"Ba-bagaimana bisa?" Mazaya sedikit terbata. "Anda pasti sedang bicara ngawur."
Arkana tertawa ringan. "Haha lihatlah! Orang yang bertanggung jawab dengan kondisiku mengataiku ngawur," ujarnya. "Sayangnya aku tidak sedang menebar omong kosong, Mazaya. Apa perlu kupanggilkan dokterku ke sini supaya kau mendapat penjelasan medis?"
Mazaya bingung harus membalas dengan kalimat apa, jadi dia hanya diam sambil memandang Arkana. Sambil berpikir, entah harus berbangga diri atau justru merasa bersalah sebab berbeda dengan Arkana yang jika perkataan lelaki itu adalah fakta, maka betapa kejinya dia yang justru menjajakan dirinya. Sementara Arkana tersiksa dengan kondisinya, dan bisa dikatakan lelaki itu setia padanya.
"Atau, kau ingin bukti yang lain?" Arkana menyentuhkan telapak tangan Mazaya ke celana yang tampak menyembul. "Sedari tadi di ballroom ketika melihatmu, dia mulai berdiri."
"Apa-apaan ini? Tolong, jaga batasan Anda." Mazaya langsung menarik tangannya, mengabaikan inti dirinya yang juga berdenyut mendamba sentuhan Arkana.
"Menikahlah denganku, Mazaya."
Mazaya merasakan hatinya terenyuh dan ingin memberitahu Arkana bahwa dia pun memiliki perasaan yang sama. Rindu yang menggebu hingga kerapkali bermimpi bertemu lagi dengannya. Namun, tampaknya sekarang Mazaya baru menyadari satu hal: jurang pemisah cinta mereka terlalu curam, banyak rintangan di dalamnya. Dan dia merasa sangat ... kerdil nan hina.
Maka lidah Mazaya mengkhianati hatinya dengan berkata, "Maaf, tapi saya tidak ingin dikatakan Cinderella yang mendambakan seorang pangeran." Terlebih, masa laluku yang kelam seakan bermanifestasi menjadi lampu merah yang memberi aba-aba berhenti. Berhenti memupuk perasaan ini dan menghapus keseluruhan kenangan malam itu.
"Persetan dengan status sosial, Mazaya. Yang aku inginkan hanya kau!"
"Saya moh--"
Ucapan Mazaya terhenti sebab pintu kayu digedor brutal dari luar. Bersamaan dengan suara yang berteriak lantang, "Arkana! Sejak kapan kau menjadi brengsek begini? Keluar, Arkana! Bawa perempuan tak tahu diri itu ke sini! Kita tuntaskan masalah ini sekarang!"
Arkana mendengkus kasar. Ditariknya dengan pelan lengan Mazaya lalu digenggamnya jemari perempuan sembilan tahun lebih muda darinya itu. "Kau harus bertanggung jawab," ucapnya lalu membawa Mazaya keluar menemui ibunya yang masih terdengar kegeramannya.
"Haa ini dia! Bocah tak tahu diri!" Nyonya Abraham langsung menyerang Mazaya ketika pintu terbuka.
Namun, itu cuma sebentar sebab Arkana segera menahan tangannya yang akan menarik rambut Mazaya. Sementara Mazaya direngkuhnya hingga merapat ke tubuhnya. "Aku takkan membiarkanmu berbuat semena-mena dengan calon menantumu, Ma."
Wanita berkacamata itu memandang nyalang putranya. "Menantu? Cih! Perempuan rendahan seperti dia berkhayal tinggi menjadi menantu di kediaman Mahesh? Leluconmu malam ini terlalu menggelikan, Nak."
"Aku serius, Ma. Satu bulan ini cukup buatku mengurus segala sesuatunya, dan kau ..." Sekarang pandangannya mengarah pada Kaira yang berdiri tak jauh dari ibunya.
"Bukan maksudku membuatmu malu dengan status janda yang sebentar lagi kau sandang. Tetapi, bukankah aku sudah memperingatkanmu sebelumnya bahwa aku bisa saja sewaktu-waktu menceraikanmu karena sedikit pun tak ada cintaku buatmu. Dan kau? Apa yang kau katakan waktu itu? Kau bilang 'aku terima segala konsekuensinya. Pokoknya kau harus menikahiku dulu'. Nah, Nona Kaira Anastasia, sekarang jangan katakan bahwa aku tak pernah memperingatkanmu."
Selama mendengarkan Arkana berbicara panjang, Kaira memaksimalkan kerja otaknya. Hingga ketika Arkana menyelesaikan kalimatnya, dia berkata dengan penuh pertimbangan, "Aku bersedia menjadi bintang keduamu."
Arkana mengernyit. "Apa yang ingin kau coba katakan?"
"Karena kau sudah menemukan cintamu, maka aku tidak keberatan kau bersatu dengan cintamu itu. Sederhananya, aku rela dimadu."
"Kaira!" Nyonya Abraham melemparkan tatapan peringatan. Apa-apaan ini. Dia sudah gila? Dan apa, sederhana katanya? Dia beneran gila!
"Ma, sudahlah. Sepertinya kita bisa mulai menerima keputusan Arkana. Dan ya, ini konsekuensi yang harus kuambil ketika memaksakan pernikahan pada seseorang yang tidak mencintaiku," ujar Kaira dengan menampilkan tatapan sendu pada sang ibu mertua.
Mazaya yang sedari tadi merapatkan wajahnya pada Arkana menjadi penasaran dengan sosok yang terdengar berhati malaikat itu. Meskipun tadi di ballroom sempat melihatnya, tapi Mazaya tak memperhatikan dengan seksama.
"Aku tidak berniat menduakan cintaku. Hanya akan ada satu bintang dalam pernikahanku."
"Arkana! Jadi bajingan sekalian saja kau, Nak! Ya Tuhan, apa salahku sampai di usiaku yang semakin senja ini putra yang kubesarkan dengan limpahan kasih sayang melempari wajahku dengan kotoran sapi. Akan kusembunyikan ke mana wajah hinaku ini jika tersiar kabar 'Arkana putra kebanggaan Nyonya Abraham menikah lagi tak berselang lama setelah resepsi pernikahan pertama'."
Arkana memandang datar ibunya yang bagaikan ratu drama itu. Dipandanginya lekat-lekat sambil mengikrarkan tekad kali ini upaya wanita itu takkan menghentikannya. Dia akan tetap menceraikan Kaira dan menikahi Mazaya.
Apa yang dijanjikan Arkana malam itu terwujud. Bahkan belum genap satu bulan pernikahannya dengan Mazaya sukses dilangsungkan dan sekarang adalah malam pengantin mereka. Meski tak semeriah pernikahan pertamanya, tetapi cukup memastikan bahwa sekarang koleganya tahu Mazaya bukan perempuan simpanannya. Itu prioritasnya. Dia takkan mengampuni siapa pun yang memandang rendah Mazaya.
"Mazaya." Arkana mempertemukan pandangan mereka dengan menjepitkan ibu jari dan telunjuknya di dagu istrinya itu. "Kau tetap malu-malu meskipun ini bukan malam pertama kita, ya."
Hening sejenak lalu Mazaya berkata, "Mengapa Anda bersikeras menikahi saya? Tidakkah Anda takut salah mengambil keputusan dan menyesalinya suatu saat nanti?"
"Penyesalan apa yang akan diterima lelaki yang menikahi wanita pujaannya, Mazaya? Yang akan diterimanya hanyalah kebahagiaan," jawab Arkana sembari memandanginya lekat-lekat. Istrinya itu malam ini berjuta-juta kali lebih cantik. Dan Mazaya tampak pasrah, tak melontarkan apa pun lagi pada sang suami.
Ketika Arkana mempertemukan bibir mereka dan akan mengulang lagi petualangan cinta mereka ke nirwana, Mazaya tampak tak nyaman. Tiba-tiba didorongnya Arkana yang tadi tak berjarak darinya. Mazaya bangkit dan bergerak resah, menggaruk-garuk leher, tengkuk, ketiak dan sekarang sekujur tubuhnya.
"Mazaya, ada apa?" Arkana mengernyit dan tampak cemas.
"Tubuh saya mendadak seperti diserbu ribuan semut. Sangat gatal." Mazaya menjawab tanpa menoleh lawan bicara, sibuk menggaruk-garuk sekujur tubuhnya yang gatal.
"Berhenti, Mazaya. Kukumu justru memperparah keadaanmu. Lihat, lecet-lecet. Ini meninggalkan rasa perih, 'kan?" ujar Arkana sambil menahan tangan istrinya. "Biar aku carikan obat di apotek."
"Ja-jangan! Jangan tinggalkan saya sendirian di sini." Mazaya menahan lengan Arkana yang sudah akan pergi. Mazaya masih phobia petir dan dia was-was sebab di luar sedang hujan. Bayangan petir menggelegar melayang-layang di benaknya.
Arkana menghempas lagi ke ranjang. "Baiklah, aku akan menyuruh Rayyan membelikannya," ucapnya sambil melarikan jemarinya ke layar ponsel dan Mazaya mengangguk sambil bergerak resah, tak nyaman dan rasanya ingin terus menggaruk kulitnya dengan ritme cepat.
"Coba ingat-ingat, Mazaya, apa yang kau makan seharian ini? Mungkin itu pemicu gatal-gatal ini menyerangmu."
Seingatnya, makanan yang dimakannya sama seperti yang dikonsumsi Arkana dan suaminya itu sekarang baik-baik saja.
"Atau ... apa mungkin karena pakaian yang kau kenakan ini? Apa kau memiliki alergi bahan kain tertentu?"
Mendengar itu, baru terlintas di benak Mazaya. Mungkinkah ... ini karena ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Fitriyana Restu fadila
Keren Thor ceritanya. Semoga Mazaya bisa jadi menantu yang kuat disini. Lawan mertua mu dengan sejuta pesonamu. 😁
2023-07-25
2