Bab 12. Malaikat Penolong Mazaya

Mazaya mengangkat kepala, menyambut suara familier itu dengan menarik sudut bibirnya. "Aku sedang tidak ingin meladenimu. Menyingkir dari hadapanku!"

Meski terlihat menyedihkan oleh serangkaian penyiksaan Mami Karren beberapa menit lalu, tetapi aura kesombongan tak pudar dari sosok Mazaya. Itu merupakan benteng andalannya dalam menghadapi para wanita di tempat itu yang menganggapnya sebagai saingan berat.

"Cih! Penampilanmu menyedihkan tapi kau masih sempatnya bersikap angkuh!" cibir wanita pemilik suara high heels itu, sambil meludah tepat di samping tubuh Mazaya.

Wanita itu Regina, satu di antara koloni wanita yang membenci Mazaya sebab kerapkali "kliennya" berpaling kepada Mazaya. Merasa keberadaan Mazaya menjadi ancaman besar atas kelangsungan profesi yang digelutinya--menjadi wanita penghibur dan pemuas para lelaki kurang belaian juga lelaki yang tak terpuaskan oleh pasangan. Tak terkecuali mereka lelaki yang tidak kekurangan belaian dan sudah terpuaskan oleh pasangan, tetapi sifat serakah dan menginginkan berbagai variasi "hidangan" di atas ranjang juga menjadi pengisi daftar kliennya.

Regina menunduk, lalu menjambak rambut basah Mazaya. "Seharusnya kau mati!"

"Buang saja anganmu itu!" Mazaya bergerak melawan meski dengan tubuhnya yang masih bersandar di dinding, tak mampu berdiri. Dengan sisa tenaganya, dihempaskannya tangan Regina, lalu ditendangnya wanita itu. Regina terpeleset hingga terjerembab. Bukan karena tendangan Mazaya, tetapi karena heels-nya.

"Kurang ajar kau, Ratu! Sialan!" Regina merangkak ke arah Mazaya, lalu ditariknya kaki Mazaya dengan kasar hingga kepala Mazaya terjengkang ke belakang dan membentur lantai.

Langit-langit kamar mandi itu terlihat berputar-putar dalam penglihatan Mazaya setelah itu. Pening mendadak mendera, beberapa detik kemudian pandangannya mengabur hingga kegelapan menguasai dirinya.

"Ratu! Ratu! Bangun!"

Regina ketakutan melihat Mazaya tak bergerak. Didekatkannya telunjuk di bawah hidung Mazaya, mengecek napas wanita itu. "Masih hidup. Oh, syukurlah. Aku tidak jadi pembunuh."

Regina berdiri, bergerak mondar-mandir. Pikirannya berkecamuk hebat.

"Wanita ini tidak boleh ada di sini! Jelas dia selalu menjadi ancaman," monolognya sambil terus berpikir.

Beberapa menit kemudian, dia menyeret tubuh Mazaya ke ambang pintu. Lalu melangkah beberapa meter menuju pintu kamar itu lantas mengintip setelah membukanya sedikit, mengawasi keadaan sekitar.

Seorang bodyguard terlihat melintas. Mendadak muncul akal bulusnya, Regina tersenyum miring. "Boy!" panggilnya setengah berbisik. "Kemarilah."

Boy yang memang sudah lama tertarik dengan tubuh Regina, namun tak sekalipun berhasil mencicipinya itu bergegas menghampirinya dengan senyum mengembang.

Regina menarik si Boy ke dalam kamar lalu diciumnya Boy dengan penuh rayuan. Boy yang merasakan khayalannya berubah kenyataan--membalas ciuman itu penuh nafsu lalu tangannya bergerak menelusup di balik pakaian Regina. Ketika tangannya hampir mencapai benda kenyal favorit semua pria, Regina menghentikan gerakan tangan dan ciumannya tiba-tiba.

"Sabar dulu, Boy, kau akan mendapatkannya jika mau membantuku," ucap Regina yang melihat wajah frustasi Boy.

Boy yang masih dikendalikan nafsu dengan isyarat napasnya yang memburu, langsung memerangkap tubuh Regina ke dinding. "Katakan apa syaratnya, Sayang, supaya aku bisa menjelajahi tiap jengkal tubuhmu ini," ujar Boy sembari melarikan jemarinya dari leher bergerak turun ke perut Regina lalu memainkan pusar wanita itu dengan sensual.

Regina tersenyum miring, lalu melarikan pandangannya pada Mazaya yang tergeletak di ambang pintu kamar mandi. "Buang dia."

Boy tertegun melihat objek penglihatannya. Dia menelan ludah susah payah. "Anak emas Mami. Sama saja menyeretku ke ambang neraka jika--"

"Oke, kuanggap kau menolak tubuhku kalau begitu." Regina berkata sambil membusungkan dadanya dan memprovokasi Boy dengan tatapannya yang menggoda.

Boy semakin susah payah menelan ludah. Hasrat tak tertuntaskan telah mengikis kewarasannya ketika berkata, "Oke, serahkan pekerjaan ini padaku. Kau bisa mengandalkan lelakimu ini."

Regina melarikan jemarinya di rahang Boy ketika berucap, "Good boy. Aku akan mengirimkan lokasi kita bertemu setelah kau berhasil dengan tugasmu. Kutunggu berita baiknya, Boy sayang."

***

Menuju tempat pencarian dituntun oleh insting kuatnya, tampaknya upayanya membuahkan hasil. Gery melihat Boy memanggul sebuah karung dengan kepala menyembul di ujungnya mengendap-endap melewati gerbang yang membentengi rumah bisnis Mami Karren. Gery mengurungkan niatnya turun dari mobil dan memasuki rumah berisi puluhan wanita malam itu. Justru dia membuntuti Boy yang mengemudikan mobil box sewaan setelah memasukkan serta karung yang tadi dipanggulnya.

Setelah beberapa kilo meter dari kawasan rumah pelacuran, Gery memutus jalan si Boy hingga bodyguard itu mengerem mendadak disusul umpatan kekesalannya memberondong Gery. Kepalanya menyembul di jendela mobil yang terbuka.

"Keparat kau!"

Gery turun dari mobil, menghampiri Boy. Setelah mengintip dari jendela, Gery tersenyum. "Aku menemukanmu, Mazaya."

Boy terhenyak sebab tahu siapa yang sudah memutus jalannya. Dia adalah Gery, pelanggan yang sangat royal kepada Mami Karren--apalagi setelah germo mata duitan itu memberinya kesempatan membawa Mazaya keluar dari rumah pelacuran untuk dibawa ke mana pun sesuka hati. Gery satu-satunya pelanggan yang hanya menyewa Mazaya, setidaknya itu yang dapat dicerna Boy dari pengawasannya selama ini pada lelaki pemutus jalan itu.

"Serahkan wanita itu padaku."

Tanpa perlawanan kata dan aksi, Boy langsung mengangguk dan berkata, "Jangan bocorkan ini kepada si germo itu."

"Aku bukan lelaki pengadu, Bung."

***

Bulu mata yang menaungi kelopak mata Mazaya bergerak lamban. Pemandangan langit-langit asing menyambut penglihatannya yang belum sempurna. Bibirnya mendesis, merasakan rambutnya seperti ditarik-tarik kasar hingga mengelupas pori-pori kepalanya. "B-berhenti, R-Regina," ucapnya yang mengira tangan Regina masih menjambak rambutnya. Tapi kemudian dia sadar, tak ada Regina di dekatnya. Kondisi kamar yang memerangkapnya ini pun berbeda dengan kamarnya di rumah terkutuk Mami Karren.

"Akhh di mana aku," lirihnya di sela-sela desisan mulutnya. Mazaya segera menutup kelopaknya lagi ketika mendengar derit pintu terbuka.

Suara sepatu berderap yang mendekatinya semakin membuat Mazaya ketakutan.

"Apa Karren si germo gila uang itu menjualku pada seseorang?" batin Mazaya menjerit ngeri. Bayangan lelaki buncit, bertubuh gempal dan beraroma duit--menari-nari di kepalanya, menghantarkan kengerian teramat ke seluruh peredaran darahnya. Tak terasa, tubuhnya menggigil oleh kengerian itu.

Namun, rasa ketakutan itu lenyap seketika saat suara bariton itu mengudara.

"Kau sudah siuman, Mazaya? Syukurlah, pelayanku sudah membuatkan bubur untukmu. Kulihat tubuhmu menggigil. Mungkin itu efek kau terlalu lama dalam keadaan basah tadi. Dan bubur ini akan menghangatkanmu."

Mazaya membuka kelopaknya tanpa ragu. Lelaki ini tak patut ditakuti. Dia lelaki yang sanggup memberi kenyamanan Mazaya selama bekerja pada Mami Karren dulu. Bisa dikatakan--jika Mazaya tak bertemu Arkana lebih dulu, maka tak menutup kemungkinan dia akan jatuh cinta dengan Gery. Sebab Gery memang tipikal lelaki yang masuk kriteria Mazaya. Menyenangkan, tak banyak menuntut, menenangkan juga pandangannya kepada orang lain yang tak membeda-bedakan.

Bahkan, saat itu Mazaya sudah mengklasifikasikan Gery sebagai orang yang dipercayanya sehingga dia mengizinkan Gery memanggilnya Mazaya, bukan Ratu. Keistimewaan yang tak diberikan Mazaya pada sembarang orang di lingkungan Mami Karren.

"Ba-bagaimana kau mengeluarkanku dari tempat sialan itu?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!