Daniel masih merasakan kantuknya, ia mengantar ayahnya yang sudah berkepala tiga itu pergi bekerja. Hanya sampai depan pintu. Dengan bantuan sang pengasuh muda yang menggendongnya.
Kendaraan-kendaraan mengisi jalan raya, pejalan kaki pun sudah berlalu-lalang menjalankan aktivitas mereka. Jamie turut berkendara dengan mobilnya melalui padatnya jalan raya bersama para tulang punggung di sana. Berdiam hanya memandangi kemacetan membuatnya memikirkan banyak masalah yang menimpa rumah tangganya
Jamie meraih smartphone-nya di jok sebelah, berniat mengirimkan pesan pada Emily, istrinya. Namun, ia menghapus kembali teks yang sudah dia ketik di kolom pesan. Melihat pesan-pesan yang terkirim sebelumnya hanya terbaca tanpa ada balasan. Bahkan informasi tentang Daniel yang masuk rumah sakit tempo hari, Emily tidak merespon apa-apa.
TIN TIN TIN
Klakson mobil dari arah belakang sontak mengembalikan fokus nya. Jamie dengan cepat mengisi ruang kosong di depannya.
Aku harus mempertahankan wanita seperti dia?
...***...
Daniel merebahkan diri melanjutkan tidurnya di kasur. Tak mempan di bangunkan sekali dua kali, Melody menyerah dan duduk bersandar di ranjang saling membelakangi.
"Walaupun sudah minum obat, kamu harus tetap bangun dan mandi, Dany ... sebentar lagi guru les akan datang, lho," ujar Melody.
Yang dipanggil tidak merespon. Sekitar satu jam lagi Daniel harus sudah siap. Entah kenapa anak ini kehilangan semangatnya begitu hari les tiba, padahal hanya seminggu sekali di hari Senin. Dia jadi terlihat seperti anak sekolah pada umumnya, yang paling malas di hari Senin.
"Dany, Daniel sini lihat aku, hey!" bujuk Melody, "Little Guy."
Siapa sangka, satu kata itu menaikkan suasana hatinya sedikit. Punggung mungil Daniel berputar menghadap ke arah pengasuhnya. Mata besarnya terlihat imut saat dilihat dari dekat, Melody tidak ingin terlihat lemah padahal hatinya benar-benar meleleh.
Melody menempelkan dagunya ke tepi ranjang.
"Ada apa ini? Seingat ku Dany suka belajar."
Daniel yang dia kenal senang sekali belajar dan mempelajari hal baru sejak balita, anehnya jadi pendiam. Sampai tidak tergoda sedikitpun dengan godaan Melody. Sampai jarum jam menginjak pukul sembilan.
"Baiklah. Tidak usah mandi, pun Dany sudah wangi wangi. Ayo waktunya berganti pakaian," ujar Melody.
Dengan lembut dan hati-hati, Melody mengangkat tubuh kurus dari dalam selimut bergambar macan itu. "Ringan sekali," batinnya.
Tekanan di wajah Daniel tercetak jelas, dia sedang tak ingin belajar. Melody teringat dengan buku bank soal yang tak selevel dengan umur anak itu. Terlihat seperti tekanan yang dia rasakan saat sekecil Daniel.
"Kalau kamu tertekan dengan gurumu, keluhkan saja. Ayahmu membayar dia untuk mengajari ilmu bukan menjejali nya," nasihat sang pengasuh.
Daniel menganggukkan kepalanya, bibirnya masih monyong. Melody menunggu-nunggu bantahan dari Daniel, tetapi sedari tadi ia tak mengeluarkan kata-kata penolakan apapun selain hanya diam dan mengangguk.
Bel pintu berbunyi diluar sana, dia adalah guru les. Daniel di ruang belajarnya sudah siap bersama setumpuk buku di meja. Melody membukakan pintu, terlihat seorang wanita menjinjing tas kerja di tangannya, pakaiannya casual modern yang menyamarkan usia. Wanita itu melempar senyum pada Melody.
"Selamat pagi, kalau tidak salah ini Kak Melody?" sapa hangat sang guru.
"Benar Miss. Tolong panggil saya Melody saja." Melody tampak sungkan.
Ruang khusus tempatnya belajar bersama guru les bukan main-main, ruangan itu dikelilingi rak buku, ada sepasang anatomi tubuh manusia, dan pernak-pernik lain.
"Anak ini akan jadi dokter, huh?" gumam Melody yang pertama kali masuk ruangan itu. Padahal ia mengharapkan bola-bola planetarium akan terpasang di sana.
"Bukankah Daniel sangat beruntung? Ayah saya dulu tidak mementingkan pendidikan sama sekali, bisa sampai di titik ini pun saya sudah keburu tua," timpal seorang wanita berusia 35 tahun tiba-tiba.
Melody hendak menyela, "anda sama sekali tidak- ...."
Belum selesai, wanita itu memotong kata-kata Melody, "orang-orang seperti kita harus merangkak sendiri agar bisa merasakan kenikmatan yang sama seperti mereka. Kita hanya bisa bersabar, kamu juga akan mendapatkannya dengan berusaha. Tanpa perlu merebut kebahagiaan orang lain."
Kalimat terakhir Rosa tidak mencerminkan kepercayaan sedikitpun. Melody tidak pernah mengharapkan apapun, situasi seperti ini pasti terjadi. Rosa hanyalah satu dari banyak perempuan yang membenci pengasuh muda dan cantik di tengah rumah tangga harmonis.
"Ceramah panjang mu tidak berarti lagi setelah kalimat itu keluar," ucap Melody dalam hati. Ia tidak berusaha menyembunyikan wajah sinis nya pada guru les itu.
Daniel rupanya memperhatikan percakapan mereka. Wanita itu langsung memasuki ruangan. Langkahnya terhenti, ia lupa memperkenalkan dirinya.
"Maaf saya baru ingat belum memberitahu nama saya, nama saya Rosa." Senyuman di wajahnya terlihat palsu.
......................
Tertera di peraturan, kegiatan pembelajaran Daniel tidak boleh diganggu, Melody hanya diperbolehkan melihat dari luar ruangan. Aturan yang ketat cukup mengganggunya, bagaimana dia bisa menjaga anak yang dia asuh jika terhalang tembok.
Niat hati mencari udara segar karena pembelajaran mereka begitu lama dan membosankan. Melody berjalan ke arah pintu.
"Kurang bagaimana lagi sih uang yang kuberikan padamu?!" teriak seseorang dari luar sana.
Melody baru membuka pintu keluar rumah sedikit, sepasang suami-isteri berteriak satu sama lain sudah menyambar telinganya. Melody tetap menahan dirinya di dalam, hanya sedikit celah saja sudah terdengar nyaring.
"Kamu selalu melarang ku berhutang, tapi tak pernah sekalipun uangmu mencukupi kebutuhan rumah!"
"Kebutuhan rumah apa?! Mentraktir teman teman arisan mu termasuk kebutuhan itu? Natasya kau sekolahkan di sekolah negeri yang isinya murid-murid buangan nakal, dia bisa mendapat sekolah yang lebih baik kalau kau tidak menghamburkan uang. Lalu kemana pula perginya uang yang kau pinjam, Dinar?" balas sang suami kepada istrinya yang bernama Dinar.
"Tahu apa kamu? Hampir setiap hari kamu berada di luar, jelas kamu tak tahu apa-apa."
Melody berakhir menongkrong di sebelah pot tanaman sebesar dirinya, pintu ia tutup untuk menghindarkan suara tak mengenakan ini dari telinga anak kecil. Pantas saja terdengar nyaring, rumah pasangan suami-istri itu di sebelah kanan rumah Jamie.
Mereka berdebat nyaris di depan pintu yang terbuka, tentu mengundang perhatian. Beberapa tetangga sekitar keluar dari apartemen mereka untuk memastikan. Mereka berusaha tidak menampakkan diri.
Tapi muncul satu tetangga, dari sebelah kiri apartemen Jamie tepatnya, mencari-cari asal keributan. Bukan hanya memastikan, ibu-ibu sepantaran nenek Daniel itu mendekati mereka agar bisa mendengar lebih jelas. Karena ada yang mengawali, yang lain pun jadi ikut-ikutan.
"Tetangga bodoh! Terang-terangan banget, bukan begitu caranya menguping!!" bisik Melody, geregetan dengan ibu-ibu tukang gosip itu, meskipun dia tak ada bedanya.
Malu karena dilihat orang lain, sebagai suami sekaligus kepala rumah tangga, Alan segera menurunkan nada bicaranya dan membawa istrinya masuk. Sebelum menutup pintu, ia memberi senyum canggung pada orang-orang di sekitar apartemennya.
"Lihat, kan? Mereka jadi masuk!" gumam Melody.
Pintu di belakangnya terbuka, akan tetapi Melody tidak menyadarinya. Daniel berjongkok di sebelahnya dan ikut melihat ke arah apartemen sebelah, diikuti oleh Rosa dari belakang. Tatapan Rosa memandang rendah pada Melody.
"Mencontohkan hal seperti itu pada anak kecil, apa anda tidak punya rasa malu?" lontar Rosa tanpa menundukkan kepalanya sedikit pun.
Guru les itu sudah mengemas barangnya kembali dalam tas jinjingnya, tepat pukul satu siang ini waktunya les berakhir karena Daniel juga harus segera makan dan minum obat.
"Maaf?" Melody menyandarkan punggungnya pada dinding, memandang Rosa ke atas.
"Menguping pertengkaran orang lain," jelas wanita yang berdiri tegak itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments