Bab 7. Mertua Antagonis

Pernah dengar teori--jika lelaki menyimpan dua wanita dalam hidupnya, maka yang pertama karena memenangkan hatinya dan yang kedua karena status?

Hal itu yang sedang berlaku dalam bahtera rumah tangga seorang Arkana Mahesh. Dia tak hanya menahkodai satu penumpang, tetapi dua penumpang sekaligus. Mazaya sebagai pemenang hatinya dan Kaira yang dinikahinya karena status--meski itu bukan kehendak hatinya melainkan perintah sang ibu.

Dan tampaknya itu yang sekarang memenuhi pikiran Arkana. Dua hari menghindari Mazaya dan bersikap acuh tak acuh pada wanita itu membuat hatinya bergejolak. Bukankah wanita itu yang memenangkan hatinya? Lantas kenapa dia seakan menyiakan sang pemenang itu sekarang dan justru memberi peluang besar dekat dengannya pada wanita yang dia nikahi karena status?

Tidak. Dia tidak boleh membiarkan hal ini berlarut-larut. Dia mesti mengambil sikap. "Oke, Mazaya, sepertinya aku terlalu keras terhadapmu," gumamnya seraya memijit pelipis. Lalu lelaki 35 tahun tersebut beranjak mencari keberadaan Mazaya.

***

Kamar mandi terbuka, menampilkan Mazaya yang hanya berbalut handuk putih dengan rambutnya yang basah keluar dari sana. Wanita itu baru saja menyegarkan tubuhnya setelah seluruh pekerjaannya sebagai pembantu di rumah suami sendiri tuntas dia kerjakan. Ironi, bukan? Seorang yang seharusnya bergelar nyonya namun karena ulah mertua antagonis dia harus berperan menjadi ART.

Ketika tangannya menyentuh gagang lemari untuk mengambil pakaian dari dalam, tiba-tiba sepasang lengan kekar melingkar di perutnya.

"Wangi sekali istriku."

"Arkana?" Mazaya membalikkan badan dan bertemu pandang dengan Arkana yang menatapnya dengan sorot kerinduan.

Arkana mengarahkan kedua telapak tangannya membingkai wajah Mazaya. "Maafkan aku," ujarnya tulus. Raut mukanya menunjukkan penyesalan.

Mazaya menggeleng seraya berkata, "Tidak, Arkana. Aku yang semestinya meminta maaf padamu. Aku memang istri yang buruk. Bukannya membuat suamiku tersenyum bahagia di awal lembaran pernikahan kita, tapi malah memancing emosimu. Maaf."

Arkana membalas dengan menggeleng beberapa kali. "Aku tetap bersalah dalam hal ini. Maafkan aku sudah mengabaikanmu dua hari ini. Maukah kau memaafkan lelaki brengsek ini?"

"Yang kau sebut lelaki brengsek itu suamiku," balas Mazaya seraya menempelkan telapaknya di atas tangan Arkana yang membingkai wajahnya. "Dan aku memaafkanmu, Suamiku."

Arkana mengecup kening Mazaya setelah tersenyum lega. "Terima kasih," ucapnya kemudian dengan binar bahagia.

Kedua pasang mata kini saling menyelami hingga beberapa detik kemudian mereka sama-sama terseret oleh derasnya pusaran gairah. Keduanya saling memuja lewat sentuhan-sentuhan pemantik gelora membara, melintasi batas logika. Hingga tenggelam ke dasar ketidaksadaran oleh sensasi nikmat yang menjadi simpul kegiatan mereka siang ini.

"Terima kasih untuk semuanya, Cinta," ucap Arkana sembari membawa tubuh Mazaya ke dalam pelukan. Aroma khas percintaan masih menguar kuat dalam ruangan monokrom itu.

"Kau bahagia?" Mazaya menelusupkan wajahnya ke leher Arkana sembari mengendus aroma parfum yang bercampur keringat.

"Sangat." Arkana merapatkan kelopak mata, meresapi sensasi yang terhantar oleh sentuhan Mazaya di lehernya. "Jika kau terus seperti ini, Mazaya, kau akan kembali merasakan diriku tenggelam penuh dalam dirimu."

"Maka lakukanlah, Arkana. Terbangkan lagi aku ke nirwana."

Bak gayung bersambut, Arkana tak membuang waktu lama untuk kembali menjemput gelombang kenikmatan itu. Beberapa menit kemudian napas keduanya kembali tersengal-sengal dan keringat yang belum sempat mengering bercucuran lagi.

"Terima kasih, tak mengherankan dia hanya meresponsmu. Sentuhanmu sangat paham bagaimana cara membangkitkan dan memanjakannya," ujar Arkana sambil tersenyum bahagia yang disambut serbuan kecupan hangat Mazaya pada rahangnya.

Napas mereka kembali terdengar teratur beberapa detik kemudian. Arkana membawa Mazaya ke pelukannya. "Mazaya, adakah tempat yang menjadi impianmu yang belum sempat kau kunjungi?"

Mazaya berpikir sejenak lalu menggeleng. "Aku tidak pernah memimpikan hal yang muluk-muluk semacam itu. selama ini hidupku dipenuhi impian-impian klise, Arkana. Hidup normal tanpa gangguan dan ketakutan, itu salah satunya."

Arkana mengernyit mendengar jawaban itu. "Gangguan dan ketakutan?"

Mazaya mencoba untuk tidak terlihat gugup. Perkataan yang meluncur barusan tentu di luar kendalinya. Dia tak ingin siapa pun di kediaman megah ini tahu terutama Arkana bahwa dia adalah mantan kupu-kupu malam dan sekarang mungkin Mami Karren, si germo gila itu sedang memburunya. Dia telah bertekad mengubur dalam-dalam bagian kelam hidupnya itu.

"Maksudku, gangguan dari orang-orang yang tidak suka kehadiranku di dekat mereka dan ketakutan tidak bisa makan." Ya, jawabannya ini bukan kebohongan meski tujuannya adalah mengalihkan asumsi Arkana untuk tak mengarah ke sana. Merupakan fakta bahwa Mazaya kerapkali mendapatkan perlakuan tak menyenangkan dari orang-orang yang dengki atas kesuksesannya menggaet pelanggan. Dahulu, ketika dia belum bekerja di tempat Mami Karren, pertanyaan "besok akan makan apa dan akankah dia kelaparan" seringkali menjadi nyanyian sebelum tidurnya.

"Maaf, aku tak ada di saat-saat krusialmu." Arkana semakin menenggelamkan Mazaya dalam dekapan.

"Kenapa meminta maaf? Itu tak ada hubungannya denganmu. Nasibku saja yang memang buruk. Sepertinya Tuhan menciptakanku dalam keadaan marah. Makanya hidupku tak pernah berwarnakan keceriaan. Hanya ada kesengsaraan."

"Ssst, tak elok menyalahkan Tuhan. Ada aku sekarang. Aku bisa menjadi orang yang sangat kau andalkan," ujar Arkana sembari mengangkat dagu Mazaya supaya pandangan mereka bertemu. "Dan aku berjanji, hidupmu akan bertabur kebahagiaan dimulai dari sekarang."

Mazaya tersenyum getir dalam batin. Andai suaminya ini tahu apa yang sudah dilakukan ibunya, apakah masih sanggup berucap demikian. Namun, meski tertampar kenyataan menohok itu, Mazaya menampilkan senyum manisnya seraya mengangguk.

"Dan untuk merealisasikan janjiku, aku akan memulainya dengan ..." Arkana menjeda kalimatnya, sambil tersenyum dia mempertemukan dahi mereka. "Membawamu berbulan madu."

Mazaya mengedipkan kelopaknya beberapa kali. "Be-benarkah?" tanyanya memastikan yang langsung dibalas anggukan. "Ke mana kita akan pergi?"

"Jepang. Suka?"

"Kemana pun kau membawaku, aku menyukainya. Asal ada kau, Arkana."

***

"Maaa." Kaira memasuki kamar ibu mertuanya dengan langkah menyentak lantai, bibirnya maju beberapa senti dan rautnya kecut. Persis seperti anak kecil yang kehilangan mainannya. "Si pembantu rendahan itu mulai lagi menggoda suamiku, Ma."

"Sayang, katakan yang jelas. Coba tenangkan dirimu dulu." Nyonya Abraham membimbing menantu kesayangannya itu ke tepi ranjang. "Coba katakan dengan gamblang sekarang."

"Itu Ma, Arkana di kamar Mazaya dari beberapa jam yang lalu. Pasti mereka sedang--ah! Memang penggoda ulung itu perempuan!" Kaira kembali menyentak lantai dengan geram dengan kedua tangan terlipat di bawah dada.

Nyonya Abraham tertular kemurkaan Kaira. "Mama punya rencana Kaira," ucapnya dengan seringai licik dan Kaira menatapnya dengan raut penasaran.

*

"Mazaya!" Nyonya Abraham menghentikan langkah Mazaya. "Kemari. Aku butuh bicara denganmu!"

Mazaya yang akan pergi ke dapur guna membuatkan minuman jahe untuk Arkana reflek berbalik dan memenuhi panggilan itu. Dia menapaki tangga menuju ibu mertuanya berdiri. "Ada apa, Ma-eh Nyonya?" tanyanya setelah sampai di hadapan sang ibu mertua.

"Aku ingin mendengar pendapatmu tentang gelang baruku. Lihat." Nyonya Abraham menjulurkan lengan untuk memperlihatkan gelangnya. "Bagaimana pendapatmu tentang detailnya? Coba pegang."

Dengan ragu-ragu dan raut sungkan, Mazaya menyentuhkan jemarinya di gelang itu. Meskipun dia tak memiliki pengetahuan perihal perhiasan, tetapi demi menyenangkan hati mertuanya dia mencoba meneliti detail gelang emas itu. Namun, baru beberapa detik dia memfokuskan matanya, tiba-tiba wanita bersanggul itu berteriak kencang memanggil Arkana disusul tubuhnya yang terguling-guling melewati tangga demi tangga hingga ke lantai dasar. "Arkana! Istrimu ingin mencelakakanku!"

Mazaya mendadak linglung dan bingung, mencoba mencerna apa yang terjadi. Dari tangga dia melihat ke bawah di mana Nyonya Abraham meringis kesakitan sambil merintih.

"Mama!"

Dari belakang punggungnya, Mazaya mendengar Arkana berteriak kaget melihat ibunya yang tergeletak tak berdaya sembari memegang kepalanya. "Apa yang kau lakukan padanya, Mazaya!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!