Gendang telinga Mazaya mengenal dan merespons baik suara yang masih berkhasiat menenangkan itu. Rasa ketakutan sebab kekacauan yang diciptakannya dan panas yang menjalari pipinya sirna karena suara menenangkan itu.
Kedua pasang mata sekarang bertemu. "Mazaya, i-ini benar kau?" Arkana membingkai wajah Mazaya dengan kedua telapaknya dengan sorot mata kerinduan. Lalu didekapnya Mazaya ke pelukannya. Tanpa menghiraukan berpasang-pasang mata yang melemparkan tatapan penuh tanda tanya.
"Ya Tuhan! Aku mencarimu sampai putus asa! Ke mana saja kau, Mazaya?" Arkana mengeratkan pelukannya dan Mazaya merasakan lidahnya seperti diikat benang kuat. Sementara dadanya dipenuhi kegaduhan.
"Arkana! Apa-apaan ini?" Wanita bersanggul yang masih diliputi amarah semakin meluapkan kebencian pada sosok yang dipeluk Arkana. Ditariknya dengan kasar lengan putranya itu. "Kau akan membuatku menjadi bahan gunjingan di meja arisan, Arkana!" geram ibunya dalam hati.
"Dia Mazaya. Wanita yang aku cintai, Ma. Yang berkali-kali aku coba ceritakan padamu dan kau tak pernah ingin mendengarkanku." Arkana menghadap ibunya dengan sorot mata menegaskan.
"Terlambat! Kau sudah menikah, Arkana, kuingatkan jika kau lupa!" Nyonya Abraham berkata sembari menyisir pandangan pada tamu undangan yang memandangi mereka seolah menonton sebuah teater yang sangat seru.
"Sayang, ada masalah?" Wanita bergaun putih gading dengan ekor gaun yang menyapu karpet ketika mempelai wanita itu berjalan--mendatanginya setelah melewati para tamu yang mematung. Hanya mata mereka yang aktif bekerja, menonton pertunjukan drama seri keluarga.
"Tidak ada, Sayang. Hanya ada masalah sepele dari pengacau berprofesi pelayan rendahan. Tak ada yang perlu dikhawatirkan."
Bukan Arkana yang menjawab, tetapi Nyonya Abraham dengan senyum yang dibuat semanis gulali. Tak akan dia biarkan putranya itu melepas angsa hanya demi burung puyuh. Baginya, Kaira adalah menantu idaman yang dapat dipamerkan kepada teman-teman arisan. Memiliki menantu dari status sosial sepadan dan berpendidikan tinggi, siapa yang akan berani mencemoohnya di meja arisan? Yang ada justru akan diserbu kalimat pujian dan membuat semua teman iri padanya.
"Kaira, dia Mazaya. Wanita yang namanya terus kau sangkal ketika aku membahasnya tiap menolak menikahimu." Arkana menarik lengan Mazaya yang sedari tadi menunduk.
"Arkana, oh, ayolah, jangan bercanda di situasi seperti ini. Lihat! Bahkan tamu undangan masih memenuhi ballroom ini dan kau ... menghiburku dengan menggelar teater komedi ini di depanku?"
"Aku sedang tidak bercanda, Kaira. Segera aku akan menceraikanmu karena memang dari awal aku tak menghendaki pernikahan ini!"
Nyonya Abraham mendadak merasakan sanggulnya menjadi berlipat-lipat lebih berat karena ucapan Arkana. Dipijitnya pelipisnya sambil memikirkan jalan keluar. Jika sudah begini, dapat dipastikan putranya itu bisa berbuat nekat. Tak menutup kemungkinan meninggalkan resepsi yang masih berlangsung ini dengan menggandeng wanita pengacau itu.
Tidak! Ini tidak bisa dibiarkan. Di mana dia akan menyembunyikan mukanya bila itu benar terjadi, dan sudah pasti teman-teman arisannya yang super julid itu tak menyia-nyiakan kesempatan menjadikannya topik gunjingan ketika berkumpul. Maka dia membujuk sang putra dengan mengatakan, "Arkana, tenangkan dirimu, Nak. Masalah ini bisa dibicarakan baik-baik di rumah. Dalam keadaan tenang dan kepala dingin."
"Baiklah. Kali ini aku sepakat denganmu, Ma. Dan aku ingin membawa Mazaya ke rumah. Dengan atau tanpa persetujuan semua orang."
"Tidak! Aku menolak itu!" Kaira menggeram tak terima. Mengabaikan dengungan suara yang saling berbisik. Ingin sekali dia menyapu bersih orang-orang di ballroom ini hingga tinggal dirinya dan wanita pengacau mimpi indahnya itu lantas meremas si wanita pengacau seperti kertas.
"Sudah kukatakan aku tak butuh persetujuan siapa pun. Aku akan membawa Mazaya ke rumah. Mempersiapkannya sebagai calon istriku," ucap Arkana sembari bertukar pandang dengan Mazaya dan meremas jemari wanita yang lama dicarinya itu.
"Sayang, kendalikan dirimu. Ada baiknya kita melunak sebentar," bisik Nyonya Abraham ketika Kaira akan melontarkan protesnya.
"Baik, aku tidak akan menghalangimu membawa pelayan rendahan itu ke rumah kita."
"Ma ...." Kaira kukuh tak terima.
Namun, sekali lagi ibu mertuanya itu membisikkan kalimat menenangkan padanya, "Aku tidak sepenuhnya menerimanya, Sayang. Kupastikan dia sama saja menapaki jembatan neraka ketika menginjak kediaman Mahesh. Itu janjiku pada menantu kesayangan Mama."
"Arkana, aku sudah menyetujuimu. Maka tolong ... sekarang kau gandeng tangan istrimu menuju kursi pelaminan," perintah Nyonya Abraham sembari mengarahkan dagunya pada tempat yang dibingkai mawar artifisial putih dan peach.
Dengan berat hati Arkana menganggukkan kepala. Sebelum menggandeng Kaira, digenggamnya dengan erat tangan Mazaya sambil berkata, "Aku tidak akan membiarkanmu jauh dariku lagi."
Kaira memutar bola matanya sambil memendam amarah melihat itu. Kau salah menjadikanku sebagai saingan, Bocah!
Kehadiran Mazaya benar-benar membuat tatanan kehidupan Kaira tak lagi berjalan sistematis. Kamar suite room yang digadang-gadang menjadi saksi bisu malam pengantinnya kini tinggal khayalan belaka. Arkana mengingatnya ini sebagai malam pengantinnya saja merupakan suatu keajaiban. Namun, tampaknya yang ada di benak suaminya itu sekarang hanya Mazaya, Mazaya, dan Mazaya.
Kaira menatap sengit pintu ruangan yang mengurung Arkana dan Mazaya di dalamnya. "Awas kau bocah tengil!"
Di dalam sana keheningan masih setia menyelimuti dalam waktu tujuh menit lamanya. Pikiran Arkana sibuk merangkai kata yang akan diucapkannya pada Mazaya dan tak menemukan kalimat yang pas. Entah ke mana perginya hasrat menggebu dan percaya diri saat di ballroom tadi ketika dengan tegas memperjuangkan Mazaya. Nyatanya, berduaan lagi dengan Mazaya mendadak membuat lidahnya kelu. Dia rindu, tetapi bagaimana cara mengungkapkannya.
Hingga Arkana tak dapat lagi membendung rindunya. Maka direngkuhnya Mazaya ke pelukannya. "Mazaya, aku sangat merindukanmu. Entah berapa juta kali lidah ini bergerak atas namamu. Kucari-cari kau ke tiap sudut kota, tapi kau seperti lenyap dari peradaban. Sebenarnya, ke mana saja kau, Mazaya?"
Mazaya merapatkan kelopaknya meresapi ketenangan yang disalurkan dari tubuh pria yang bertahun-tahun hanya dapat ditemuinya di alam mimpi. Hingga tersadar sesuatu lantas mendorong dada yang menenggelamkan tubuhnya itu. "Maaf. Jaga jarak Anda dari saya. Saya merasa bersalah melihat cincin yang melingkari jari manis Anda," kata Mazaya sembari memandang cincin bertakhta berlian itu.
Arkana melepas cincin itu. "Ini ya?" tanyanya sembari menunjukkan cincin itu di depan Mazaya. Namun, kemudian melemparnya hingga terbentur dinding lalu menggelinding entah ke mana. Mazaya pun tercengang melihatnya.
"Pernikahan ini tak berarti apa pun bagiku, Mazaya, asal kau tahu," ucap Arkana dingin dan baru kali ini Mazaya merasa tak nyaman mendengar suara itu.
Namun, suara itu tak terdengar dingin ketika berucap, "Kau harus tahu, semenjak malam itu aku tak bisa mengenyahkanmu dari pikiranku. Rasa bersalah dan rindu bersatu mengaduk-aduk hatiku, Mazaya."
"Anda tidak perlu merasa bersalah. Anda memiliki wewenang melakukan itu karena 300 juta ditambah 100 juta yang saya terima."
"Lalu bagaimana dengan perasaanku, dengan hari-hariku yang selalu memikirkanmu, dan dengan keseluruhan diriku yang kau curi, Mazaya?" Arkana menatap intens Mazaya yang tertunduk. "Bagaimana kau akan bertanggung jawab dengan semua itu?"
"A-apa maksud Anda?" Mazaya mengangkat kepalanya.
"Inti diriku tidak merespons sentuhan lain selain dirimu. Dia hanya memuja dan bertekuk lutut padamu, Mazaya."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Honeyhae
ceritanya keren... tetap semangat ya. 💕
2023-07-28
0
Elsi
wah! aku suka banget ceritanya, tetap semangat ya, Thor.💯👍👍👍
2023-07-27
0