"Aku butuh beberapa hari untuk memutuskan. Pendapat dewan direksi juga akan menjadi pertimbanganku," ucap Arkana sambil membaca proposal proyek yang ditawarkan Gery.
Gery mengangguk maklum. "Tentu. Aku paham," sahutnya. Selagi Arkana fokus pada dokumen, diedarkannya penglihatan ke wilayah yang dapat dijangkaunya untuk mencari sosok yang lama ingin ditemuinya. Namun, nihil. Di mana dia, pikirnya.
Demi menjawab rasa penasaran itu dan juga alasan dia berada di sini, dia berkata pada Arkana, "Maaf, bolehkah aku menumpang ke toilet?"
Arkana mengangkat pandangannya dari tulisan yang menjemukan matanya. Masih dalam masa cuti karena pengantin baru tapi sudah disibukkan dengan angka-angka yang berderet di kertas yang dipangkunya. "Silakan. Lurus saja ke belakang lalu belok kiri masuk ruang santai. Lanjut belok kanan ada beberapa kamar tamu. Kau bisa gunakan toilet di salah satu kamar itu."
Gery mengangguk lalu pergi. Namun, tujuannya bukan ke toilet, tapi menelusuri keberadaan Mazaya. Dia sudah menapaki tangga jika saja tidak mendengar suara Mazaya dari kamar tamu.
"Mazaya."
Mazaya yang beberapa detik lalu berteriak karena serangga, menoleh pada sumber suara dan tubuhnya menegang ketika tahu siapa yang memanggilnya. "Gery," lirihnya.
Gery mendekatinya lalu menyentuh pundaknya setelah memastikan pintu tertutup rapat. "Ketika di pelaminan semalam aku ingin bertanya padamu, tapi situasinya tidak memungkinkan. Sekarang, aku bertanya padamu Mazaya, kenapa kau rela menjadi madu?"
"Tidak ada kewajibanku untuk menjawab pertanyaanmu, Gery. Ini privasiku."
Gery tertawa rendah seolah mengolok nasibnya sendiri. "Ini lucu. Kau selalu menolak menikah denganku tapi kau sekarang menjadi madu orang. Apa untungnya menjadi yang kedua, Mazaya?"
Mazaya tersenyum penuh makna. "Dalam cinta tidak menimbang untung rugi. Asal kita bersama dengan orang yang kita cintai, segalanya terasa menyenangkan."
"Jangan munafik, Mazaya. Tidak seorang pun wanita yang bahagia melihat suaminya bersama wanita lain. Kalimat ikhlas berbagi suami hanya bentuk ucapan kamuflase dari wanita tersakiti demi menutupi kesengsaraannya."
Raut Mazaya tampak sinis. "Apa yang terjadi denganku tidak ada urusannya denganmu. Kenapa kau merepotkan diri dengan persoalanku begini?"
Gery mengeluarkan kartu nama dari sakunya setelah nenghela napas panjang. "Simpan ini baik-baik. Suatu saat jika kau membutuhkanku, kau bisa mendatangiku ke alamat yang tertulis di sini."
"Tidak. Aku tidak mem--"
"Aku tidak menerima penolakan, Mazaya." Setelah mengatakan itu Gery keluar dan kembali pada Arkana yang masih tampak fokus meneliti tulisan di tiap lembar kertas.
Mazaya melanjutkan mengepel lantai kamar tamu itu setelah memasukkan kartu nama Gery ke dalam saku.
Pekerjaan Mazaya selesai ketika hampir waktu makan siang. Sambil merasakan perutnya yang keroncongan, diusapnya peluh di sekitaran dahinya dengan punggung tangan. Ketika berada di dapur dan akan mengambil nasi, gerakan tangannya dihentikan oleh tangan dengan banyak gelang yang melingkarinya. "Belum waktunya makan siang. Lancang sekali kau mengambil makanan sekarang. Sepuluh menit lagi, Pembantu rendahan! Orang tuamu tidak pernah mengajarkan kesabaran ya?"
Nyonya Abraham menampilkan wajah seram. Persis seperti mertua antagonis dalam serial televisi.
"Dari pagi belum makan apa pun aku, Ma-eh, Nyonya. Pekerjaanku juga sudah selesai." Centong berisi nasi itu masih menggantung di tangan Mazaya.
"Kau pikir aku peduli? Masukkan lagi nasi itu ke tempatnya dan tunggu makan siang tiba. Kau ingin aku dimarahi putraku karena melarangmu makan bersama kami di meja makan?"
Menelan ludah, Mazaya memasukkan lagi nasi itu ke tempatnya. Lalu pergi meninggalkan dapur dengan keadaan perut mengeluarkan suara seperti air yang sedang mendidih. Nyonya Abraham melihat punggungnya yang sudah menjauh dengan senyum puas.
Mazaya berpapasan dengan Kaira ketika berjalan menuju kamar. Corak-corak merah di leher Kaira menjadi pusat perhatian Mazaya. Apalagi wanita itu seolah sengaja memamerkan itu padanya dengan menjulurkan lehernya tinggi-tinggi seakan ada yang menarik kepalanya ke atas.
Terbesit di benaknya, benar apa kata Gery. Tak ada wanita yang sepenuhnya rela berbagi suami. Hatinya panas melihat itu, namun dia berusaha menyembunyikannya.
Hanya Mazaya yang tak berbicara ketika di meja makan siang ini. Sementara Nyonya Abraham dan Kaira bertukar kalimat sepanjang makan berlangsung. Sedangkan Arkana sesekali menimpali ketika sang ibu bertanya padanya.
Sepanjang itu pula Mazaya sesekali mencuri pandang terhadap Arkana. Berharap tanpa sengaja mereka bertatapan lalu Arkana memberinya senyum manis. Namun, jangankan senyum manis. Menoleh padanya pun tidak. Apa Arkana masih marah, benaknya bertanya.
"Arkana." Mazaya menarik tangan suaminya setelah keduanya menyelesaikan makan di waktu bersamaan, atau lebih tepatnya Mazaya yang buru-buru menghabiskan makanannya ketika melihat Arkana memasukkan suapan terakhir ke mulutnya. "Kau masih marah?"
Arkana yang sudah menggerakkan handle pintu menoleh. "Apa maksudmu marah. Bukankah seharusnya aku berterima kasih padamu karena sudah memberiku sesuatu yang seharusnya tadi malam aku dapatkan?"
"A-Arkana aku akan--"
"Mazaya, hari ini banyak yang harus kukerjakan di ruang kerja dan untuk nanti malam kau tak perlu menungguku. Aku akan tidur di kamar Kaira." Arkana langsung membuka pintu lalu masuk ke dalamnya setelah mengucapkan kalimat barusan. Dua detik setelahnya Mazaya mendesah lemah melihat pintu tertutup, menenggelamkan tubuh gagah suaminya di dalam sana.
"Padahal aku ingin meminta maaf dan menebusnya," lirih Mazaya sambil memandangi pintu yang terbuat dari kayu jati itu.
Ketika Mazaya membalikkan badannya, Kaira sudah berada di depannya dengan senyum sarat ejekan. "Aduh, pengantin baru bukannya romantis dan mesra-mesraan, tapi kok malah bertengkar begitu," ucapnya dengan nada manis, namun siapa pun pasti tahu apa maksud wanita itu. Dia menari-nari di atas penderitaan orang lain.
Mazaya sekarang menyadari apa yang dikatakan Arkana tadi malam benar. Tak ada orang yang berubah baik secara instan. "Aku ada urusan. Maaf," ucapnya lalu melewati sisi kiri Kaira. Dia tak tertarik meladeni Kaira.
"Mazaya! Jam delapan malam nanti tolong kau siapkan air di bathtub untukku berendam. Oh, jangan lupa melarutkan bath bomb beraroma sensual ke dalamnya. Kudengar tadi suamiku akan bermalam di kamarku, benar?"
Menghentikan langkah, Mazaya mengangguk tanpa berbalik menghadapnya. Setelah itu berjalan lagi.
Kaira tersenyum miring melihat punggung Mazaya yang semakin menjauh. "Panas kau, Mazaya."
Keesokannya, Kaira tampak kesal di ruang kerjanya. Dia yang sebagai manajer di perusahaan kosmetik terlihat beberapa kali melampiaskan kekesalan pada staff-nya.
"Hei, ada apa ini. Kenapa kau cemari wajah cantikmu itu dengan cemberut. Jangan sampai garis-garis keriput muncul lebih awal di wajahmu."
Rayyan tiba-tiba masuk setelah berpapasan dengan staff yang menekuk wajahnya keluar dari ruangan itu.
"Kau? Siapa yang membiarkanmu masuk." Kaira yang suasana hatinya sedang buruk semakin buruk dengan kedatangan Rayyan yang dari dulu hobi mencari perhatiannya.
"Hei, setidaknya ucapkan selamat pagi atau tidak selamat datang. Kau memang sepupu ipar tak menyenangkan," ucap Rayyan sambil menghempaskan tubuh ke sofa.
Kaira memutar bola matanya jengah. "Kenapa kau datang kemari? Aku tidak menerima alasan tidak penting. Jika tak ada kepentingan, silakan keluar."
"Hei, kau mengusirku? Padahal aku membawa informasi penting."
Mata Kaira memicing. "Tentang?"
"Madumu."
Hati Kaira langsung memanas saat penyebab badmood-nya pagi ini disebut. Dia yang semalam antusias akan melewati malam dengan ciuman panas dengan Arkana, tapi justru kecewa yang didapatnya sebab Arkana langsung tidur setelah menaiki ranjang. Dia baru paham dijadikan objek pelarian oleh Arkana. Lelaki itu juga menjadikannya bahan pemantik cemburu Mazaya. "Sialan!" umpatnya setelah mengingat itu.
"Kenapa dengan perempuan miskin itu?"
"Aku adalah saksi pertemuan Mazaya dengan Arkana. Karena aku yang mengajaknya ke kelab malam itu. Arkana memenangkan lelang atas dirinya."
Kaira tersenyum kecut. "Basi. Arkana berulang kali mengatakan itu ketika aku mengajaknya menikah."
Raut mukanya terlihat kecewa, Rayyan kemudian berkata, "Baiklah kalau begitu aku keluar."
"Rayyan!" Kaira menghentikan langkahnya. "Cari informasi detail tentang perempuan rendahan itu."
Rayyan berbalik. "Membutuhkan bantuanku?" tanyanya dengan seringai kecil. "Imbalanku?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Fitriyana Restu fadila
Wes, Mazaya dalam bahaya ini.
2023-07-29
0