“Daniel … aku minta maaf. Kamu tidak mau memaafkan aku?” ujar wanita berusia dua puluh enam tahun.
“Gak!” teriak Daniel dari balik pintu.
Dari tadi hanya kata itu yang keluar dari mulutnya, kemana perginya bocah lancang dan cerewet kemarin? Melody harusnya jangan senang dulu. Ia terlalu percaya diri sampai lupa dengan kejadian kemarin, walau bukan salahnya.
Lama-lama bocah itu bosan juga, ia menurunkan kaki kurusnya ke lantai mendekati pintu. Perasaan takut dan prasangka buruk terhadap Melody begitu kuatnya, membuatnya tak berani bertemu dengan wanita itu. Tetapi dia tak ingin memperlihatkan rasa takut itu.
“What you ….”
(Apa kamu ….)
Melody tidak mendengarnya dengan jelas. Lalu Daniel mengulangnya dengan nada tinggi.
“What-you-plead!”
(Apa permohonan kamu)
Yang ia dengar,
“How … do you plead?”
(Bagaimana permohonan mu)
Melody terkejut dengan kepintaran bocah kecil di depannya. Ia hendak mengeluarkan kata-kata yang tidak akan dipahami seorang bocah. Namun, Melody berpikir dua kali.
Melody menyusun kata yang lebih baik agar tidak menyinggung perasaan. Anak kecil yang pintar sensitif sekali terhadap perkataan orang lain.
Melody bersimpuh menghadap pintu. “Aku memaksa Daniel makan eskrim kemarin sekitar pukul sebelas siang. Aku tidak tahu Daniel belum makan sebelumnya, kalau Daniel belum makan itu bukan sa … itu salahku harusnya aku bertanya dulu.”
Nyaris terpleset, Daniel menyadarinya. Walau faktanya Melody melakukannya dengan sengaja.
“Lalu?” ucap Daniel.
Melody mengaku. “Aku minta maaf sudah memanfaatkan situasi. Melody memang jahat.”
Hanya dengan itu saja Daniel masih belum puas. Dan dia mengatakannya sekali lagi, “lalu?”
“Aku janji akan mencari tahu dulu ke internet sebelum memberimu makanan atau minuman.”
Gagang pintunya turun, Daniel membukanya tetapi ia masih memegang pintu alumunium itu.
“Pfft … kamu mengandalkan informasi dari internet?”
Mengembang bibir Melody melihat tawa Daniel begitu keluar dari kamarnya. Tampaknya ia berhasil, hampir. Saat Melody mencoba mendekat, anak itu mundur selangkah menjauh.
“Oke, aku tak akan mendekat. Jangan masuk lagi!” Pintanya.
“Uhuk … uhuk …” Batuk Daniel kali ini mengeluarkan bercak darah, terlihat di tangan yang dia pakai untuk menutupi batuknya.
Refleks rasa cemas Melody membuatnya maju selangkah untuk mendekatinya. Tetapi terhenti karena anak itu melarangnya sekali lagi.
“Jangan mendekat!” Daniel menunjuk orang dewasa di depannya.
Senyuman di wajah Melody turun. Ia mengambil tisu basah yang kebetulan ada di dekatnya. Meskipun Daniel mundur kebelakang, Melody tetap berjalan ke arahnya sampai punggung anak itu menyentuh ranjangnya sendiri, jari berdarah yang menunjuk Melody sampai di genggamannya. Kemudian ia mengelap tangan kecil itu dengan tisu basah.
“Baiklah sebagai hukuman untukku, Dany boleh memanggilku dengan sebutan apapun. Tapi jari ini jangan sekali-kali lagi dipakai untuk menunjuk orang lagi.”
Hormat-menghormati adalah dasar hidup bersosial, tidak memandang bodoh atau pintarnya seseorang. Merasa ditaklukkan, bocah itu merengut menganggukkan kepalanya.
“Sial. Apa yang sudah kulakukan? Saking kesalnya aku pada bocah sok jual mahal ini, bisa-bisa dia jadi makin takut padaku,” bisik sesalnya dalam hati.
Setelah mengamati sekeliling kamar, hiasan kartunnya minim ada dua-tiga poster kartun di ruangan seluas itu. Dekorasinya hanya satu pot bonsai di jendelanya, peta besar terpampang di dinding, bola dunia yang lebih besar dari bola basket, satu rak bacaan kutu buku dan beberapa tumpuk buku di meja belajar. Melody yang menaruh rasa ingin tahu, menghampiri buku-buku yang menumpuk di sana.
“BANK SOAL SMP/MTs”
Judul buku pertama saja sudah membuat Melody membelalakkan matanya. Lanjut dia melihat buku lain, ternyata hanya ada satu buku soal SMP/MTs, yang lain hanyalah soal try out SD/MI. Tetapi buku-buku tingkatan SD di sana sudah terisi semua. Melody kembali pada buku pertama, beberapa soal berhasil dijawabnya, tampaknya belum dikoreksi juga karena ada beberapa yang salah.
“Little Boy, kamu anak genius. Guru les privat yang mengoreksi ini semua?”
“Jangan panggil aku begitu,” sahut anak itu.
“Kalau begitu, little guy?”
“Aku suka panggilan itu. Tapi bukan, maksudnya … jangan panggil aku genius.”
“Baiklah Little Guy.”
Melody tak mengira ada alasan dibaliknya, dia lanjut melihat-lihat kamar khas anak genius itu. Ada beberapa novel remaja di rak. Sesuai dugaan bukan novel eksplisit, apa yang dia harapkan dari anak kesayangan papa yang belum tersentuh era digital itu.
“Kamu tak jawab pertanyaan ku, kamu punya guru les?”
Daniel mengangguk. Perutnya bergemuruh, cukup banyak waktu yang mereka habiskan untuk berbaikan—walau keduanya masih kepala kepala. Melody membuka pintu kulkas, ada banyak bahan vegetarian dan daging di dalamnya.
“Pesan antar saja, tidak perlu masak. Kamu kan tidak bisa masak.”
Tubuhnya tunduk menciut, ia menahan dirinya dengan berpegang pada sudut kulkas. Lemas Melody Mendengar kata-kata yang menusuk harga dirinya sebagai wanita. Kalau soal keburukan, dia memang terkenal di keluarga itu. Mengingat Melody dan Glenn berpacaran cukup lama membuat ibunya risih.
***
Di hari yang sama.
Seorang wanita berbalut dress bermotif bunga elegan di atas lutut. Memasuki lift di gedung perusahaan, pinggulnya yang hanya diam saja menggoda para lelaki di dalam lift apalagi saat ia sampai di lantai tujuannya dan berjalan keluar, mereka tidak mengedipkan mata.
Wanita itu memasuki ruangan yang masih kosong, tidak ada karyawan yang mengisinya. Di dalam sana sudah ada laki-laki yang menunggunya sejak tadi, diam memandangi kota dari gedung kaca. Dari sana terlihat betapa kotornya kota yang ia tinggali.
Melingkar dua tangan di perut laki-laki itu dari belakang, ia berbalik dan membelai lembut wajah cantik itu.
“Emily. Kamu membuatku menunggu, jam istirahat hampir selesai.”
Ujar laki-laki bernama Tristan pada Emily, wanita usia dua puluh sembilan tahun yang sudah memiliki suami dan satu anak genius.
“Sudah kubilang jangan pikirkan hal itu. Aku tinggal bicara pada ayahku dan kita bebas melakukan apapun yang kita mau, Sayang.” Emily bersandar pada dada bidang laki-laki manis itu.
Tristan melingkarkan tangannya di pinggang wanita yang usianya lebih tua darinya. Saat ini ia adalah karyawan magang di perusahaan yang dipimpin oleh ayah Emily. Sebentar lagi dia akan berhenti dan mulai memasuki perusahaan ayahnya sendiri, Emily merasa sedih karena hal itu.
“Kita masih bisa bertemu, kan? Berjanjilah kamu tidak akan pernah meninggalkan aku Tristan!” Rayu Emily dengan wajah polosnya.
Tristan mendekatkan wajahnya pada bibir seksi wanita itu. “Tidak akan pernah,” ujarnya. Menautkan kedua bibir mereka, mulut dan tutur kata laki-laki itu sama manisnya.
Hari sudah gelap, menjelang tengah malam. Tristan yang masih memakai baju kerjanya memarkirkan mobilnya di depan warung, ia mampir di warung tersebut dan memesan kopi seduh sachet-an.
Dari gang perumahan, Melody berjalan hanya mengenakan setelan baju tidur dan dilapisi jaket tebal, rambutnya ia cepol bulat di atas, tangannya menggenggam paper bag. Mendapati Tristan sudah ada warung itu duluan saat ia keluar dari gang.
“Hai!” sapa nya.
Melody mengisi bangku di sebelah laki-laki itu. Ia menaruh paper bag berisi makalah yang sudah siap diserahkan kepada dosen. Tristan memakai jasa joki tugas dari Melody.
“Anak magang kok lembur, haha,” ujar Melody berbasa-basi.
Tristan hanya tersenyum. Sebenarnya bukan lembur yang membuatnya pulang larut malam, tapi Emily. Ia kadang curhat soal kekasihnya itu, tentunya tanpa menyebutkan nama atau status menikahnya.
“Oh, bentar lagi aku akan berhenti di perusahaan dia. Aku harus mulai masuk ke perusahaan ayahku setelah lulus. Aku bisa masukin Melody nanti, biar gak nganggur lagi,” Seru Tristan bersemangat.
Ayah Tristan yang saat ini memegang perusahaan sangat tegas dan ketat dalam memilih karyawannya, Tristan ingin membantu Melody dari dulu tetapi tak bisa.
“Woah, beneran? Keren!” ujar Melody, “Makasih tawarannya, aku akan menghubungi kamu kalau aku benar-benar nganggur.”
“Eh? Kamu sudah punya pekerjaan?!”
Matanya langsung bergeser menatap Melody.
Obrolan yang cukup panjang untuk segelas kopi, Melody sudah puas bercerita soal kejadian-kejadian mengejutkan yang terjadi di hidupnya kepada Tristan. Di seruputan terakhirnya Melody pamit pulang karena sudah larut malam.
Tristan adalah pelanggan favoritnya, uangnya besar dan dia cukup sering memakai jasa joki Melody untuk tugas kuliahnya. Melody pulang dalam keadaan muram, karena pelanggan yang menghidupi nya sebentar lagi akan lulus.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments