Melody selonjoran kaki di sofa ruang televisi, pegangan sofa yang lembut menopang punggungnya, juga menahan kepala yang tertarik gravitasi.
Tiba-tiba terdengar suara batuk seorang pria, Melody terbangun dari alam bawah sadarnya.
Pria itu duduk meluruskan kakinya dirinya di lantai berkarpet, bersandar pada bagian depan pegangan sofa yang Melody tempati. Harum sampo berembus masuk ke indra penciuman Melody, matanya terbuka untuk kedua kalinya. Melody bangkit, terduduk melipat kakinya di atas sofa.
"Kebangun karna saya batuk?" celetuk Jamie, melepas kacamata yang dia pakai sehari-harinya.
"Iya ..." lirih Melody.
Jamie memijat pijat batang hidungnya. Dari samping tercetak jelas garis hidung indah miliknya, Melody tak bisa memalingkan pandangannya. Sambil mencomot kelopak matanya, dia terus berkata pada dirinya sendiri
Suami orang. Suami orang. Suami orang.
"Hari ini kerjaan mu cukup banyak, kamu boleh libur besok kalau mau. Nanti saya telpon ibu agar ke sini merawat Daniel, sekalian ke rumah sakit juga," tawar Jamie.
"Baiklah. Kalau ada ibu." Melody merebahkan tubuhnya kembali, kali ini dia menyamping, menatap lurus ke arah yang sama Jamie melihat.
Menoleh lah sedikit wahai suami orang ... biarkan aku melihat wajahmu.
"Kak, apa obat siang nya ikut ter-muntahkan juga? Kalau gitu obatnya terlewat dong?" Melody baru terpikir sekarang.
"Kamu benar, besok saya tanyakan ke dokter." Sama halnya, Jamie juga baru terpikir.
"Apa kamu ..." Jamie menoleh ke belakangnya, ia bertemu pandang dengan wanita itu.
Satu, dua, tiga, empat. Empat detik, keduanya memalingkan wajah satu sama lain. Jamie rabun jauh, penglihatannya jika dari dekat normal, jelas terlihat wajah Melody yang bersih dan cantik tanpa make up. Jamie memejamkan matanya lama.
Wajah dibalik kacamata Jamie baru pertama kali dilihat Melody, tapi itu bukan masalah lagi. Barusan wajahnya hanya berjarak lima senti dengan seorang suami yang sudah beristri. Melody merasa berdosa dan berdebar di waktu yang sama.
Jamie melanjutkan ucapannya, "kamu tidak jijik melihat dan menyentuh muntahan Daniel?"
"Tidak. Kak Jamie sendiri?" ucap Melody polosnya.
"Dia anak saya, Melody. Saya membersihkan setiap muntahan dia. Bagaimana bisa saya jijik." Jamie melirik pada pintu kamar Daniel.
Melody memerhatikan setiap kata dari perkataan Jamie yang selalu menyiratkan sesuatu. Secara tak langsung dia mengatakan, Emily tidak mau menyentuh atau membersihkannya jadi Jamie yang melakukannya.
Lamunan Melody buyar ketika Jamie tiba-tiba beranjak dan memakai kacamatanya kembali, lalu berjalan dengan cepat menuju kamar Daniel. Melody segera menyusulnya.
Semakin dekat, makin terdengar suara napas yang terengah-engah. Daniel menangis, sesak napasnya kambuh. Jamie segera memberikan pertolongan pertama padanya. sementara Melody menyiapkan keperluan Daniel ke dalam tas, jaga-jaga jika diharuskan ke rumah sakit.
Setengah jam berlalu. Tidak cukup. Terlalu lama. Daniel merintih kesakitan. Jamie memutuskan untuk berangkat ke rumah sakit saat itu juga.
"Ini tengah malam, saya juga tidak bisa mengantar kamu. Menginap saja dulu," titah Jamie.
Daniel menggeram tidak suka, tangannya meronta-ronta pada Melody. Lalu histeris menatap ayahnya. Jamie merasa telah merepotkan Melody terlalu banyak, Melody juga butuh tidur.
Melody meraih tangan Daniel yang meronta padanya.
"Aku akan ke rumah sakit bersama Daniel, jangan menangis, jangan banyak bergerak, atur napas mu baik-baik."
Tak bisa dipungkiri, Jamie memang membutuhkan Melody. Persiapan sudah dilakukan, Jamie hanya perlu mengambil ponsel, dompet dan kunci mobil, mereka langsung berangkat.
Dengan penuh kewaspadaan, Jamie melajukan mobilnya berkecepatan tinggi, dan kerap kali melanggar lampu lalu lintas.
Tiba di rumah sakit, Melody menghentakkan kaki berlari ke dalam. Seorang suster keluar dan memeriksa sebentar, lalu Daniel yang masih digendong ayahnya, digiring menuju Unit Gawat Darurat.
Yang Daniel ingin Jamie dan Melody menemaninya di ruangan itu. Tapi dokter hanya mengijinkan satu orang dan memilihkan ayahnya saja yang masuk dan menemani.
Tangan Daniel meronta Melody, terasa pahit hati Melody karena tak bisa menggapai tangan kecil yang membutuhkan dia. Jamie menepuk pundaknya.
"Jangan khawatir," ujar Jamie sebelum memasuki ruangan Unit Gawat Darurat.
Nyaris pukul dua dini hari, Melody tidak merasa kantuk sama sekali. Penanganan untuk sesak napas Daniel sudah selesai, dokter dan para perawat keluar dari ruangan itu. Sang dokter tidak terkejut lagi melihat Melody masih ada di sana, karena mengira dia adalah ibu dari anak itu.
"Bu, anak ibu sudah baik-baik saja. Ibu sudah bisa tidur dengan tenang, jika mau menengok Daniel sebentar boleh saja," ujar sang Dokter.
Melody menghiraukan perkataan dokter, ia hanya mengangguk sekali dan langsung masuk begitu saja. Sekujur tubuh kecil Daniel basah oleh keringat yang membanjiri. Mata merah dan sembab itu melirik pada Melody yang baru saja masuk, bibirnya yang pucat melengkung lebar ke bawah.
"Little Guy! How are you?" sapa Melody riang.
"I am fine," jawab anak itu bersemangat, suaranya masih lemah.
"Kamu masih di sini." Jamie menguap.
"Aku akan menemani Little Guy sampai tidur." Melody mengusap jidat Daniel yang penuh keringat.
Lantas mereka memindahkan Daniel ke ruang rawat kelas satu, hanya perlu menggendongnya saja. Melody membawakan infus yang jarumnya tertancap pada punggung tangan mungil itu.
Daniel dibaringkan penuh hati-hati, Melody menarik kursi dan duduk di sisi Daniel. Jamie meninggalkan mereka untuk mengurus administrasi. Tak butuh waktu lama, Melody hanya mengusap-usap dada Daniel sebentar, matanya sudah terpejam saja. Melody menghembuskan napasnya lega.
Ayam sudah berkokok saja, Melody baru selesai menidurkan Daniel. Jam menunjuk pada pukul empat pagi, Jamie pun baru kembali saat itu. Melody bangkit dari duduknya, teringat adik-adik di rumah.
"Aku harus pulang," ucapnya.
"Tentu, saya antar." Jamie mengambil kunci mobil di atas nakas.
Melody tidak bisa menolak, transportasi umum mana yang beroperasi dini hari. Lokasi perumahan yang ditinggali Melody tidak terlewati angkutan umum maupun bus.
Melody keluar dari ruang rawat, diikuti oleh Jamie dari belakang. Mematung wanita itu, mendapati sang mantan kekasih berdiri di depan ruangan, bersama istrinya yang berperut besar.
Sasha yang kaget refleks menyapa, "Melody, hai ..."
"Melody pengasuh Daniel," terang Jamie pada Glenn, namun Glenn tak meliriknya sedikitpun.
Bibir Melody masih rapat saja, tak keluar respon apapun. Dia hanya melihat sebentar, lalu pergi melewati keduanya. Sebaliknya Glenn tak bisa berhenti melihat padanya, dengan tatapan pilu.
Huh, percuma saja menyapa ku, dia pikir aku masih mau berteman dengannya?
Jamie menyusul segera setelah memberi penjelasan singkat pada Glenn. Sasha diam seribu bahasa setelah kata terakhirnya keluar. Sementara Jamie mengantar Melody, mereka menjaga Daniel di rumah sakit.
Perjalanan menuju rumah Melody yang hening dan canggung. Saling berbicara hanya saat menunjukkan arah, Jamie belum pernah ke rumahnya.
Melody meminta agar diturunkan di warung depan gang perumahan nya, warung itu memang buka dua puluh empat jam walau pembelinya hanya ramai di pagi hari, tapi bukan berarti selalu sepi. Ada satu kelompok tongkrongan yang setia mendatangi tempat itu, di malam hari dan setiap pagi seperti pagi ini.
Ia turun dan membeli tiga bungkus nasi kuning, untuk dia dan dua adiknya. Jamie ternyata belum kembali, dia justru ikut turun dan memesan nasi kuning untuk dia makan di sana. Melody berakhir ikut makan di sana. Wajar, mereka belum makan dari kemarin malam.
"Si Eneng Melody kok ganti-ganti terus cowok-nya, mana mobilnya bagus-bagus," gumam si ibu pedagang nasi kuning kepada remaja-remaja yang setia menongkrong di warungnya.
Sampailah di rumah bernomor "365" Melody berpamitan dan segera turun, sekali lagi Jamie berterimakasih pada Melody dan selalu dibalas dengan ramah kembali kalau dia hanya melakukan tugasnya.
Segar tubuhnya yang belum mandi dari kemarin setelah dibasuh. Berbekal selimut bulu, Melody langsung merebahkan diri beralaskan tikar di ruang televisi lalu memeluk adik-adiknya. Entah kenapa mereka tidur di sana, tanpa selimut.
Melody terbangun, sontak ia bangkit dan memasang matanya ke arah jam dinding. Melody bernapas lega, masih siang hari, ia lalu mengecek ponselnya. Ada dua pesan dari Jamie, membuatnya grasak-grusuk bersiap diri untuk kembali ke rumah sakit.
Ojek on line yang dipesan sudah sampai. Tukang ojeknya masih muda, Melody tak ragu meminta agar berkendara secepat mungkin.
Kembali ke ruangan semalam, Daniel masih ada di sana untungnya. Ia tengah duduk sendiri menggoyangkan kakinya yang menjuntai ke bawah. Anak itu makin semangat melihat kedatangan Melody, karena ayahnya bilang Melody akan datang saat dia sudah di rumah.
"Kok pulang, sih!" gerutu Daniel sambil memalingkan wajahnya yang cemberut.
"Aku belum tidur tahu! Tidur dimana aku di sini? kecuali kalau Dany mau tidur di lantai agar aku tidur di kasur mu."
Daniel sudah siap pulang, barang yang dibawa hanya sekantong kecil, baju pun hanya satu set. Jamie membawa Daniel, Melody membawa tas, bertiga mereka pergi ke parkiran dan masuk ke dalam mobil.
Pelukan hangat Daniel menghilangkan penat dan rasa jengkel karena pertemuan yang tak terduga pagi tadi. Daniel pun dengan nyamannya duduk di pangkuan sang pengasuh dalam perjalanannya menuju rumah.
"Melody tidak takut tertular oleh Dany?" celetuk Daniel tiba-tiba.
"Hm?" sahut Melody dengan kecepatan 0.50. "Tidak."
Daniel menalar menggunakan otaknya, "Oh, imunitas tubuh Melody kuat."
Ingatannya lebih baik dari anak-anak manapun yang seusia dengannya.
"Sangat kuat," balas Melody lagi.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments