"Terima kasih karena kau menyempatkan waktu luangmu hari ini, Sayang." Kaira menggapai jemari Arkana yang langsung ditepis lelaki itu.
"Kau jangan berbicara seolah ini kulakukan untukmu. Aku melakukannya untuk kesembuhanku," kata Arkana sambil menatap lurus ke depan. Jalanan hari ini tampak seperti biasanya dengan kendaraan ramai berlalu-lalang. Dalam mobil yang dikemudikan sopir, keduanya meniti perjalanan pulang dari klinik dokter spesialis andrologi. Sudah empat minggu ini Arkana menjalankan pengobatan rutin atas permohonan Nyonya Abraham. Melihat sang ibu yang memohon sambil bersujud di kakinya, membuat Arkana tak kuasa menolaknya.
Hanya saja, Arkana tak enak hati sudah mengkhianati Mazaya ketika tadi dokter ingin mengetahui sejauh mana pengobatannya memberikan dampak, apakah ada kemajuan dari serangkaian terapi yang diterapkan padanya. Yang mengharuskan Arkana "mencobanya" dengan Kaira.
Tapi, bukankah memang itu tujuan pengobatannya? Membebaskan kejantanannya dari belenggu kelainan seeksual yang bernama "Demiseeksual". Dan apa yang dia maksud mengkhianati? Bukankah Kaira juga istri sahnya?
"Ini juga untuk rumah tangga kita, bukan? Mama sangat menginginkan cucu dan aku sebagai istri yang kelak rahimku adalah tempat jabang bayi kita bersemayam tentu tak berlebihan mengucapkan terima kasih padamu."
"Dan kau menyadari itu adalah khayalanmu saja. Bukankah tadi kau lihat dengan jelas bahwa milikku masih setia dengan sarangnya?" Arkana menarik sudut bibirnya. Entah mengapa mendapati kegagalan pengobatan justru membuatnya senang. Tidakkah dia menginginkan kesembuhan?
"Its oke, Arkana. Ini baru beberapa minggu kau menjalani pengobatan. Masih ada hari yang panjang, dan istrimu ini setia menanti kesembuhanmu, Sayang."
Kaira menyabarkan dirinya sendiri dalam hati. Beginilah dari dulu sikap Arkana padanya--dingin dan sinis, tapi Kaira yang sudah terobsesi tak pernah mundur meluluhkan hati lelaki itu. Selalu ada keyakinan yang digemakan di sudut hatinya bahwa suatu saat Arkana menerimanya.
Arkana membuang muka. Hatinya terusik saat Kaira menyinggung kata "Istri". Di mana istri tercintanya Mazaya? Pencariannya tak membuahkan hasil, wanita malang itu tak diketahui keberadaannya hingga detik ini. Selain dia sendiri yang turun tangan, dia juga memercayakan tugas ini pada Rayyan. Namun, sepupunya itu juga tak memberikan kabar baik.
Tanpa dia ketahui, Rayyan memang tak mengindahkan tugas darinya itu. Rayyan sudah muak selalu dianggap dan diperlakukan sebagai bawahannya, padahal posisi Rayyan dan dirinya dalam keluarga setara; cucu Tuan Mahesh yang mewariskan perusahaan yang sekarang dipimpin olehnya.
Sementara di dapur yang berada dalam kediaman berarsitektur megah dengan pilarnya yang besar-besar, Mazaya tampak bersenandung riang. Tangannya yang memegang spatula bergerak terlatih mengaduk isi wajan.
"Wah, aroma apa ini yang memancing cacing-cacing di perutku berdemo?" Gery datang dengan setelan kasual, hati ini dia tidak akan datang ke perusahaan. Senyumnya mengembang melihat Mazaya bersenandung ria. Sudah dia katakan, bukan? Dia akan menjamin kebahagiaan wanita itu. Tak akan dia biarkan kesedihan menghinggapi Mazaya.
"Nasi goreng ala chef Mazaya," sahut Mazaya tanpa mengalihkan fokus dari aktivitasnya. Lalu diambilnya sejumput nasi goreng yang sudah berbumbu lengkap dan tinggal penyesuaian rasa. "Cobalah, aku butuh komentarmu," kata Mazaya sambil menyuapkannya pada Gery.
Mazaya meringis melihat Gery mengunyah sambil matanya menyipit. "Tidak enak, ya? Apa hambar atau malah keasinan?" tanyanya lalu menyuapkan sedikit nasi goreng ke mulutnya sendiri .
"Keasinan. Kata orang itu pertanda kau ingin menikah lagi. Apa lelaki beruntung yang kau harapkan jadi suamimu itu aku?" Gery tersenyum lebar, menggoda Mazaya.
Mazaya terbatuk-batuk tepat ketika Gery mengucapkan kalimat terakhirnya. Gery sigap mengambilkan segelas air untuk Mazaya.
"Terima kasih," ucap Mazaya setelah meneguk air itu secara perlahan.
"Maaf, tidak seharusnya aku mengatakan itu." Gery merutuki dirinya sendiri yang sebelumnya tak memikirkan apakah Mazaya nyaman atau tidak dengan ucapan yang akan terlontar. Dia tadi lupa fakta: selama Mazaya tinggal di rumahnya, wanita itu menghindari pembahasan soal pernikahan atau yang menjurus ke arah itu.
Mazaya menggeleng sambil tersenyum tipis. Memangnya, apa yang akan dilakukan Mazaya? Marah lantas ngambek dan tidak mengajak bicara Gery berhari-hari? Tak tahu diri sekali dia jika itu dilakukannya.
Beruntungnya Mazaya bukan seperti itu. Dia adalah orang yang tahu diri dan tahu balas budi. Dia sadar diri telah banyak merepotkan Gery dan berjanji suatu saat akan membalas semua kebaikan Gery. Bukan justru uring-uringan tidak jelas yang dipicu masalah sepele seperti ini.
Mazaya akan menjawab Gery, namun tiba-tiba dia merasakan perutnya seperti diaduk-aduk yang membuatnya berlari ke wastafel. Gery begerak cepat menyusul Mazaya lalu memijit tengkuknya. Gery meringis melihat Mazaya memuntahkan cairan bening dari perutnya.
"Mazaya, kapan kau terakhir kali mens?"
***
Lima bulan kemudian.
"Baby boy itu identik warna biru, Mazaya." Gery tersenyum geli melihat Mazaya memilih perlengkapan bayi warna merah muda, yang lumrahnya warna itu untuk bayi perempuan. Apa dia lupa hasil USG dua bulan lalu yang menunjukkan bayi dalam kandungannya itu laki-laki?
Iya, Mazaya sedang mengandung buah hatinya dan Arkana. Waktu itu, Gery memanggil dokter ke kediamannya untuk memeriksa kondisi Mazaya, dan benar tebakannya. Dokter menyatakan Mazaya sedang hamil enam minggu.
Jika ditanya bagaimana perasaan Gery saat itu, jawabannya adalah hatinya bak teriris. Dunia terasa tak adil baginya. Bagaimana bisa lelaki sebrengsek Arkana, yang menyia-nyiakan Mazaya beruntung memberi kenangan berupa janin itu di rahim Mazaya. Sementara dia yang selalu tampil sempurna untuk Mazaya, jangankan memberinya bayi, menyatakan cinta saja ditolak berkali-kali.
Namun, ketika melihat Mazaya berbahagia dengan kehamilannya, tak ada alasan baginya membenci janin itu. Justru waktu demi waktu membawanya pada kondisi sangat menyayangi janin itu seperti darah dagingnya sendiri.
"Ini lucu, Gery. Warna pink lebih menarik dan terlihat manis," seloroh Mazaya sambil menunjukkan kaus bayi warna pink. "Lagi pula, aku ibunya, anakku pasti ikut bahagia melihat ibunya bersemangat memilihkan perintilan-perintilan ini. Iya, kan, Nak, kamu tidak keberatan ibu pilihkan warna pink?" Mazaya terkekeh sembari mengelus perutnya yang sudah buncit.
Gery juga terkekeh mendengarnya. "Maaf, Boy , aku tidak bisa membelamu. Maafkan uncle saat kau lahir nanti, ya," ucap Gery seraya turut mengelus perut Mazaya. "Uncle sudah berusaha membujuk ibumu, tapi kau lihat sendiri, kan, ibumu bersikeras."
Mazaya menggeleng sambil menepuk pundak Gery. "Sudahlah, jangan berbicara omong kosong dengan anakku, dia akan lebih mendengarkan ibunya."
"Sayang, tempat perlengkapan baby girl terletak di sini."
Suara teriakan seorang wanita itu mengalihkan perhatian Mazaya seketika. Menoleh pada sumber suara, dia tertegun dengan perut si pemilik suara itu yang terlihat menyembul. Mazaya semakin tertegun ketika bertemu pandang dengan mata seseorang yang dulu selalu meneduhkan baginya. Serupa reaksi Mazaya, Arkana pun tertegun setelah memindai seksama perut Mazaya. Hingga baru tersadar ketika punggung Mazaya tampak sudah menjauh dengan digandeng tangan pria. Dari belakang, tubuh lelaki itu terasa familier.
"Mazaya! Berhenti, Mazaya!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments