Waktu berlalu cepat, Daniel kembali pada hari Seninnya, tak mau keluar dari selimut penghalangnya. Melody menaruh sepatunya di rak sepatu. Terlihat dari jauh Jamie merapikan kerahnya dan langsung memakai jas, ia tak pernah terlihat memakai dasi.
"Kondisi tubuh Daniel sepertinya mempengaruhi mood belajarnya," ujar Melody membuka pembicaraan.
Jamie duduk di pegangan sofa ruang televisi.
"Daniel sebelumnya tidak pernah mengeluh ingin berhenti les atau sekedar libur. Apa mungkin sebenarnya dia ingin tapi tak bisa? Setegas apa Emily padanya, saya tidak pernah tahu karena selalu sibuk dengan urusan pekerjaan," curhat Jamie.
"Jadi Daniel sudah mengungkapkan keluhannya?" tanya Melody.
Jamie hanya tersenyum hangat menatap Melody.
"Saya akan menghentikan les untuk saat ini, sampai Daniel pulih."
Jamie tidak menunjukkannya, tapi Melody bisa ikut merasakan kekacauan yang ada di dalam hatinya.
Entah sejak kapan Jamie menaruh kepercayaannya pada pengasuh putranya. Sedikit demi sedikit Melody mulai mengenal sosok sang ayah dari anak yang dia asuh.
"Kak Jamie ... jawab pertanyaan ku," pinta Melody.
Jamie hanya melengos masuk ke dalam kamar.
Tampilan luarnya menampakkan Jamie adalah seorang suami dan kepala keluarga yang tampan, keren, bertanggungjawab dan sayang pada keluarga kecilnya yang harmonis. Semuanya benar, tapi sisi lemahnya tidak pernah terlihat oleh orang lain, yang melihatnya hanya Melody seorang. Jika dia memang pria beristri, lantas dimana kasih sayang yang harusnya dia dapatkan dari seorang istri?
Tak ada waktu untuk berlarut dalam masalahnya, Jamie segera beranjak. Tanpa melewatkan satu kecupan untuk putra kecilnya yang masih dalam pelukan hangat kasur.
Melody menyusul pria kecilnya ke dalam kamar. Air hangat selalu membasuhnya setiap pagi, membuatnya semakin manja. Tapi tak apa, Melody melakukannya sepenuh hati agar pria kecilnya tidak merasa kedinginan.
Walaupun setelah keluar dari kamar mandi ia tetap menggigil karena perubahan suhu, Melody mengambil remote kontrol pendingin ruangan, lalu menaikkan suhu sedikit. Sesekali Daniel batuk mengeluarkan bercak darah, entah mengapa semakin sering.
"Semalam Dany meminjam hape ayah pas ayah sudah tidur," bisik Daniel saat dikenakan baju oleh pengasuhnya, padahal di rumah itu hanya ada mereka berdua.
Melody sontak terkejut.
"Hah? Apa yang kamu lakukan? Jangan mengurangi jam tidurmu, Dany sudah lupa lagi dengan yang kubilang kemarin?" Sedikit marah, tapi tetap merendahkan nada bicaranya.
Untungnya, Daniel juga memikirkan jam tidurnya.
"Tidak, ayah tidur jam delapan malam. Dany cuma bermain dua jam saja."
"Huft ..." Melody bernapas sebentar. "Kurangi. Kalau Dany mau meminjam hape ayah lagi, satu jam saja. Kapanpun ayahmu tidur, jangan menambah durasi lebih dari satu jam. Paham?" jelasnya.
Angguk Daniel, menurut.
Dari mulai masuk lobi, Rosa melempar senyum sana-sini pada orang yang berpapasan dengannya. Ia bisa mendadak menjadi orang yang hangat dan ramah jika suasana hatinya bagus.
Namun, senyumannya tak bertahan lama sampai ia mendapati pengasuh Daniel masih sama. Melody, wanita muda dan cantik.
Begitu pintu dibukakan, sebaliknya Melody berubah seratus delapan puluh derajat dari Senin sebelumnya, senyuman manis dari Melody sudah menyambut kedatangan Rosa.
Rosa membalasnya dengan senyum pahit, ia segera memasuki ruangan. Dengan perasaan kesal. Begitu masuk dalam ruang belajar, Rosa berteriak memanggil nama Melody.
Melody meninggalkan mesin penyedot debu dengan cepat bergegas ke arah Rosa berteriak. Melody sampai di ruang belajar, Daniel sudah terkapar di lantai.
Tangannya memegangi dada, kedua kakinya terus menendang-nendang, napasnya memburu dengan suara mengi. Rosa memanggil namanya, namun tak di sahut juga.
"A-a ... yah ... ay ... yah ..." suara Daniel tersendat-sendat.
"Sesak napas ... dudukkan Daniel di kursi, Miss. Saya akan menelepon kak Jamie," titah Melody.
Telepon tersambung kan, masih belum ada jawaban. Melody bersimpuh di depan Daniel, memberi arahan.
"Tarik napas dari mulut ... huft ... hahhh ..." Sambil mempraktikkannya.
Melody menutup matanya lalu berdoa pada Tuhan dalam hatinya. Ia menarik napas dalam-dalam upaya menenangkan dirinya sendiri. Dan masuk, Jamie menjawab panggilan Melody. Jamie cepat menangkap apa yang dijelaskannya, ia berkata akan pulang ke rumah dan membawa Daniel ke rumah sakit saat itu juga.
Dengan terburu-buru Jamie berlari sepanjang koridor, sampai di rumahnya ia segera masuk ke ruang belajar dan mengangkut putra semata wayangnya. Diluar dugaan Melody, Jamie datang sangat cepat. Pasti karena panik, pikir Melody.
Melody menoleh ke belakang, Rosa ternyata masih mengikuti sampai parkiran. Ia juga membawa tas jinjingnya.
"Miss pulang saja, sudah ada Melody yang membantu saya." Ujar Jamie sambil meletakkan Daniel di jok belakang agar bersama Melody.
"Tapi," ucapan Rosa terpenggal.
"Maaf Miss kita sedang buru-buru, tidak ada waktu untuk mengobrol," tajam Melody yang terlanjur emosi.
Semuanya masuk ke dalam mobil kecuali Rosa. Jamie keluar dari kawasan apartemen dan melaju dengan kecepatan tinggi, Daniel perlahan menjadi sedikit tenang di pangkuan pengasuhnya.
Kecepatan mobil turun lebih santai, Tercetak seringai licik di wajah tampan Jamie. Melody semakin dibuat bingung saat rumah sakit terdekat dilewati oleh Jamie, perasaannya tidak enak.
"Jadi kita mau kemana?" Jamie melirik pada cermin.
"Hah ..." Melody tersadar.
Ia tarik Daniel dari pelukannya untuk melihat kondisi napasnya. Bocah itu cengar-cengir, napasnya normal. Menganga lebar mulut Melody. Tak terima, Melody menurunkan Daniel dan menempatkannya tepat di dekat pintu kiri, sementara ia sendiri menempel ke pintu kanan dengan menyandarkan kepala di jendela kaca. Mulutnya manyun.
Sementara ayah dan anak di mobil itu tertawa jahat, Melody membisu sepanjang perjalanan. Mereka jadi merasa sedikit berdosa, Daniel mencoba mendekati Melody.
"Melly ..." rayu Daniel sambil mencolek colek tangan Melody.
Tak mendengar jawaban, Jamie gelisah.
"Sepertinya kita sudah kelewatan," ujarnya dalam hati.
"Ayah! Tadi Melody berhasil menyelamatkan aku, dia paham cara menangani sesak napas," ucap Daniel antusias.
"Benar begitu Melody?" sahut sang ayah.
Melody mengiyakan dengan singkat, tetapi Daniel tidak mudah menyerah.
"Melly pernah sesak napas juga, ya?"
Melody melirik, Daniel sudah menatapnya menunggu jawaban, Jamie pun melirik sesekali menunggu jawaban juga.
Ia menghela napas panjang.
"Sewaktu kuliah, aku pernah jadi petugas kesehatan."
Tak habis pikir, dirinya tertipu oleh akting anak kecil. Terlalu sulit untuk tidak percaya, dia akting lama sekali. Jamie datang secepat kilat karena sudah merencanakan semua ini dari awal. Semua kebingungan ini baru terjamah oleh Melody.
"Oh-my-god, kalau Little Guy tidak sesak napas betulan ..." Melody membalikkan badannya menghadap Daniel, lalu melanjutkan, "kamu akting bengek selama itu?"
Daniel mengangguk.
"OH, MY, GOD," pekik Melody.
Kekesalannya hilang, wanita itu tertawa. Menertawakan dirinya yang tertipu, juga memikirkan bagaimana pegalnya Daniel yang harus berakting sesak napas. Memburu napasnya sepanjang waktu.
"Kalau sesak napas betulan, Daniel pasti menangis." Informasi baru untuknya dari Jamie.
"Ha-ha-ha, ampun deh." Tawa Melody berhenti sampai disitu.
Melody tetap tidak setuju dengan ide mereka.
"Kalian berdua dengarkan aku, ya. Jangan mengulangi hal seperti ini, bukan karena aku punya riwayat jantung atau apa, kamu akan sesak napas betulan jika berakting jangka panjang seperti itu."
"Kambuh lagi ceramahnya," ujar Daniel dalam hati sambil memutar bola matanya.
Sambil tersenyum Melody berkata,
"Cobalah berakting seperti itu lagi di depanku, aku akan memberimu es krim mangkok kecil rasa stroberi." Persis dengan es krim yang dia berikan pada detik-detik sebelum masuk rumah sakit.
Daniel terperanjat mundur lalu berpindah ke jok depan di sebelah ayahnya. "Ayahh ..." rengek Daniel.
Punggung tangan Jamie dipakai untuk menutupi mulutnya yang menahan tawa, walau gigi rapinya masih terlihat dari belakang. Melody diam-diam memerhatikan senyuman indah itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments