Bab 17. Kaira Diusir

Dengan mengemudikan mobil serampangan, tak mengindahkan lalu lintas dan menyebabkan kekacauan di jalan raya, Arkana seolah tak peduli dengan huru-hara yang telah diperbuatnya itu. Bahkan, suara-suara klakson yang seolah meneriakinya marah dianggapnya sebagai nyanyian tak penting. Arkana kalap setelah keluar dengan tangan kosong dari kediaman Gery Ivander.

Saat ini tujuan Arkana adalah ke perusahaannya, menemui Rayyan untuk memintanya memeriksa data detail tentang Gery. Setelah melalui perjalanan memuakkan beberapa menit, akhirnya sampai dan dia memarkirkan kendaraannya di parkiran perusahaan lalu bergegas menuju ruangan Rayyan. Namun, ketika membuka pintu ruangan sepupunya itu, mendadak keadaan sekelilingnya seperti berhenti saat itu juga. Tubuh Arkana membeku, dia tertegun. Dan darahnya mendidih.

Kaira, wanita yang telah mengandung anaknya sedang ditindih oleh sepupunya. Atau ... ah, Arkana tetiba meragukan identitas bayi itu.

Seraya mengepalkan tinjunya, Arkana berkata, "Kalian ... kalian binatang menjijikkan yang kupelihara selama ini?"

Sontak, Rayyan dan Kaira serempak menoleh padanya. Kaira tampak tercengang campur takut, sementara Rayyan terlihat biasa-biasa saja seperti manusia yang tak melakukan kesalahan.

Hanya hitungan beberapa kedipan mata, Arkana sudah berada di dekat Rayyan dan melayangkan tinjunya berkali-kali setelah menyeret selingkuhan Kaira itu ke lantai. "Bangsat! Sepupu pengkhianat! Bajingan!" umpatnya seraya menghujani Rayyan dengan pukulan di pipinya.

Darah mengucur di sudut bibir Rayyan, tetapi lelaki itu bukannya mengaduh atau meringis kesakitan. Justru dia tersenyum miring. "Lihat, kau sudah menyaksikan dengan penglihatanmu sendiri, apa yang kau miliki, aku pun bisa memilikinya."

Kaira menutup mulutnya terkejut, melihat Rayyan kembali dihajar habis-habisan oleh Arkana setelah kalimatnya selesai. Namun, dia sekalipun tak berteriak membela Rayyan sebab terlalu takut jika tindakannya itu akan membuat Arkana kian murka padanya. Jadi, Kaira hanya dapat membungkam mulutnya tanpa berbuat apa-apa yang dapat membantu kekasih gelapnya itu.

"Bahkan, kini aku memiliki sesuatu apa yang tidak kau miliki, Sepupu," ucap Rayyan lagi seakan wajahnya yang babak belur itu meminta lagi untuk ditinju. Dia tidak kapok sedikit pun. Terdengar jeritan Kaira, memperingatinya untuk tak mengatakan apa pun. "Ja-jangan. Jangan, Rayyan, jangan hancurkan aku. Kumohon. Jangan berkata omong kosong!"

Arkana menghentikan pukulannya, memicingkan mata menatap Rayyan.

Rayyan tersenyum. "Anakku."

Rayyan kembali merasakan serangan Arkana di wajahnya setelah mengucapkan itu. "Keparat kau!"

Setelah memukuli Rayyan hingga membuat wajahnya dipenuhi memar, Arkana pergi dengan murka. Sebelum pergi, dia menatap benci dan penuh peringatan pada Kaira yang tampak tak keruan seraya berkata, "Jangan memasuki rumahku selain untuk mengemasi barang-barangmu. Saat ini juga kau kutalak!"

Kaira menggeleng dengan tangisan pecah. "Tidak! Aku bisa jelaskan ini, Arkana! Kau salah paham! Cabut talakmu!"

Arkana mual dan muak mendengar itu. Salah paham? Mereka sudah bercumbu dan menyatukan raga jika Arkana terlambat sedikit saja. Arkana bukan anak kecil dungu. Arkana berani bertaruh itu bukan pertama kalinya, mereka sering melakukan itu di belakangnya.

Kini Arkana sudah berada lagi di dalam mobilnya. Dia murka bukan karena cinta pada Kaira lantas cemburu pada Rayyan, tetapi marah hebatnya itu dipicu oleh sikap pengkhianatan. Selama ini dia percaya sepenuhnya pada Rayyan. "Keparat! Pengkhianat!" Arkana memukuli setir.

Sementara di tempat lain, Gery masih tampak menenangkan Mazaya. Wanita itu tak dapat mengenyahkan kekhawatiran dan kegelisahan setelah pertemuannya dengan Arkana di toko perlengkapan bayi tadi walaupun sekarang mereka sudah berada di tempat aman, yaitu rumah singgah Gery. Tak ada seorang pun yang tahu selain mereka kecuali sopir yang selama ini dipercaya Gery.

"Kau aman, Mazaya." Sekali lagi Gery menenangkan sambil mengusap-usap lengan Mazaya. "Mau makan sesuatu?" Gery mencoba mengalihkan perhatian Mazaya.

Mazaya menggeleng. "Aku ingin istirahat. Tolong tinggalkan aku sendiri."

Gery mengangguk mengerti lalu mengusap perut Mazaya. "Jaga ibumu, oke."

Setelah Gery meninggalkannya seorang diri, Mazaya menangis sambil menunduk melihat perutnya. "Seharusnya aku senang melihat ayahmu lalu mempertemukanmu dengannya, Nak, tapi aku begitu lemah dan terlalu takut. Ibumu ini sangat takut kehilanganmu."

Melihat perutnya yang buncit, mengingatkan Mazaya pada Kaira. Istri pertama suaminya itu juga hamil. Menyadari fakta itu membuat hati Mazaya laksana ditikam, teramat sakit.

***

"Ma, kumohon percayai aku, Ma! Itu salah paham!" Kaira memegangi kaki ibu Arkana, bahkan jarak hidungnya dari telapak kaki wanita berkacamata itu hanya beberapa senti saja.

"Jadi maksudmu mata putraku itu rabun?" Ibu Arkana menatapnya sinis. "Jangan sentuh aku dan angkat kaki dari sini sekarang!" tubuh Kaira terlempar ke samping ketika kaki Nyonya Abraham menghempasnya.

Arkana sudah menceritakan apa yang dilihatnya pada Nyonya Abraham. Awalnya ibunya itu tak percaya, namun setelah melihat kemarahannya yang meluap-luap, sang ibu berubah percaya. Nyonya Abraham tahu jika level kemarahan Arkana sampai puncak, itu pertanda apa yang ditemukan putranya hingga memantik kemurkaan itu hal fatal.

Beberapa detik kemudian terdengar derap sepatu mendekat disusul suara satpam. "Nyonya besar," ucap si satpam menunggu perintah.

"Seret perempuan rendahan ini keluar dan jangan pernah biarkan kakinya menginjak lagi lantai rumah ini."

Rendahan? Brengsek! Bahkan dia berani menyamakanku dengan menantu sialannya itu sekarang. Awas kau tua bangka, kata Kaira, namun dalam batin. Yang keluar dari mulut Kaira adalah kata-kata permohonan penuh iba. "Ma, tolong kasihani aku. Aku hamil, tidak mungkin aku pulang ke rumah orangtuaku. Mereka akan malu karena anaknya pulang tanpa suami dengan keadaan hamil."

"Apa peduliku! Dia bukan cucuku." Lalu Nyonya Abraham memandang si satpam. "Seret sekarang!"

Kaira meronta sambil berteriak saat tubuhnya diseret paksa oleh satpam. "Kau akan menyesali perbuatanmu ini, Ma! Kau telah membuang cucumu sendiri!"

Nyonya Abraham memijit pelipisnya ketika melihat Kaira sudah di ambang pintu dengan lengan satpam berada di perutnya. Kepalanya berdenyut sakit, pening. "Dia memang bodoh, tapi aku lebih bodoh karena sudah tertipu olehnya."

Saat dalam situasi itu, terlintas dalam benaknya--menantunya yang lain, yang selama ini dia sia-siakan. "Di mana wanita itu sekarang? Setelah berbulan madu, adakah kemungkinan benih super unggul putraku tumbuh di rahimnya?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!