Di tempat Melody, matahari belum terlihat, tapi sudah mengeluarkan sinarnya. Melody masuk ke dalam rumah dimana ia tinggal bersama dua adik tersayangnya.
Dari pintu utama, sudah terlihat Felicia begitu lama memperhatikan lembaran buku-buku. Dia duduk di lantai masih berbaju tidur, sangat fokus. Melody membiarkan dia, dan pergi ke kamar Rudy yang hanya dua langkah dari pintu utama.
Melody menepuk-nepuk punggung besar adiknya, Rudy. Berbalik Rudy, mendapati kakaknya sudah ada di sana. Rudy tersenyum lebar, pipinya terlihat semakin bulat dan mengembang dengan mata sipit yang hanya terlihat segaris.
Melody mengangkat tangannya yang memegang satu susun rantang.
"Bangun, waktunya sarapan."
Akhirnya anak tembam berusia tiga belas tahun itu bangun dengan bersemangatnya. Felicia pun mendengarnya, lantas dia masuk ke kamar Rudy.
"Kakak udah pulang, kok gak bilang," timpal gadis remaja itu di pintu.
"Kamu sibuk belajar, ujian ya? Makan dulu, Fel." Melody bangkit dan keluar dari kamar Rudy lalu meletakkan rantang stainless itu di meja.
"Kak, ada yang mau aku tanyain!" ujar Felicia.
Menyusul Melody yang hendak ke kamar mandi. Melody menoleh dan menyimak sebentar. Ada materi yang tidak Felicia mengerti, kakaknya meluangkan sebentar untuk menjawab pertanyaan dari sang adik.
Felicia bisa mendapat berbagai prestasi di sekolahnya, karena kepintarannya yang murni hasil usaha dan ajaran dari seorang tutor yang hebat, yaitu Melody. Sebuah hak istimewa yang selalu dia syukuri.
Selesai mengajarinya, Melody kembali ke belakang untuk mandi. Felicia mengecek catatan memo nya yang berisi tentang hal-hal penting atau materi yang tidak dia mengerti, ternyata masih ada persoalan lain yang harusnya Felicia tanyakan tadi. Ia melirik kamar mandi beberapa kali, sudah cukup lama. Gadis itu memutuskan untuk mengecek.
Baru sampai di ruang televisi, ternyata Melody sudah ambruk tertidur di atas kasur busa sana. Rambutnya masih basah, pakai celana sepaha dan tank top.
"Mengurusi anak orang lain, padahal adik sendiri tidak terurus!" decak sebal Felicia.
Rudy di belakangnya tiba-tiba membantah tak terima, "kak Melody kan cari uang buat kita!"
Perkataan Rudy tidak salah, Felicia sendiri sudah sadar akan hal itu. Dia hanya ingin melampiaskan kekesalannya. Hanya Melody orang dewasa yang dia miliki, satu-satunya tempat bergantung. Siapa yang akan memberi perhatian padanya jika bukan Melody?
......................
Hari Sabtu dan Minggu bukan waktu untuk bersantai, tapi mencari pundi-pundi uang dari cara lain. Tugas-tugas para pelajar dan mahasiswa yang masuk ke dalam orderannya, dikerjakan oleh Melody di hari-hari itu.
Jasa joki Melody sudah dikenal banyak di kalangan pemalas, anak orang kaya, atau artis terkenal yang masih muda. Bahkan memiliki situs tersendiri yang berjudul "Anak Genius".
Di hari Minggu kali ini kerjaannya baru beres tengah malam, tugas remedial siswa-siswi panen di minggu-minggu sekarang ini.
Selesai merapikan buku-buku dan menumpuk beberapa ratus lembar makalah, Melody mematikan monitor komputer lalu mencabut colokan kabelnya dari stop kontak, tak lupa ia mematikan mesin pencetak yang habis dia gunakan.
Melody menekan saklar lampu menjadi gelap, ia keluar dari ruangan itu. Yang harusnya menjadi kamarnya, Melody memilih ruang televisi untuk tempat tidurnya. Wanita itu pergi melihat Felicia sebentar, tak disangka dia masih berkutat dengan lembaran-lembaran kertas.
"Bukannya ujian sudah selesai? Kamu remedial?" ujar Melody.
Sontak Felicia terkejut dengan kedatangannya, ia menutupi buku-bukunya dengan tangan. Mengabaikan pertanyaan sang kakak.
"Kak Melody baru beres? Kenapa gak langsung tidur aja." Felicia melihat ke arah lain.
"Iya, lihat kamu dulu. Kamu gak butuh bantuan Kakak, nih?" tawar Melody, ia masih kuat jika harus begadang satu atau dua jam pun.
Felicia mengangguk, wajahnya seperti tak mau menatap kakaknya. Melody pun langsung pergi setelah mengucapkan selamat malam pada adiknya.
Mungkin dia sedang puber
Sebuah perkiraan yang amat keliru, sulit membaca pikiran seorang remaja yang pandai menutupi masalah. Tak ada bedanya dengan dirinya sendiri saat ini.
Keesokan harinya, Melody kembali memasang tampang seperti orang bodoh di depan majikan kecilnya, Daniel Marcelino Gray. Yang tampak seperti hari Senin sebelum-sebelumnya, lesu karena hari les tiba.
Jamie grasak-grusuk mempersiapkan dirinya untuk pergi bekerja, ia terus-menerus melirik pada jam kecil yang terpasang di lengannya. Karena sebegitu telatnya, Jamie memasakkan omelet hanya untuk anaknya seorang, waktu tak terkejar jika memasak untuk dirinya dan Melody juga.
Obat-obatan Daniel diserahkan pada Melody, dan anehnya anak itu tidak rewel. Menurut saja. Bagaimana tidak, dia sendiri yang membisukan nada dering alarm ponsel ayahnya.
"Bagus, sesuai rencana," ucap Daniel dalam hati, ia duduk dengan pengasuhnya di kursi makan.
Melody melirik pada Daniel yang senyam-senyum melihat kerusuhan ayahnya sendiri, ia lanjut menghaluskan obat. Daniel meminumnya satu persatu. Nyaris semuanya diminum, hanya tersisa satu tetapi Melody masih belum menghaluskan yang satu itu. Wanita itu menyodorkan pil obat yang masih utuh bentuknya pada Daniel, anak itu jelas menciut dan mundur.
"Haluskan!" sanggah Daniel.
"Ayolah, kamu pasti bisa. Caranya gampang, taruh di lidah lalu alirkan ke tenggorokan mu menggunakan air ini." Melody mengangkat segelas air bening di genggamannya.
Dari belakang Melody, Jamie terlihat mengangguk setuju pada putranya. Perasaan takut, namun juga tertantang di waktu yang sama. Daniel menyambar pil utuh di atas telapak tangan pengasuhnya dengan kasar, ia meletakkan benda kecil itu di lidahnya, ada pahit yang menusuk tapi dia sudah biasa. Melody memegangi gelas air bening, membantunya meminum seteguk untuk menghanyutkan pil.
"Fwahh!!" lidahnya keluar, bereaksi pada benda pahit yang mengalir melalui tenggorokannya.
"Hahaha," tawa Melody, bertepuk tangan merayakan.
Anak itu dengan polosnya melongo sebentar lalu melompat-lompat kegirangan sedetik kemudian, ia berlari menuju ayahnya. Melody berbalik, terkejut ternyata ayah si anak ini melihat sedari tadi, ia merasa tidak enak.
"Ayah, aku sudah bisa minum pil utuh!" seru Daniel.
Jamie menggendongnya.
"Bagus, bagus, mulai siang nanti jangan dihaluskan lagi, ya."
Melody menenggak ke atas. "Hehe, maaf ya, Kak."
"Tidak, justru bagus, teruslah ajari dia melakukan sesuatu sendiri seperti ini." Jamie membawanya sampai depan rumah.
Les masih diadakan atas keinginan Daniel sendiri, Jamie sudah menawarkan libur tapi ditolak olehnya. Masih guru yang sama, Rosa.
Untuk Senin kali ini, Rosa memberi materi-materi ringan atas permintaan dari ayahnya, Jamie. Meski terhalang oleh jarak, Emily bertindak. Memerintahkan agar memberi Daniel soal pekerjaan rumah yang banyak.
Rosa sama sekali tidak keliru mendengar perintah dari Emily. Dia sungguh memberikannya, tiga puluh soal kepada anak berusia tujuh tahun, untuk dikerjakan satu pekan.
Guru itu sudah pulang, tapi stress Daniel tak ikut pulang dengan si guru. Nyaris semua soal yang diberikan terlalu berat bahkan untuk anak genius sepertinya, Daniel menikmati semua soal itu sewaktu masih sehat.
Tubuhnya yang sekarang tidak se-bugar saat dia masih bebas dari penyakit, kepalanya seringkali sakit dikala terlalu banyak berpikir.
Daniel hanya bisa pasrah dengan mengerjakan semuanya satu-persatu mulai dari saat itu juga. Anak itu meraut pensilnya, dengan tenaganya yang lemah.
Di sebelahnya, Melody merogoh saku celana, mengambil ponsel.
"Little Guy, aku punya saran bagus."
Ketertarikan Daniel beralih begitu saja ketika sang pengasuh mengeluarkan ponsel pintar miliknya. Ia menaruh pensil serta rautan nya di atas meja belajar, lalu duduk anteng menunggu kata-kata Melody seperti anak anjing.
"Ada sekelompok orang yang menawarkan jasa mengerjakan tugas, kamu bisa menggunakan mereka," terang Melody.
Wanita itu membukakan sebuah situs di ponsel pintar-nya, Daniel menempel pada tangannya agar bisa ikut melihat. Tertegun anak itu ketika melihat judul situs.
Pertanyaan paling pertama yang dia pikir, "situs berbayar?"
"Oh, iya berbayar, tapi ada kode voucher untuk pengguna pertama. Dengan voucher itu Dany tak perlu membayar sepeserpun!" jelas Melody dengan semangat.
"Buat apa Dany pakai jasa begituan. Dany gak butuh, Dany bisa mengerjakan semua ini!!" tegas Daniel.
"Ya, tidak apa-apa." Melody tetap santai dan tidak memaksa, ia bangun mencari-cari sesuatu. "Kamu tidak punya memo?"
Diberikan ponsel pintar Melody pada Daniel, sementara pemiliknya keluar dari ruang belajar. Meski menolak, Daniel tidak merasa keberatan untuk sekedar menelusuri.
Sedang asyik-asyiknya mempelajari cara kerja situs joki tersebut, tiba-tiba layar berganti menjadi panggilan dari seseorang, nada dering nya senyap. Tertera nama "Glenn" membuat Daniel lebih memilih tombol merah, jejak panggilan pun ia hapus.
Kemudian mendarat dua pesan di kotak pesan. Melody tak kunjung kembali, Daniel baca pesan itu kalaupun ketahuan Melody, dia tak masalah. Tapi pada akhirnya anak itu membuang semua pesan dari sang mantan ke tong sampah.
Melody kembali masuk ke ruang belajar membawa memo kecil di genggamannya, lalu mendudukkan diri di dekat meja tempat Daniel belajar. Menggunakan pensil yang diserut Daniel barusan, Melody menulis sebuah tautan dan kode voucher di memo kecilnya, kemudian dia robek.
"Ambil saja, tidak usah di akses kalau tidak butuh," ucap, senyum rayu Melody, menyodorkan selembar kertas kecil.
Daniel mengambil kertas itu, tanpa punya niat untuk menghampiri sedikitpun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments