Bab 19

"Siapa diluar? Tolong jangan main-main. Di dalam sini masih ada orang. Hey, buka pintunya! Jangan bercanda, ini tidak lucu!" seru Winter terus menggedor-gedor pintu gudang dengan sekuat. Sayang sekali tidak ada hasil sama sekali.

Entah sudah berapa menit ia berteriak. Dan gadis itu sudah merasa kecapean.

"Percuma berteriak, tak ada yang akan membukanya." kata Daffin santai. Cowok itu malah duduk santai dilantai sambil bersandar di dinding.

"Hufft ..." akhirnya Winter menyerah. Gadis itu ikut duduk dilantai, berhadapan langsung dengan Daffin. Gadis itu tersenyum kikuk. Berduaan saja begini tidak membuat Winter bahagia. Ia malah malu. Suasana berubah hening.

"Kau sangat berani," gumam Daffin kemudian dengan suara beratnya. Winter mendongak. Keningnya berkerut.

"Hmm?"

"Mengusik Bian,"

"Ohh," gaya bicara Daffin yang kaku membuat Winter kadang sulit mengerti.

"Kenapa?"

"Apanya?"

"Kenapa melakukan hal tadi pada Bian, kau memiliki pengalaman buruk dengannya?" terus terang baru kali ini Daffin merasa kepo pada seseorang. Segala hal tentang Winter entah kenapa berhasil menarik perhatiannya.

Apalagi Winter melakukannya setelah kasus Bian menuduhnya tadi. Kalau dipikir-pikir gadis itu ada di depan ruangan dosen tadi, apa jangan-jangan Winter mendengar tentang masalah mencuri koper tadi dan sengaja mau membantunya memberi pelajaran pada Bian?

Daffin tertawa dalam hati. Apa yang kau harapkan Daffin? Kau terlalu percaya diri. Tidak mungkin gadis itu melakukannya demi dirimu. Dekat saja tidak.

"Mm, pria seperti Bian itu memang layak diberi pelajaran. Hidupnya tidak pernah bermanfaat bagi orang lain, malah menyusahkan." kata Winter. Tuhkan benar. Memang tidak ada hubungannya dengan dirinya.

"Masalah apa?" jiwa kepo Daffin makin menjadi. Dia sendiri bingung kenapa dengannya. Winter didepannya sampai menatapnya lama dengan mata bulatnya yang besar.

"Kalau kau tidak mau cerita tidak apa-apa." kata Daffin lagi tidak mau memaksa. Walau sebenarnya dia sangat ingin tahu.

Winter memutar otaknya. Ia tidak tega pada Daffin. Tapi dia harus mengarang masalah apa ya? Tidak mungkin kan dia bilang melakukan itu karena Bian berani mengusik Daffin. Pria itu akan curiga dan merasa dia gadis yang aneh.

"Dia sengaja mempermainkan teman sekelasku. Pacaran sekaligus dengan banyak perempuan dan suka meremehkan perempuan, menganggap mereka semua seperti barang." Winter merasa dia benar-benar pandai mengarang cerita. Tapi memang benar kok ada salah satu teman sekelasnya yang termakan rayuan laki-laki brengsek seperti Bian. Dia dengar dari Mimi. Mimi cerita karena dulu Bian juga pernah menembaknya, awal-awal kuliah.

Daffin tidak bicara lagi. Hanya diam. Sesekali melirik Winter. Suasana kembali hening.

"Kemungkinan besar orang yang mengunci kita di sini adalah pria itu," Daffin kembali bicara.

"Maksudmu Bian?" mata Winter melebar.

"Mm."

"Tapi jelas-jelas tadi dia sudah pergi."

"Bisa saja dia berbalik dan melihat kita."

Masuk akal. Winter menghela napas. Kembali bersandar ke dinding kemudian merogoh ponsel di saku jaket yang dia kenakan. Jalan satu-satunya adalah menelpon siapapun yang ada dikontaknya untuk datang menolong mereka.

"Kamu juga hubungilah seseorang." ucapnya menatap Daffin.

"Hapeku mati." balas pria itu. Memang sudah habis baterai sejak siang. Winter mengerti, berarti hanya bisa mengandalkan hape miliknya saja untuk menghubungi orang. Tapi ....

Winter melihat ke layar hapenya sambil mengernyitkan dahi. Arga tidak angkat-angkat, mamanya tidak aktif dan papanya melakukan hal yang sama dengan Arga, tidak angkat telponnya. Pasti mereka sedang sibuk.  Ia mencoba menelpon Mimi tapi tiba-tiba jaringan internetnya hilang. Dirinya hanya mengandalkan quota untuk telpon Wa. Tidak bisa telpon biasa karena tidak ada pulsa.

"Tidak ada yang angkat, mungkin mereka sibuk. Jaringan internetnya juga hilang." katanya sambil memijit bahunya yang terasa letih. Ia kecapean akibat sibuk seharian ini dengan rencana jahatnya ke Bian.

Daffin memperhatikan gerak-gerik gadis itu. Wajahnya juga tampak lelah. Ia ingin menawarkan memijat bahu gadis itu, tapi bukankah itu akan terlihat aneh? Daffin pun mengurungkan niatnya. Kemudian ia melihat Winter ketiduran.

Laki-laki itu tersenyum tipis. Tidurnya bahkan sangat nyenyak.

"Tampaknya kamu bisa tidur di mana saja," gumam pria itu pada dirinya sendiri. Ia terus mengamati Winter.

Ketika merasa gadis itu kesulitan tidur sambil duduk, Daffin berinisiatif  berpindah ke sebelah Winter. Dengan gerakan perlahan Daffin membawa Winter bersandar dibahunya. Itu akan membuat gadis itu merasa lebih nyaman.

Daffin bisa merasakan wangi buah di tubuh gadis itu. Keharuman yang menyegarkan, dia suka. Wangi gadis itu tidak menusuk telinga seperti perempuan-perempuan pada umumnya. Malah cenderung enak di hidung Daffin. Tangan kekar pria itu merapikan surai rambut Winter yang berjatuhan. Gadis itu tampak damai dalam tidurnya. Dan Daffin tersenyum tipis. Tak lama kemudian pria itu ikut tertidur.

              ***

Winter menguap lebar dengan mata tertutup. Ia pikir sekarang ini dirinya sudah berada di kamar, karena tempat ia bersandar ketika tidur terasa nyaman. Dia bahkan memeluk Daffin yang dikiranya bantal. Namun ketika ia menyadari yang ia peluk erat-erat itu sepertinya bukan bantal, lebih seperti manusia, matanya terbuka.

Detik itu juga tatapannya bertemu dengan mata hitam pekat milik Daffin. Kaget? Tentu saja. Sangat kaget malahan. Untung dia tidak sampai terkena serangan jantung. Winter cepat-cepat menjauh. Malu? Ya dia sangat malu. Sampai menatap Daffin saja rasanya tidak mampu. Ya ampun,  berarti lengan yang dia cubit tadi bukan bantal, tapi lengan kekarnya Daffin. Winter ingin menenggelamkam dirinya sekarang juga.

"Wajahmu merah, kau malu?" gumam Daffin dengan nada menggoda. Jelas Winter makin malu. Dan Daffin terkekeh. Senang sekali rasanya menggoda gadis itu.

"Jam berapa ini?" tanya cowok itu kemudian. Ekspresinya berubah serius. Ia harus segera ke rumah sakit, kalau tidak adiknya akan mencarinya. Winter lalu mencari hapenya dan melihat jam di sana.

Ternyata sudah lewat dari jam tujuh malam.

"Lewat jam tujuh." sahutnya.

"Kita harus cari jalan lain keluar lain." Daffin lalu berdiri dari duduknya. Lelaki itu memandang ke segala arah, mencari-cari kalau-kalau ada jalan lain agar mereka bisa keluar. Sayangnya tidak ada. Gudang itu pun tidak memiliki jendela. Satu-satu akses untuk mereka keluar hanya lewat pintu. Sial.

Tak lama setelah itu ponsel Winter berbunyi. Winter cepat-cepat mengangkat. Ternyata Arga yang menelpon.

"Arga!"

"Kamu di mana? Kenapa belum pulang?" suara Arga terdengar cemas.

"Masih di kampus. Terkunci di gudang."

"HAH? Kalau begitu tunggu aku, aku akan segera ke sana. Ingat, bernyanyilah kalau kau takut." lalu pembicaraan mereka terputus.

"Pacar?" tanya Daffin kembali kepo. Winter menggeleng.

"Teman. Kami sudah bersahabat sejak kecil, dia seperti kakak kandungku sendiri." jawab Winter.

"Oh," Daffin menganggukkan kepala dan entah kenapa merasa lega.

Terpopuler

Comments

Lovey

Lovey

mulai ada benih-benih cinta nih😍

2023-07-21

0

Lovey

Lovey

cowok yang Winter suka tuh kamu Daff,

2023-07-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!