Api sudah padam, Melody dengan mata sembab dan hidung semerah rebusan tomat mulai kedinginan dan kembali masuk ke dalam rumah. Tak lupa mengunci rapat pintu, ia kantongi kunci itu agar dua adiknya tidak minggat.
Ia duduk di ruangannya menatap layar monitor, matanya kebocoran air lagi. Ia hendak mematikan semua perangkat keras, tapi anak itu mengirimkan tugas-tugasnya saat itu juga. Perasaan Melody tidak enak.
"Bocah, aku sedang tidak mood. Tenggatnya masih lama, kan?" ucapnya sambil mengetik, bertanya hal yang sama tapi dengan kata-kata yang lebih sopan.
Kau punya mata tidak? Aku sudah kirimkan tenggatnya, aku katakan sekali lagi TENGGATNYA BESOK, BESOK PAGI.
Besok pagi, sungguh gila, pikir Melody. Jadi dia harus begadang padahal besok harus mengasuh, ditambah suasana hatinya yang sedang gundah.
Melody dibuat terkejut lagi, soal yang dikirimkan bukan yang diberikan Rosa Senin lalu. Melainkan dua bab uji kompetensi dari buku bank soal, buku yang pernah Melody lihat di hari pertamanya mengasuh.
Rasa penasaran itu dia simpan, waktu yang ada tidak boleh disia-siakan. Hanya soal sekolah menengah bukan masalah besar, jumlahnya yang tidak masuk akal untuk dikerjakan semalam.
"Haruskah aku memanggil jin-jin?" ujarnya pada diri sendiri. Jika bisa, ia akan memanggil para jin yang membangun Candi Prambanan saat itu juga.
Mengerahkan seluruh pikiran dan hati menyelamatkan Daniel dari gurunya yang tidak berperikemanusiaan, sekejap ia lupa dengan patah hatinya.
Ayam berkokok, langit masih gelap, Felicia tidak menemukan kakaknya di ruang tengah. Ia lanjut mencari ke ruangannya, Melody tengah tertidur dalam posisi duduk dan kepala di atas meja.
"Dia sempat mematikan komputer tapi terlalu malas untuk berpindah ke atas kasur?" gumam Felicia.
Melody masih mengantuk, punggung tukang ojek pun dia jadikan sandaran, untung masih muda. Mungkin tukang ojek ini kesenangan.
"Pegangan ke pinggang saya aja mbak, nanti jatuh," teriak sopir.
Nyaring di telinga Melody yang tengah sensitif terhadap suara dan sinar matahari, dia tak pedulikan siapa yang menyetir di depan dan memeluknya bak sepasang kekasih yang dilanda cinta.
"Ongkosnya berapa? Saya lupa." Melody merogoh tasnya.
Sopir ojek itu terlihat bingung. "Kan sudah mbak, di aplikasi," ujarnya sambil tersenyum.
"Ooh, iya, Mas ganteng kalau senyum," ucap Melody membalas senyumannya lalu pergi.
Setelah dipikirkan, ia datang terlalu awal. Kawasan gedung masih sepi, begitupun jalanan yang tidak terlalu ramai. Awan mendung tiba tepat setelah dia sampai, sinar matahari menyertainya sepanjang perjalanan tadi.
"Sialan kau cuaca," umpat Melody pelan.
Tanpa mengetuk pintu lagi, Melody masuk begitu saja. Benar, masih terlalu pagi, Jamie masih mengenakan kaus. Pria itu tengah meneguk botol besar air mineral sambil berdiri, Melody melihatnya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Bola mata Jamie melirik, diperhatikan secara terang-terangan membuatnya tidak nyaman. Ia berhenti meneguk air, tetesan air mineral di sekitar mulutnya ia usap dengan punggung tangannya.
Memakai celana olahraga, handuk kecil terlilit di lehernya, dan sekali lagi tanpa kacamata. Jika dilihat lebih teliti, seluruh badannya mengkilap oleh keringat.
"Me-lo-dy," tutur Jamie.
Melody tertegun, ia menguap. Tak tertahankan, kesadarannya kembali bersamaan dengan rasa kantuknya. Melody mengedip beberapa kali dengan cepat.
"Daniel masih tidur, ya?" tanya Melody berbasa-basi.
Jamie mengiyakan, tapi tak di simak dengan baik oleh Melody. Sebenarnya ia pun tak ada niat bertanya sama sekali, sepasang matanya sedang menikmati roti yang menerawang dari balik kaus itu sebagai sarapan paginya.
Jamie menawarkan kopi padanya, tiba-tiba dia sudah ada di depan Melody saja. Tinggi pria itu 8 sentimeter di atas Melody, tak berani ia melihat ke atas. "Bo-boleh," kata-kata itu keluar begitu saja.
Jamie berbalik, ia berjalan ke arah dapur. "Nanti ya, saya mau mandi dulu."
Angguk Melody yang tentu saja tak bisa dilihat oleh Jamie, ia kemudian melangkahkan kakinya menuju kamar Daniel. Baru saja ujung jarinya menyentuh pegangan pintu, pegangan itu turun kebawah. Melody membungkuk menyamakan tingginya dengan Daniel, ia mengangkat kedua tangan menyerupai kucing.
"Graawrr!" sambar Melody.
Daniel sontak memekik terkejut, ia menahan mulutnya dengan dua tangan kecilnya agar berhenti. Anak itu kemudian mengepalkan tangan dan mendaratkan pukulan di lengan pengasuhnya.
Terlihat Daniel masih marah, tapi ia meninggalkan Melody di sana dan pergi ke kamar Jamie. Lambaian tangan kecilnya mengisyaratkan, Melody dengan cepat menyusulnya. Daniel mengambil ponsel yang dia gunakan semalam di kamar itu, terlihat ia mengotak-atik benda canggih itu sebentar, lalu diberikan ke telapak tangan Melody.
"Kau mau mengirimkan ini semua padaku lewat Wea?" tanya Melody berusaha menangkap yang dimaksud bocah tersebut.
"Ya, masukan nomor hape mu, habis itu hapus riwayat obrolan dan kontak mu," tutur Daniel memerintah.
Daniel duduk di sebelah pintu kamar mandi menempelkan telinga di tembok, mendengarkan gerak-gerik ayahnya. Percikan-percikan air mulai terdengar, Jamie mulai membasuh tubuhnya. Daniel memperkirakan waktu mereka masih banyak, tapi ia tak boleh lengah dan terus menempelkan telinganya.
"Hanya essai? Bagaimana dengan pilihan ganda?" Melody memegang bahu Daniel dengan panik.
Samar-samar wanita itu mendengar suara guyuran air dari dalam kamar mandi, pipinya memerah, otak kanannya bekerja beriringan dengan otak kiri mesumnya yang tak bisa ia kontrol.
"Dany sudah mengingat semuanya, kecuali essai, hebat kan?" sombong Daniel.
Melody tersenyum sambil mengangguk setuju, Daniel benar-benar orang yang narsistik. Tapi kecerdasannya terbukti, bukan hanya bualan semata. Dirinya merasa akan sangat bangga jika punya anak genius seperti Daniel.
"Bangga?" batinnya.
Begitu mengingat akan dirinya sendiri di masa lalu, senyumannya padam. Perasaan berdosa dan simbah darah seperti membanjiri tangannya kembali. Seluruh tubuhnya membeku saat itu juga, jari-jarinya pun berhenti bergerak.
Sudah terlewat beberapa menit, Jamie berhenti mengguyurkan air. Menurut dugaan Daniel sang ayah sudah selesai, Daniel mulai panik.
"Ayah sudah selesai, dia akan segera keluar. Sudah selesai belum, sih? Lama sekali!" Ia melirik ke arah pengasuhnya yang mematung.
"Melody? Melody!" bisik Daniel, "selesaikan cepat!"
Daniel mengguncang guncang tubuh Melody, ia tak tahu Melody sudah menyelesaikan pekerjaannya atau belum. Wanita itu menoleh padanya dengan tatapan mata yang kosong.
"Hiiii!!" pekik Daniel pelan, "seram!!" batinnya.
Tapi tidak lebih seram dari amukan ayah jika tahu aku dan Melody menyentuh hape ini! Kita harus keluar!
Daniel bangkit dan mengerahkan seluruh tenaganya menarik tangan Melody, wanita itu tersadar namun terlihat linglung. Ia pun bangkit menuruti bocah itu, lalu keluar dengan ponsel yang masih digenggamnya.
Sang ayah keluar dari kamar mandi dengan balutan handuk di bawah pusarnya, terdengar grasak-grusuk tapi tak ada siapapun di sana. Pintunya menampakkan segaris cahaya dari luar kamarnya yang gelap, siapa yang membuat celah itu? Tentu saja Daniel, siapa lagi? pikir Jamie.
Ngos-ngosan mereka berdua begitu sampai di kamar Daniel. Melody sudah kembali seperti semula, Daniel mengambil ponsel yang dipegang Melody. Melihat aplikasi yang digunakan Melody untuk mengirimkan jawaban essainya. Di sana tak ada tanda-tanda Melody sudah melalukan pengiriman gambar, nomornya pun tak ada, hanya bekas-bekas obrolan pribadi Jamie dengan orang lain.
"Mana? Kamu belum melakukan apapun dari tadi?" tagih bocah itu.
"Aku sudah melakukan semuanya, sudah ku hapus juga jejaknya," terang Melody wajahnya seperti tanpa dosa.
Alis Daniel nyaris menyatu, kali ini Daniel merasa Melody memang benar-benar orang bodoh yang kikuk. Tanpa tahu serangan batin yang dialami Melody barusan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments