Bab 13. Mazaya dan Gery

"Semesta mempermudahku dan bukankah itu suatu petunjuk bahwa semesta juga merestuiku?" jawab Gery seraya tersenyum.

"Apa maksudmu, Gery. Buang pikiranmu itu jauh-jauh. Aku perempuan bersuami."

Gery terkekeh, lalu menyodorkan mangkuk berisi bubur ke Mazaya. "Makanlah. Setelah melihat keteguhan hati perempuan bersuami barusan, sukses mengurungkan niatku untuk menyuapimu. Aku pasti menerima penolakan lagi."

Mazaya menerima mangkuk itu setelah menyandarkan tubuhnya di sandaran lantas menyendok isinya. "Ngomong-ngomong, terima kasih sudah mengeluarkanku dari tempat itu. Jika diingat-ingat, tak terhitung jumlahnya aku berutang budi padamu."

Masih terekam jelas dalam memori Mazaya, sedari awal perkenalan mereka sebagai "penyedia jasa" dan "penyewa jasa", terlampau sering Gery direpotkan oleh serentetan problem kehidupannya. Gery satu-satunya lelaki yang ada di sisi Mazaya ketika dia dirundung kegundahan, yaitu penyakit sang ibu yang tak kunjung sembuh, justru kambuh-kambuhan. Lelaki itulah yang setia menemaninya bolak-balik rumah sakit dalam masa perawatan sang ibu. Tak jarang pula Gery yang melunasi kekurangan biayanya.

Tak hanya itu, Gery juga berperan bak seorang menantu berbakti pada ayah Mazaya. Pernah dalam suatu masa, dia rutin satu kali dalam sebulan--menjenguk ayah Mazaya di penjara.

"Cukup dengan senyummu, itu sudah membayar lunas yang kau sebut utang budi itu. Ayo, sekarang berikan senyum terbaikmu."

Lelaki ini tak pernah berubah. Gery konsisten tampil menjadi individu sempurna di mata Mazaya. Selalu menawarkan keramahtamahan dan ketenangan yang tak dapat diperoleh wanita yang seperti sudah identik dengan kemalangan ini dari orang lain, di luar keramahtamahan palsu yang diberikan Mami Karren padanya dulu, juga keramahtamahan "pelanggannya" yang tentu tak ada nilai keikhlasan di dalamnya. Para lelaki hidung belang itu bersikap manis dan penuh kebaikan karena suatu alasan: membutuhkan tubuhnya.

Mazaya menarik lagi pengembaraan ingatannya, lalu menyuguhkan senyum pada Gery. "Kau tak pernah berubah," kata Mazaya setelah itu. "Apa kau masih jomblo?"

Gery terkekeh mendengar pertanyaan itu. "Kenapa kau tanyakan itu? Sejauh ini, tak ada perempuan yang mampu menarik perhatianku seperti ... kau."

Mazaya menghentikan sejenak mengunyah bubur yang baru memasuki mulutnya. Lalu menatap intens Gery. "Aku sangat menyayangkan pria sebaik dirimu terperangkap oleh gairah perempuan malam sepertiku, Gery. Cobalah keluar dari perangkap itu lalu carilah wanita baik-baik."

Gery menggeleng seraya tersenyum hangat. Nadanya terdengar tulus ketika berucap, "Bukan sekadar gairah. Aku memandangmu lebih dari itu, Mazaya. Ada rasa yang aku sendiri tak dapat menjabarkannya. Tapi, rasa itu nyata kurasakan. Rasa yang mengendalikan hatiku dan mengomandoi pikiranku serta menuntun lidahku ketika berkali-kali aku menawarkan pernikahan padamu."

Mazaya menggeleng. Rupanya salah telah memulai obrolan yang membawanya ke arah pembicaraan ini. Menelan bubur, lalu membuka mulutnya untuk mengingatkan statusnya kini, tetapi tangan Gery yang menggenggam tangannya sukses mengatupkan lagi mulut itu.

"Beritahu aku, Mazaya, apakah kau tahu rasa apa yang merajai hatiku itu? Rasa yang meletupkan frustasi ketika aku kehilangan jejakmu, rasa teramat sakit ketika melihatmu di pelaminan sebagai istri pria lain?"

Bibir Mazaya seperti terkunci. Lidahnya sangat kaku untuk membalas kalimat Gery. Bukan karena terenyuh atau tersentuh, tetapi karena rasa bersalah. Dia merasa sangat bersalah telah menyeret lelaki itu ke dalam pesonanya. Padahal, dia tak memiliki apa pun lagi untuk diberikan pada Gery karena keseluruhan dirinya sudah dia pasrahkan pada Arkana. Cinta, kasih sayang, juga kesetiaan. Jiwa dan raganya sepenuhnya milik Arkana.

"Jika kau tak mau memberitahuku, bisakah aku menyimpulkannya sendiri di depanmu kini, Mazaya, bahwa yang kurasakan itu adalah cinta?"

Bibir Mazaya semakin terkatup rapat dan lidahnya kian kelu. Dengan berusaha maksimal dia gerakkan lidahnya untuk mengucapkan kalimat, "G-Gery, aku tidak bisa mengeluhkan perasaanmu apalagi melarang rasa itu ada karena itu bukan ranahku. Perasaan digerakkan oleh sang pemberi rasa di hatimu, tapi aku bisa memperingatkanmu untuk mengontrol rasa itu karena ... aku sudah bersuami."

Gery tersenyum getir. "Di mana dia sekarang yang kau sebut suami itu, Mazaya? Ke mana dia ketika kau diusir ibunya hingga kau nyaris menjadi budak Mami Karren lagi?"

"K-kau tahu aku diusir?"

"Iya, wanita tua itu sendiri yang nemberitahuku. Tadi siang aku mendatangi rumah suamimu dengan alasan membicarakan rencana kerja sama kami, tapi yang menemuiku adalah ibunya. Dia mengatakan bahwa putranya sedang kelabakan mencarimu. Dia terang-terangan menghinamu di depanku yang notabene adalah tamu. Hidupmu di rumah itu tidak bahagia, mereka memperlakukanmu dengan buruk, apa tebakanku benar?"

Mazaya menelan ludahnya susah payah. Ja-jadi, Arkana mencariku? Suamiku memedulikanku? Lalu, apa maksud sikap acuh tak acuhnya padaku yang otomatis memukul mundur diriku ketika akan menjelaskan segalanya, batin Mazaya bersuara resah.

"K-kau salah memahami, Gery. A-aku sa--"

"Jangan menutupinya dariku, Mazaya." Gery semakin mengeratkan genggamannya pada tangan Mazaya, seolah menyalurkan kekuatan besar. "Aku Gery Ivander, mulai saat ini akan menjamin kebahagiaanmu dan menjadi perisaimu dari serangan tombak orang-orang yang berhasrat menusukmu."

***

Berpasang-pasang mata tengah memusatkan perhatiannya pada sosok tinggi tegap yang sedang murka. Mami Karren, germo yang menjadi objek kemarahan lelaki itu tampak bergetar. "D-dia tidak ada di sini. H-harus b-berapa kali kukatakan supaya Anda me-mengerti," ujarnya dengan nada gemetar sembari melirik jemari Arkana yang mencengkeram kuat rahangnya. Sementara para anak buahnya terlihat tak berguna, sudah dilumpuhkan oleh orang-orang kekar berpakaian hitam yang ikut serta mendampingi Arkana.

"Pembohong! Jelaskan padaku, kenapa ada koper istriku di sini? Di salah satu kamar tempat terkutukmu ini, heh?"

"I-itu bukan milik Mazaya." Mami Karren sendiri terkejut tak mendapati Mazaya di kamarnya. Tapi, mengakui dia sudah menyeret lagi Mazaya ke tempatnya sangat berbahaya. Bisa-bisa lelaki yang sedang dikuasai amarah itu tak segan mencekiknya, pikirnya.

Arkana tersenyum miring lalu membebaskan rahang wanita itu dengan kasar ketika mendengar suara derap sepatu yang mendekat. Sementara Mami Karren terbelalak lebar melihat siapa gerangan yang menjadi gerombolan tamu tak diundang.

"Tempat Anda kami amankan untuk sementara waktu. Dan Anda kami instruksikan untuk mengikuti kami ke kantor polisi guna memberi keterangan." Salah seorang berseragam polisi berkata dengan tegas pada Mami Karren. Sementara polisi yang lain bergerak menyisir tempat itu dan mengumpulkan wanita-wanita berpakaian minim bahan. Tak terkecuali Regina. Wanita itu tak hentinya mengumpati Mazaya dalam hati. Sialan! Orangnya tidak ada, tapi pengaruhnya mampu memorak-porandakan tempat ini. Benar-benar pengacau kau, Ratu!

Keparat! Ratu si perempuan hina dan sombong yang dulu kusayang-sayang, bahkan layaknya kuangkat di atas kepalaku itu menjadi bumerang untukku. Dia sudah menggali lubang kehancuran ladang bisnisku! Awas kau!" Setali tiga uang dengan Regina, Mami Karren mencaci-maki Mazaya dalam hati.

***

Pagi ini, Arkana melangkahkan kakinya gontai memasuki kediaman megah yang lebih dari 30 tahunan itu menjadi huniannya. Tak dapat menemukan Mazaya di mana pun, itu penyebab jiwanya tak bersemangat. Menginterogasi Mami Karren hingga berbusa-busa pun tampaknya tak akan membuahkan hasil. Sebab yang keluar dari mulutnya hanya kalimat "Aku tidak tahu".

"Di mana kau, Mazaya?" Dengan raut penyesalan dia menggumam sembari terus melangkahkan kakinya.

"Dari mana saja kau, Nak, tiga hari ini?" Nyonya Abraham dan Kaira tampak menyambutnya dengan segudang tanda tanya. Keduanya melipat tangan di depan dada.

"Mencari istriku." Arkana menghempaskan tubuhnya di sofa ruang keluarga. "Ma, tolong jawab jujur, apa Mama mengusir istriku?"

Mata ibu Arkana melotot tajam. "Apa-apaan kau, Arkana? Karena perempuan itu, kau semakin sering menuduhku."

Arkana tertawa getir. "Dengan reaksi Mama ini justru menguatkan prasangkaku. Istriku tak akan meninggalkanku begitu saja jika tidak ada pemicu kuatnya. Sekarang aku yakin, itu pasti karena perbuatan Mama."

"Arkana, jangan katakan itu pada Mama. Dia ibumu, yang mengandung dan melahirkanmu." Seperti biasanya, Kaira tampil bak seorang malaikat yang berhati suci di depan Arkana.

Tanpa memedulikan Kaira, Arkana kembali berucap pada ibunya, "Jika putramu ini hancur, jangan salahkan siapa pun. Karena kehancuran itu disebabkan olehmu sendiri."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!