Tok tok
Ketukan pintu. Jamie memanggil nama Daniel dari luar sana, Melody menaruh ponsel Jamie di lantai dekat tembok. Daniel khawatir persembunyian itu akan mudah ditemukan. Ayahnya sudah menekan gagang pintu. Tak sempat jika harus memindahkan, bocah itu menyepak ponsel Jamie ke kolong rak buku yang sialnya terlalu keras.
"Dany? Oh, kamu sudah bangun, kenapa diam saja saat dipanggil?"
"Tidak dengar, Dany baru bangun sekarang," dalih si bocah.
Jamie melirik pada Melody, tatapannya meminta penjelasan.
Melody melanjutkan tipu muslihat bocah itu, "waktu Kakak panggil Dany, Dany masih tidur jadi aku bangunkan dia."
Jamie berniat membangunkan Daniel pada awalnya, ia menutup kembali pintu dan kembali ke dapurnya. Melody memprotes perbuatan Daniel yang sia-sia, tanpa dia melakukan itu pun tempat Melody menaruh ponsel adalah titik buta Jamie. Bocah itu mengakui bahwa dia terbawa panik.
Merunduk tubuhnya, tangannya yang cukup panjang meraba-raba kolong rak. Cukup jauh, Melody harus memasukkan seluruh lengannya hingga pundaknya menjegal. Untungnya dia mendapatkan ponsel itu, dengan bantuan Daniel yang memantau menggunakan senter dan mengarahkan.
Ditepuk halus ponsel itu untuk menyingkirkan debu, tak cukup Melody meniupnya. Daniel membuka pintunya, keluar mencarikan tisu. Suara derik pintu menggoncang jantungnya, Jamie kembali ke kamar Daniel. Melody berusaha menyembunyikan ketegangan yang dirasakannya ketika Jamie bertanya apa yang sedang dia lakukan.
"Ambil hape." Melody menunjukkan layar ponsel yang dia ambil barusan.
Tidak seperti yang Melody takutkan, Jamie menghiraukan persoalan ponsel, ia justru ingin mengatakan, "kopi kamu sudah siap di meja, ayo sarapan," ajak Jamie.
Jamie tak sadar untungnya. Daniel dengan mudah mengembalikan ponsel itu ke tempat asalnya.
Melody menyeruput kopinya. "Kakak sering olahraga?"
"Iya, kalau tidak kesiangan," balas Jamie, sarapan paginya telah habis dilahapnya.
Pertanyaan yang tidak perlu dia tanyakan sebenarnya. Serat otot yang dibungkus kulit berurat terlihat jelas di seluruh badannya tadi pagi. Jelas bukan muncul tanpa sebab apalagi bawaan lahir.
Gemuruh petir samar terdengar, tapi langit belum menurunkan setetes pun air hujannya. Jamie membawa sebuah payung sebagai antisipasi, dengan langkah cepat dia berjalan menuju mobilnya di parkiran.
Daniel menyibukkan dirinya berkutat pada buku bank soal, kertas-kertas yang diberikan Rosa Senin lalu selesai dikerjakannya. Tak Melody sangka, guru itu memberi begitu banyak tugas untuk dikerjakan seminggu. Jika ini keinginannya, "mengapa kamu tidak menikmatinya?" kata-kata Melody keluar begitu saja.
Fokus anak itu tidak terpengaruh sedikitpun, meski dia mendengarkan dengan jelas. Tugasnya saat ini lebih utama dari obrolan Melody yang tidak penting.
......................
Terasa begitu lambat Rosa mengajar. "Dari menit ke jam seperti dari hari ke bulan," gumam Melody sembari sesekali menyesap sebatang tembakau diantara dua jari lentiknya.Tanpa sengaja seorang gadis kecil menghirup asap yang disebabkan oleh Melody, di kawasan bebas merokok.
Langkahnya riang saat menapaki kawasan itu, tak lebih lama setelah mengedarkan pandangannya, pipi tembam nya turun bersamaan dengan kedua ujung bibirnya.
"Tidak ada papa," ucap si gadis kecil lantang.
Keriting spiral di rambutnya masih nampak di ujung kepangan imutnya. Yang Melody heran, poninya tidak ikal sama sekali. Lilitan bando pita di puncak kepala gadis kecil bernama Natasya itu menarik perhatian Melody, menonjolkan motif bunga bakung laba-laba merah.
"Mbak baby sis-ter Daniel, kan?" tanya Natasya.
Tangan Melody bergerak mengibaskan asap rokoknya yang dihirup anak kecil itu, tapi anak itu sendiri tidak bereaksi apapun.
Dia ini perokok pasif?
"Pengasuh, bukan baby sis-ter." Melody mengeja kembali persis seperti Natasya, bola matanya memutar malas.
Efek dari kekurangan tidur bisa mengubah Melody menjadi kulkas berjalan, apalagi berinteraksi dengan orang yang tak dikenalnya. Ia pun tengah memikirkan bagaimana agar dia bisa tidur siang ini. Matanya melirik beberapa kali ke arah Natasya berdiri, Natasya tak beranjak dari sana. Hanya diam dan memperhatikan.
Kukira dia akan cerewet, jangan-jangan dia diam begitu gegara kata-kata ku tadi?
Melody teringat kembali. Saat anak ini melihat Daniel dia langsung bersemangat menyapanya, "Natasya tertarik dengan Daniel tapi bocah itu sok jual mahal," gumamnya dalam hati.
Seorang wanita tampak tergesa-gesa mencari putrinya, riasan di wajahnya luntur. Gaun formal yang dipakainya terlihat elegan dan berkelas membuat pergerakannya tubuhnya terbatas. Dinar, ibunda si gadis kecil itu melihat putrinya berhadapan dengan wanita tinggi, wajah wanita asing itu tak terlihat karena dari sudut samping, terhalang oleh rambutnya.
Melody membungkuk menyamakan tingginya dengan Natasya, sebatang rokok diantara jari-jarinya semakin meresahkan Dinar.
"Anak cantik, kamu mau tidak ikut dengan kakak? nanti kakak kasih es krim rasa stroberi," ujar Melody. Berniat membawanya agar main bersama Daniel, sementara dia tidur siang.
Terdengar jelas di telinga Dinar, ia sontak gelagapan, "To-tolong! Penculik! Wanita ini mau menculik anak saya!!"
Dinar kembali tenang mengetahui wanita yang dia kira penculik adalah pengasuh Daniel, anak tetangganya. Melody berjongkok, menekan ujung tembakau yang menyala pada tanah. Permintaan maafnya tersampaikan dengan baik, Dinar tidak mempermasalahkan asap rokok yang dihirup putrinya tadi.
"Mas Alan juga perokok, dia sudah biasa dengan asapnya di rumah, jangan dipikirkan," ujar Dinar.
Gadis kecil yang digenggam Dinar terus memasang pada Melody, sedang ia tak mengerti apa yang ingin anak kecil itu sampaikan dengan tatapan matanya.
Mereka telah sampai di depan apartemen Dinar dan Daniel, sang ibu berniat mendandani putrinya agar ikut ke acara. Tapi kemudian Natasya mengunci kakinya, tidak mau bergerak masuk. Melody yang hendak membuka pintu pun terhenti langkahnya.
"Cepat, nanti kita terlambat!" bentak Dinar mulai kesal.
Mulut Melody bergerak dengan sendirinya, "Natasya mau main sama Daniel, Tante! Mereka sudah janjian."
"Benar?" Dinar mengangkat alisnya, nada bicaranya kembali turun.
Natasya mengangguk senang, makin terlihat manis gigi gingsul itu menebar tawa yang polos. Dinar pun walau berusaha tak memperlihatkan, tetap terbaca jelas oleh Melody jika dia senang anak ini tak ikut ke acara bergengsi nya.
Wanita bertubuh 155 sentimeter itu masuk ke dalam rumahnya, meninggalkan putrinya diluar. Lalu kembali membawa alat teknologi medis kecil, diletakkan beda itu di telinga kanan Natasya.
Melody termenung, menemukan alasan anak itu tidak menjawab ucapannya sewaktu di kawasan bebas merokok. Saat dia mendekat tepat di depan wajahnya, barulah anak itu menjawabnya.
Sang ibu sudah pergi, sekarang Melody tengah menggenggam tangan kecil milik anak orang lain lagi. Ia bertanya kepada dirinya sendiri, ulah apa lagi yang akan dia perbuat pada anak baru ini?
Keduanya mematung di depan pintu, sampai Natasya menggerak-gerakkan kakinya, tangannya mencengkram.
"Mbak, mau pipis ...."
Tanpa ragu lagi Melody membawanya masuk ke rumah Daniel, dia sungkan masuk ke rumah orang lain. Natasya melakukan urusannya di toilet, Melody menunggu di depan pintu. Tanpa sadar, waktu terlewat cukup lama, Rosa tampak berkemas dan pulang. Sorot matanya pada Melody tak berubah, masih memandang rendah.
Daniel menghampiri sang pengasuh, saat itu juga pintu toilet terbuka, Natasya selesai dengan urusannya. Dua bocah itu memandangi satu sama lain.
"Daniel, ayo menggambar!" gembira si gadis kecil.
Bocah satunya tampak ogah' dan tidak mengatakan apapun. Dia malah lari ke belakang Melody, dan bertanya kenapa Natasya ada di sana.
"Dany takut sama dia? Katanya dia saingan mu, bagaimana sih?! Masa takut ..." ledek Melody memindahkan posisi tubuhnya.
Daniel tak bisa sembunyi lagi, Melody berjongkok menyamakan tingginya dengan anak-anak. Jika dilihat dari bawah, Natasya sedikit jauh tingginya di atas Daniel.
"Aku tak pernah lihat Dany menggambar," bujuk rayu Melody melingkarkan tangannya di kaki Daniel.
"Dany tidak punya alat menggambar," gumam Daniel pelan, tepat di daun telinga Melody.
Sementara si gadis kecil hanya diam memperhatikan kehangatan interaksi antara Daniel dan sang pengasuh, dalam hatinya ada rasa kagum dan iri di waktu yang sama.
Melody melirik padanya sambil tersenyum, "Natasya, kamu mau kan pinjamkan alat gambar mu pada Daniel?"
"Iya!!!" lantang Natasya.
Buku gambar dari yang kecil sampai ukuran besar dibawa olehnya ke rumah teman barunya itu, dengan pensil-pensil dari berbagai merek dengan rautan kasar, dan tentunya favorit semua anak kecil yaitu krayon dan pensil warna, semuanya masuk ke dalam kotak besar menyerupai koper versi mainan.
Daniel selalu berusaha berkompetisi dengannya, anak sekolah dasar kelas dua itu selalu dibuat tertawa oleh kelakuan Daniel yang sok pintar di depannya.
Rintik air yang turun ke tanah melahirkan aroma yang khas, makin lama hujan semakin deras. Dua bocah itu akhirnya bermain bersama. Disaat Melody seharusnya mengawasi, ia terlelap di atas sofa karena merasa sudah tenang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments