"Kau lihat itu, Kaira? Sikapnya semakin kurang ajar. Oh, Tuhan, di mana Arkana putraku yang manis dan penurut itu?" Nyonya Abraham memijit pelipisnya sembari melihat punggung Arkana yang sudah menjauh. Dia mendadak merasakan kepalanya teramat pusing oleh sebab sikap putra semata wayangnya.
Wanita berkacamata itu tak pernah mau menyadari bahwa sang putra bukan lagi anak kecil yang masih menunggu persetujuan darinya dalam mengambil tindakan. Dia selalu memaksakan kehendaknya pada Arkana. Jika saja dia memberi kebebasan Arkana bersuara pada tiap pilihan dan langkah hidupnya, tak mustahil jika hari ini dia masih mendapati Arkana yang manis dan lembut. Namun, sikap egois dan rasa memiliki sebagai orang tua mengikis kesadaran itu. Dia beranggapan Arkana harus mematuhinya secara membabibuta sebab dia ibu yang mengandung dan melahirkannya. Sungguh pemikiran yang kolot.
"Ma, sudahlah. Tahan emosi Mama. Aku khawatir darah tinggi Mama akan kambuh jika tak dapat mengontrol emosi." Kaira membimbing ibu mertuanya duduk di sofa.
Nyonya Abraham melihat serius Kaira. "Ini juga gara-gara kau, Kaira. Jika saja kau bisa meluluhkan hati Arkana dan menghapus jejak perempuan rendahan itu di hati Arkana, dia akan terbebas dari pengaruh buruk pelacur itu. Putraku tidak akan kurang ajar padaku hanya karena dia."
Apa-apaan ini? Wanita tua ini mulai berani memakiku? Jika saja bukan ibu Arkana, sudah kusumpal mulutnya dengan sepatuku! Kaira menggerutu dalam batin.
Kaira hanya berani merutukinya di hati, tak menunjukkannya ke permukaan. Sebab tak ingin kehilangan pendukung. Lagi pula, dia dan ibu Arkana itu sudah tampak klop sebagai menantu dan mertua jahat. Combo maut.
"Aku tidak akan menyerah, Ma. Aku menjanjikan dalam beberapa bulan ini putramu itu mencintaiku," ucapnya seraya mengelus pundak Nyonya Abraham.
Kaira terkejut oleh gerakan wanita itu yang menghempas tangannya. "Berbulan-bulan? Itu terlalu lama, Kaira. Kau harus berusaha keras sampai dia luluh dalam waktu dekat ini. Aku juga tidak sabar menimang cucu," ucap Nyonya Abraham yang membuat Kaira kembali merutukinya.
Cucu dia bilang? Putranya itu saja tidak pernah memasukiku. Bagaimana caranya aku bisa hamil jika begitu.
"Sudah lebih satu bulan kalian menikah. Tak ada tanda-tanda kehamilan. Bukankah waktu itu kalian sempat "tidur"? Aku mendengar jelas rintihan liarmu."
Kalimat Nyonya Abraham kembali memantik kekesalan Kaira. Jangankan membuatku orgasme dan memuntahkan benihnya di rahimku, pusakanya saja tidak berdiri ketika kusentuh.
"Kaira, jangan melamun! Pikirkan sesuatu dan bertindaklah," tegur Nyonya Abraham yang melihat tatapan kosong Kaira. Kemudian dia memicingkan mata dan melanjutkan, "Jawab pertanyaan Mama, apa kelelakian Arkana tidak berdiri, Kaira? Benar apa yang selalu dia katakan padaku dulu bahwa senjatanya tidak berfungsi selain pada pelacur itu?"
Kalimat terakhir ibu mertuanya itu tentu menjadi tamparan keras di pipinya. Kenyataan itu memang menyakitkan sekaligus memalukan. Jika ditelisik, kurang apa dirinya? Dia cantik, tubuhnya juga indah meski tak semengagumkan tubuh Mazaya. Namun, kemolekan fisiknya tersebut tak dapat menarik minat Arkana. Bahkan, kejantanan lelaki itu sedikit pun tak merespons-nya.
Melihat kebekuan Kaira, Nyonya Abraham berdiri dengan resah sambil tak melepaskan pijitan pada pelipisnya. "Ya Tuhan, aku tidak menyangka memiliki menantu sebodoh ini. Tahu suaminya memiliki kelainan sek*ual, tapi dia tenang-tenang saja."
Lalu dia menunduk, melihat Kaira yang terduduk diam membisu. "Ajak suamimu ke dokter untuk konsultasi, Kaira. Jika perlu, datangi dokter andrologi paling ahli dengan berapa pun biayanya. Yang penting bisa menyembuhkan putraku dari kelainan terkutuk itu."
Kaira pun mulai menggerakkan bibirnya. "Baik, Ma. Aku akan mengajak Arkana ke dokter ahli. Sekarang, Mama tenang, ya."
Kaira berdiri dan hendak mendudukkan lagi ibu mertuanya itu, tetapi ditolak keras. Nyonya Abraham justru pergi setelah berkata, "Dengar, Kaira. Jika kau tak berhasil, aku memiliki banyak stok wanita dari anak para kolegaku yang mampu menggantikan posisimu."
Tangan Kaira mengepal kuat. Matanya tajam memandangi punggung sang ibu mertua yang mulai menjauh. Kau berniat mendepakku? Enak saja. Sebelum kau berhasil dengan itu, aku lebih dulu menendangmu dari sini setelah kubuat putramu bertekuk lutut padaku. Kau sudah waktunya pensiun menjadi nyonya besar.
***
Kaira setia berdiri di depan pintu setelah beberapa kali ketukannya pada benda kayu itu tak dapat sahutan dari dalam.
"Arkana? Kau belum makan, 'kan? Aku membawakan makanan untukmu." Sekali lagi Kaira berteriak setelah mengetuk pintu. Terlihat bersikeras dan pantang menyerah. Ini kesempatan emas, pikirnya. Hati dan pikiran suaminya itu sedang kacau, jadi dia akan berperan sebagai penenang dan penyejuk.
Beberapa detik setelah itu akhirnya senyumnya mengembang ketika melihat Arkana membukakan pintu.
"Jika kau ingin meraih perhatianku, Kaira, jangan sekarang, please. Suasana hatiku sedang buruk, daripada kau nanti menjadi pelampiasan badmood-ku."
"Lampiaskan saja padaku, Arkana, jika itu kemudian membuatmu lebih tenang. Sebagai istri, jujur saja aku sedih melihat suamiku yang kacau balau seperti ini," ucap Kaira sembari melarikan jemarinya di pipi Arkana.
Arkana menghindari sentuhan Kaira sambil berkata, "Jangan membuang waktuku. Enyah dari hadapanku setelah kau letakkan makanan itu."
Kaira mengangguk seraya menunjukkan senyum manis. "Baiklah. Sesuai perintahmu, Sayang." Setelah mengucapkan itu, Kaira memasuki kamar dengan tangan mendorong troli makanan.
Arkana tetap di depan pintu, menunggu Kaira keluar dari kamar yang dulu ditempati Mazaya itu.
"Selamat makan, Suamiku. Jangan sungkan-sungkan mendatangiku jika kau membutuhkan sesuatu. Aku juga tidak keberatan menjadi tempat curahan hatimu. Pintu kamarku selalu terbuka untukmu," kata Kaira yang kini tepat di depan Arkana, setelah meletakkan troli makanan di depan nakas.
"Keluar." Arkana tidak berteriak, tetapi tatapannya ketika mengatakan itu mampu membuat tengkuk Kaira meremang. Kaira merasakan aura intimidasi kuat dari sorot mata Arkana. Kemudian dia bergegas enyah dari sana.
***
"Masih menjadi misteri kenapa kau sangat tergila-gila dengannya. Bahkan sampai rela dimadu. Padahal, ada orang yang mencintaimu dan bersedia menjadikanmu satu-satunya."
Kaira mengangkat sudut bibirnya. "Apakah kau sedang membicarakan dirimu sendiri?"
Rayyan tertawa hambar menanggapi kalimat wanita yang sedang duduk anggun di sofa itu. "Kau tahu dari dulu aku menggilaimu. Semenjak kita berada di universitas yang sama. Tapi kau hanya memandang Arkana. Tidak sekalipun tatapan cinta itu berpaling ke arahku."
"Arkana adalah mimpiku. Memandang wajahnya sama seperti melihat dunia fantasi yang penuh dengan sesuatu menakjubkan. Bagaimana bisa aku memalingkan pandanganku dari keindahan itu, Rayyan?"
Kaira mengenang kembali masa-masa kuliahnya dulu. Di mana Arkana--maha siswa baru sepertinya sukses mencuri perhatiannya. Wajah tampan dan postur tubuh ideal Arkana berhasil memikatnya, diperkuat kecerdasan Arkana yang kian menyeret Kaira dalam pesonanya. Rasa itu waktu demi waktu bergulir menjadi obsesi.
Kaira saat itu kerapkali membuntuti Arkana. Kegiatan apa pun yang diikuti lelaki itu, dia pun turut terjun ke dalamnya. Hingga keadaan berpihak padanya--yang membuka jalan lebar mewujudkan angannya dekat dengan Arkana.
Ketika itu, hatinya membuncah bahagia setelah tahu papanya akan menjadi mitra bisnis papa Arkana. Bayangan pertemuan intens dengan Arkana benar-benar terjadi setelah sang papa menandatangani kontrak kerjasama. Dalam tiga bulan sekali, tak jarang keluarganya diundang perjamuan atau sekadar makan malam oleh keluarga Arkana.
"Tapi sekarang aku boleh sombong sebab bisa memalingkanmu sejenak darinya, Kaira." Suara Rayyan sukses menarik kembali kesadaran Kaira, setelah beberapa menit mengembara ke masa lalu. "Sekarang, aku menagih bayaranku."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments