorang yang menggema dengan penuh kecemasan. Pandangannya bertemu dengan Gery yang tampak ingin menerobos pintu di depannya. Satu jam yang lalu saat Gery berada dalam pesawat, dia merasakan keresahan dan kekhawatiran teramat dahsyat pada Mazaya. Firasatnya mengatakan ada kejadian buruk telah menimpa Mazaya. Gery menepati ucapannya di telepon kemarin yang mengatakan dia akan pulang.
Dan beberapa menit ke belakang ketika Gery sampai di rumahnya, pelayan memberitahunya berita tak baik yang membawa langkahnya ke rumah sakit ini.
Belum sempat Arkana menjawab Gery, perhatiannya teralihkan oleh suara pintu yang dibuka.
"Suami pasien," ucap seorang dokter yang berdiri di ambang pintu seraya melirik dua pria di depannya bergantian.
"Saya." Dua lelaki itu menjawab serempak, memancing munculnya kernyitan di dahi sang dokter. Dokter itu bingung. Yang mana suami pasien sebenarnya?
"Dia istriku. Kami belum bercerai," ucap tegas Arkana pada Gery. Meski pandangannya tak mengarah pada lelaki blasteran itu, tetapi pada sang dokter.
"Aku ayah bayi itu." Suara Gery tak kalah tegas, meskipun yang diucapkannya itu merupakan kebohongan.
Arkana memejamkan mata sejenak dan rahangnya mengeras. Sialan! Dia kalah telak. Arkana memercayai kebohongan itu. Namun, meski begitu dia enggan mengalah. Ditatapnya Gery dengan tajam. "Aku akan memercayai itu jika bukti validnya ada di hadapanku."
Kini Gery yang memejamkan mata sejenak dengan geram. Dia tahu apa maksud Arkana. Tes DNA. "Simpan saja khayalanmu itu. Sampai kapan pun aku tak akan membiarkan darah dagingku digugat oleh siapa pun. Tak ada yang berhak meragukan identitas keturunanku." Gery bersikeras menutupi kebenaran, mengingat sikap Mazaya yang berupaya menyembunyikan identitas asli bayi itu.
Awalnya Arkana percaya bahwa bayi itu memang milik Gery. Akan tetapi, saat melihat reaksi Gery saat ini, tiba-tiba dia meragukan terhadap apa yang selama ini dia percaya, yang membuat hidupnya hancur berantakan.
"Melihat reaksimu ini, aku semakin bertekad ingin mengetahui identitas sebenarnya bayi itu." Arkana memicingkan mata pada Gery. "Kau atau aku ayahnya akan terungkap melalui tes DNA."
"Tuan-Tuan, maaf, selesaikan nanti permasalahan kalian. Ada hal darurat yang perlu segera ditangani. Pasien tidak bisa lahiran normal karena ketubannya sudah kering. Untuk tindakan operasi, pihak keluarga harus menyelesaikan tahap administrasi terlebih dahulu."
"Silakan persiapkan segala sesuatunya, Dok. Jangan risaukan masalah administrasi. Saya akan mengurusnya." Setelah mengucapkan itu, tanpa menunggu--setidaknya anggukan sang dokter--Gery langsung berlari menuju meja administrasi. Dan dokter langsung bergerak cepat, melakukan persiapan operasi Mazaya.
Sementara Arkana, dia melihat punggung Gery yang sudah menjauh sambil merutuki kelemahan fisiknya. Jika saja dia sehat bugar, dia tak akan membiarkan Gery menyelesaikan administrasi itu. Dia yang akan mengambil alih. "Sial! Sial! Sial!" Arkana memukuli tubuhnya sendiri dengan frustasi. Membuat perawat yang menemaninya menghela napas berat sambil menggelengkan kepala. "Jangan sakiti diri sendiri, Tuan," ucap perawat itu mengingatkan, yang langsung mendapat tatapan menusuk Arkana.
***
Pintu dibuka dari dalam ruangan operasi, yang menampilkan dokter di ambang pintu. "Tuan Arkana," panggil sang dokter pada salah seorang yang setia di depan ruangan itu. "Sebelum tindakan operasi kami lakukan, pasien ingin Anda masuk dan menemaninya."
Wajah Arkana berubah cerah mendengar itu. Namun, ada wajah lain yang tampak muram.
Gery. Dia pergi ke kursi tunggu sambil meluruskan kakinya. Memandang ke bawah, menekuri lantai. Dia mendadak merasakan seperti ada benda tajam menusuk sudut hatinya.
Setelah melakukan beberapa prosedur untuk memasuki ruangan operasi, Arkana langsung dibawa masuk ke ruangan di mana Mazaya akan menjalani proses persalinan yang mempertaruhkan nyawanya.
"Ma-Maz-zaya." Perasaan terkejut, terharu, dan bahagia membuat bibir Arkana berucap terbata-bata. Dia meraih tangan Mazaya yang bebas dari selang infus.
Mazaya membalas genggaman tangan Arkana. "Aku ingin membuat pengakuan," katanya lemah. "Dia anakmu, keturunanmu. Maaf sudah membohongimu."
Arkana tak kuasa membendung air matanya. Dia tak lagi memerlukan tes DNA. "Sudah kuduga sebelumnya," balas Arkana sembari mengecup punggung tangan Mazaya berulang kali. Kecurigaannya beberapa menit ke belakang ternyata benar. Bayi yang sebentar lagi terdengar tangisannya itu adalah darah dagingnya, calon ahli warisnya kelak.
Dokter mulai memberi obat bius pada Mazaya dan secara perlahan kesadaran wanita itu memudar, meski efek obat itu tak menimbulkan ketidaksadaran secara total. Mazaya masih dapat mendengar percakapan dokter dan beberapa perawat yang menanganinya. Tak terasa air matanya meleleh melewati pipi dan Arkana dengan sayang mengusapnya menggunakan ibu jarinya.
Operasi yang berlangsung selama 60 menit itu sukses, ditandai oleh lahirnya seorang bayi laki-laki dengan selamat dan selamatnya sang ibu. Arkana begitu bahagia saat menyaksikan Mazaya menjalani tahap skin to skin dengan bayi mereka. Air matanya bergulir haru. "Lihatlah, Arkana, dia sepertimu. Sangat tampan," ucap Mazaya dengan suaranya yang lemah sembari menghayati proses itu.
Arkana tersenyum, teramat bahagia. "Dia lebih tampan dariku."
Dalam momen haru dan bahagia itu, entah mengapa, Mazaya merasa ada yang kurang. Di salah satu sudut hatinya tak merasakan kepuasan dan kelegaan, tetapi dia tak mengerti apa itu.
Satu jam kemudian, Mazaya beserta bayinya sudah ditempatkan di ruang rawat inap. Arkana terlihat terus mendampingi wanita yang telah resmi menjadi ibu itu. Tak berselang lama setelah kepindahan itu, datang seorang perempuan yang menciptakan atmosfer mencekam dalam ruangan itu. Sialan! Dari mana perempuan egois itu tahu bahwa dia sekarang sah dipanggil nenek?
Mazaya memeluk bayinya posesif saat Nyonya Abraham memandangi makhluk mungil itu.
"Hei, aku ini neneknya. Kenapa kau bertingkah seolah melihat penjahat. Aku tidak akan menyakitinya," kata Nyonya Abraham dengan lembut dan tersenyum manis, membuat Mazaya sedikit lega dan mulai merenggangkan pelukannya pada si bayi.
"Sebaliknya, aku akan membawanya dan merawatnya dengan sangat layak," lanjut Nyonya Abraham dengan seringai kecil, memancing kembali rasa takut Mazaya. Mazaya kembali memeluk bayinya dengan posesif dan hati-hati.
Mazaya menggeleng takut. "Ti-tidak. Ja-jangan bawa anakku."
Nyonya Abraham semakin memajukan wajahnya pada cucunya. "Dia keturunan Mahesh. Merupakan hinaan jika dia dibesarkan oleh perempuan hina berlumur dosa sepertimu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments