Bab 19. Ketuban Pecah Dini

"Ya Tuhan, kau menanyakan ini sudah lebih dari seratus kali, Gery. Aku belum merasakan tanda-tanda akan melahirkan. Kau tenanglah. Ini masih dua minggu menuju tanggal HPL," ucap Mazaya di telepon, berbicara dengan Gery yang sedang berada di Singapura karena urusan bisnis. Sudah hampir dua minggu lelaki yang berperan bagaikan malaikat penolong bagi Mazaya itu meninggalkan wanita yang sebentar lagi menyandang sebutan ibu itu. Gery hanya menyisakan seorang sopir dan seorang pelayan di rumah putihnya untuk menemani dan melayani yang Mazaya butuhkan.

"Agak berlebihan sebenarnya jika aku mengatakan aku sangat mengkhawatirkanmu," ucap Gery di seberang sana, dengan nada ragu-ragu campur cemas. Selama berada di Singapura, rasanya dia lebih pantas disebut sebagai peneror daripada penolong Mazaya. Sebab dalam waktu 30 menit sekali, dia menelepon Mazaya, memastikan kabar wanita itu baik-baik saja. Mazaya pun terkadang dibuat jengkel oleh sikap berlebihan Gery yang selalu menanyakan apakah dia merasakan tanda-tanda akan melahirkan. Padahal, lelaki tampan blasteran itu pun tahu prediksi tanggal kapan bayi itu akan lahir ke dunia.

"Tidak. Kau tidak berlebihan, Gery." Kali ini Mazaya tak merasa jengkel, justru tersentuh dengan segenap perhatian dan kecemasan Gery. "Karena kau uncle-nya."

Mazaya mendengar suara Gery terkekeh di seberang sana.

"Baiklah, Mazaya, satu menit lagi meeting akan dimulai, aku harus masuk ke ruangan. Jaga dirimu baik-baik. Jika tak ada kendala, kuusahakan besok aku akan pulang."

"Tapi bukankah seharusnya kau pulang seminggu lagi?" tanya Mazaya.

"Aku tidak bisa membiarkan kecemasanku mengenaimu berkeliaran mengganggu pikiranku," balas Gery, masih terdengar cemas. "Sumpah demi apa pun, pekerjaanku di sini akan sia-sia jika aku tidak memastikan sendiri keadaanmu. Jadi kuputuskan lebih baik aku segera pulang. Biar saja di sini di-handle sekretarisku."

Mazaya menggigit bibirnya, merasa bersalah. "Maafkan aku jika kondisiku selalu membeba--"

"Bukan itu maksudku, Mazaya. Tapi, memang aku yang tak bisa ... jauh darimu." Gery berkata pelan saat kalimatnya yang terakhir, membuat Mazaya tercenung mendengarnya.

Menciptakan hening beberapa detik lamanya hingga Gery berkata, "Ah, Mazaya, beberapa klienku terlihat memasuki ruang meeting. Kututup telepon ini dulu, ya. Sesudah rapat ini aku akan menghubungimu lagi, boleh?"

Mazaya mengangguk meski tak mungkin terlihat oleh Gery dan menyahut pelan, "Tentu."

Sementara di tempat lain, di atas tempat tidur rumah sakit, seorang lelaki berkulit pucat serta pipi dan lingkaran mata cekung tampak mengigau. "Mazaya, cintaku, jangan tinggalkan aku, kembalilah padaku, Mazaya. Aku sangat merindukanmu."

Ya, lelaki yang sedang terbaring lemah itu adalah Arkana. Satu minggu sudah dia dirawat di rumah sakit karena penyakit aritmia yang dideritanya. Gaya hidupnya yang bebas tak terarah, kegemarannya menenggak minuman beralkohol adalah pencetus penyakit itu bersarang di tubuhnya.

Nyonya Abraham melihat iba dan sayang pada putranya yang tersiksa karena rasa rindunya. Meskipun dia enggan mengakui, kehancuran Arkana adalah akibat dari keegoisannya. Akan tetapi, alih-alih menyadari kesalahannya atas kondisi ini dan merasa bersalah pada Mazaya lantas ingin memperbaiki sikap dan hubungannya dengan menantu yang disia-siakannya itu, dia justru menaruh dendam pada Mazaya.

Dan selama ini dia juga memburu keberadaan Mazaya untuk memastikan apakah wanita itu telah mengandung keturunannya, dan jika jawabannya adalah iya, maka dia sudah mempersiapkan langkah untuk merebut keturunannya itu.

Namun, tampaknya semesta sedang berbaik hati pada Mazaya. Nyonya Abraham tak dapat menemukannya, sekeras apa pun dia berusaha.

"Mama berjanji, Arkana, wanita itu akan membayar mahal atas rasa sakit dan penderitaan yang kau tanggung ini. Itu janji Mama," lirih Nyonya Abraham sembari membelai rambut sang putra yang masih meracau dalam tidurnya.

Keesokannya, ketika Mazaya sedang mematut dirinya di depan cermin dan menyisiri rambutnya, mendadak dia merasakan air mengalir dari selangkangannya. Bukan. Dia tidak mengompol, tetapi itu adalah air ketuban. Dia mengalami pecah ketuban dini. Ini belum waktunya.

"T-tolong," erang Mazaya penuh takut dan cemas, sambil melempar barang-barang yang ada di meja rias ke lantai supaya menarik perhatian pelayan di rumah itu. Tak berselang lama, pelayan mendatanginya disusul sang sopir. Si sopir kemudian bergegas membawa Mazaya ke rumah sakit.

Kurang dari 30 menit kemudian Mazaya tiba di rumah sakit, dua orang perawat membantunya berbaring di atas brankar. Saat kecemasan dan ketakutan menggerogoti Mazaya, sesaat kecemasan itu teralihkan oleh seseorang yang sedang duduk lemah di atas kursi roda, kursi itu berjalan dari arah yang berlawanan dengannya.

"Arkana." Tanpa terasa bibir Mazaya menyebut nama orang itu. Ayah biologis bayi dalam kandungannya yang kini terancam keselamatannya.

Mendadak perasaan bersalah menjalari Mazaya. Dia merasa berdosa telah menyembunyikan kebenaran itu. Arkana berhak tahu, bayi itu adalah darah dagingnya.

"A-Arkana." Sayangnya, ketika menyadari itu, Arkana sudah lewat dari jangkauannya. Sementara dia semakin dibawa menjauh oleh dua perawat yang mendorong brankarnya. Hati Mazaya tak terelakkan dari rasa gundah dan semakin merasa bersalah. Hatinya sangat tak ... tenang.

Sedangkan di sisi lain, Arkana yang baru menyadari setelah bertukar pandang dengan wanita yang dibawa tergesa-gesa seakan menandakan keadaan darurat itu adalah Mazaya, langsung memalingkan pandangannya ke belakang dan berkata pada perawat, "Cepat bawa aku mengikuti brankar itu, cepat!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!