Sebagaimana kesehariannya, Melody pergi ke rumah Jamie, menjalankan tugasnya sebagai pengasuh. Saat pintu rumahnya ia ketuk, tak ada jawaban. Karena sudah bukan orang asing lagi Melody tak sungkan membuka pintunya, masuk secara mandiri.
Masuklah dia, tak terlihat siapapun. Sampai pintu kamar Daniel terbuka, Jamie yang sudah tampak rapi. Ia membawa piring kotor dan gelas berisi setengah air, keluar dari kamar itu. Melody menghampiri dan menanyai Daniel sebagai basa-basi.
"Daniel masih di kamar?" Melody merasa asing, semenjak Daniel diasuhnya, anak itu selalu bangun dan sudah siap di ruang tamu yang dekat dengan pintu keluar rumah.
Tak pernah Daniel mengakuinya, tetapi dia selalu menunggu-nunggu kedatangan sang pengasuh. Dia pula yang membukakan pintu, sampai ia menyimpan kursi itu di sebelah pintu.
Jamie mengiyakan.
Lalu menyodorkan bungkusan obat rutin Daniel pada pengasuhnya. Melody pun menerimanya dengan bingung, obat pagi Daniel selalu diberikan oleh Jamie.
"Lagi bertengkar?" tanya Melody melihat ke atas.
Melody masih di depan kamar Daniel, berjongkok dan mengintip celah kunci. Walaupun percuma karena ranjang Daniel tak searah dengan pintu
Jamie ikut berjongkok menyamakan tingginya dengan Melody, lalu secara singkat menceritakan pertengkarannya semalam terkecuali soal janji palsunya. Daniel memang berhasil tenang, tapi kesalnya masih awet sampai saat ini.
Melody terkejut. "Aaa ... jadi little guy takut kehilanganku?" Wajahnya terlihat seperti meledek. Padahal perasaannya senang bukan main karena diam-diam dia disayang oleh bocah ini.
Pintu pun terbuka, Daniel akhirnya membukanya. Melody yang masih baper setelah mendengar pernyataan dari Jamie, membentangkan kedua lengannya dengan wajah sumringah. Namun, Daniel tidak memeluknya. Malah dia pergi keluar entah kemana.
Refleks Melody menaruh obat dan air minum di tangannya asal ke meja, mengejar Daniel keluar. Jamie ikut kaget melihat Daniel, tapi ada hal lain yang lebih membuatnya lebih terkejut.
Tanpa perlu waktu lama pengasuh itu bisa menemukan anak yang diasuhnya dengan cepat. Tepatnya di taman kecil tempat bermain yang masih menjadi kawasan apartemen. Disusul juga oleh Jamie yang tidak jauh dibelakangnya. Daniel berjongkok menatap pasir halus didepannya.
"Little ...." Melody hendak memanggil Daniel dengan panggilan favoritnya, smartphone-nya berbunyi.
Terlihat nama Jamie menelepon seluler, kalimat pertamanya tak usah diragukan lagi, menanyakan kabar anaknya. Tanpa melihat wajahnya langsung pun, Melody bisa membayangkan kepanikan seorang ayah hanya dari nada suaranya saja.
"Daniel ada di taman bersamaku, Kak."
"Ayah berangkat kerja sendiri saja, Tidak usah pamit pada Dany!" Teriak Daniel, yang tetap tak bisa didengar ayahnya.
Melody mengulang perkataan Daniel barusan. Jamie tampak muram, ia mengambil tas kerjanya dan menitip salam pada putranya. Sang pengasuh ikut terbawa sedih mendengar kepasrahan majikannya.
"Biar aku yang membujuknya, Kak." Walaupun ia tak tahu bagaimana membujuknya. Jamie berterimakasih atas niat baiknya dan memutus sambungan telepon.
Karena pegal berdiri di atas tanah Melody mengangkat tubuh Daniel sambil berkata, "kalau jongkok terus nanti pantat mu ambeien loh, Dany."
Mendudukkan Daniel di ayunan. Begitu pula Melody ikut duduk dengan posisi menyimpang ke arah Daniel di ayunan sebelahnya, berusaha membujuk pulang karena dia harus segera minum obat sebelum jam telat.
"Ayah sudah berangkat, tuh." Melody menolehkan kepala menunjuk pada mobil yang baru saja keluar dari kawasan apartemen.
Tangan kanannya diletakkan di atas paha, mengepal menopang dagu. Ia menatap Daniel, dengan sabar menunggunya bicara. Daniel tidak tuli, mengulang perkataan hanya akan membuatnya tertekan.
Daniel turun dari ayunan itu. Tubuhnya terdorong ke bawah tapi ia berhasil menahannya dengan menapakkan kedua tangannya duluan ke tanah. Suasana hatinya berubah, telapak tangan mungilnya meraih dua jari Melody.
"Ayo, minum obat," ajak Daniel.
Melody turun, Dengan sigap menggendong bos kecil yang energinya habis dipakai berlari. Di dalam lift, Daniel masih memikirkan apa itu "ambeien" karena terlalu gengsi untuk bertanya.
"Makan buah apa hari ini, Little Guy?" tanyanya.
Mereka sampai di lantai lima, Melody melangkahkan kakinya keluar dari lift.
"Tidak mau. Bosan makan itu terus setiap hari," jawab Daniel.
"Baiklah kita turun lagi ya, beli es krim." Melody menekan tombol lift yang barusan dinaiki.
"Ugh ..." Daniel menggoyangkan kakinya ke bawah berusaha meraih lantai.
Sambil tertawa jahat Melody menurunkannya. Daniel langsung lari menjauh, ia tak takut pada es krim tapi trauma jika Melody yang memberikan. Melody menggunakan hal itu sebagai candaan, menjadi ketakutan tersendiri bagi Daniel.
Jangan salah, Daniel tidak menganggapnya sebagai sebuah kejahatan. Anak ini paham jika Melody senang menjahilinya.
Cerdasnya, Daniel tidak pernah tersesat dan dapat dengan mudah menemukan apartemennya. Daniel berjalan dengan riang menuju rumahnya, dari belakang pengasuhnya mengikuti. Jarak menuju apartemennya hanya tinggal beberapa langkah lagi, tampak seorang gadis kecil berseragam putih merah keluar dari apartemen tepat sebelah Daniel.
Seorang wanita muda keluar setelahnya, gadis kecil cantik itu memanggilnya "mama" membuat Melody tersadar, wanita inilah yang bertengkar dengan suaminya kemarin. Melody hanya melihat hanya sang suami yang umurnya berjarak cukup jauh, saat menguping kemarin.
Melody tak pernah sekalipun melihatnya karena sama halnya dengan Daniel, gadis kecil itu juga terkurung tak pernah bermain keluar.
"Hai ... Daniel ...!"
Gadis kecil itu menyapa akrab Daniel begitu melihatnya, akan tetapi yang disapa tidak menjawab.
"Bocah sok dingin! memangnya kau CEO?" gumam Melody kesal dalam hatinya.
"Halo ..." Melody melambai tangannya, berniat menyapa balik meskipun kaku.
Aslinya Melody kaku terhadap anak kecil. Ia mampu dan tahu cara mengurus anak-anak maupun balita, tapi tidak punya bakat menemani mereka bermain. Melody merasa kaku jika harus menyamakan tingkahnya dengan anak-anak, hanya agar bisa bermain akrab bersama mereka.
Ibu si gadis kecil itu hanya tersenyum, Melody kemudian kabur berdalih mengejar Daniel yang sudah lebih dulu masuk rumah.
Melody mendapati Daniel merebahkan dirinya di sofa ruang tamu, kepalanya terus menghadap pintu. Diambilnya obat yang tersimpan di atas meja makan dan segelas air dengan tutup gelas diatasnya. Melody menghaluskan pil obat lalu mencampurnya dengan air, Daniel meminumnya satu persatu.
Seusai Daniel menelan semua obat paginya, Melody bertanya, "kok tadi Dany begitu, sih?"
"Natasya itu sok pintar," ucap Daniel, tak menyukainya.
Melody bertanya-tanya mengapa anak ini men-capnya begitu, sepertinya mereka pernah berteman.
Daniel pun menceritakan ketidaksukaannya.
"Ibunya selalu membicarakan dan memamerkan piala punya Natasya, padahal dia begitu karena sekolah di tempat yang anaknya bodoh semua."
"Mulutmu pedas banget ..." ujar Melody, merinding. "Dany tidak mau berteman dengan anak yang pintar seperti Dany??" sambungnya.
"Ber-te-man? Semua orang yang pintar adalah musuh, Melody!" tegas Daniel.
"A-apa kamu juga menganggap guru Rosa musuh?" tanya Melody sambil berdoa Daniel akan menjawab "tidak".
Namun sebaliknya, Daniel berkata, "Ya."
Melody yang hendak meletakkan obat-obatan itu kembali ke dalam lemari, tangannya menjadi mati rasa. Alhasil obat yang dipegangnya jatuh ke lantai.
Bagaimana jika dia tahu kerjaan sampingan ku?
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments