Bab 19

Aku merasakan gerakan dan tendangan dari dalam perutku. Aku mulai menghapus air mataku. Pikiranku kembali memikirkan tentang bayiku. Apa yang akan aku katakan nanti ketika dia bertanya tentang ayahnya. Aku juga masih tidak habis pikir tentang alasan Dimitri mengkhianati aku.

Ingatanku kembali melayang pada semua momen manis yang aku alami bersama dengan dirinya. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana caranya menyentuhku. Aku masih mengingat bisikan cintanya di telingaku. Apakah dia sengaja membohongi diriku? Apakah pengakuan cintanya hanyalah omong kosong belaka? Apakah selama ini ia memang tidak pernah mencintaiku? Semua pertanyaan itu seolah menggerogoti pikiran dan jiwaku.

Aku memeluk tubuhku yang saat ini menggigil karena kesedihan yang begitu mendalam. Bagaimana mungkin diriku begitu dibutakan oleh cintaku? Kini aku menjadi orang asing di dunia yang baru. Dunia yang tidak akan menerima diriku seutuhnya.

Ingatanku kali ini melayang pada kakakku. Bagaimana kabarnya dia saat ini? Mungkinkah dia sedang mengkhawatirkan diriku? Atau mungkin dia sedang berlatih memanah seperti yang aku perintahkan dalam isi surat terakhir ku untuknya.

Aku juga mengingat dengan jelas wajah ayah dan ibuku. Hatiku begitu sakit ketika aku membayangkan betapa mereka kecewa pada diriku. Aku tidak bisa memenuhi harapannya untuk menjadi penyihir terkuat di istana.

Kemudian bayangan terakhir yang paling menyakitkan adalah bayangan wajah Abigail yang sedang sekarat di telapak tanganku. Ia rela menyebrangi dinding pembatas demi diriku. Ia mati demi aku. Apa yang akan Abigail lakukan seandainya ia masih hidup dan berada di sisiku saat ini. Mungkin ia akan bernyanyi untuk menghiburku.

Semua yang aku miliki telah hilang. Aku bagaikan seorang pengelana yang kini telah kehilangan arah. Aku tidak tahu apa yang akan kehidupan berikan padaku setelah ini. Kini satu-satunya alasan ku bertahan hidup hanya karena bayi yang sedang aku kandung.

Aku berjalan mendekati jendela kamarku. Jendela ini mengarah langsung ke arah hutan. Aku menatap ke kejauhan. Di sana, terletak hutanku. Aku merindukannya. Apakah masih akan ada kesempatan bagiku untuk memetik bunga emas kesukaanku? Mungkin itu adalah harapan yang tidak akan pernah terjadi lagi.

Aku melipat kedua tanganku di depan dada dan masih tetap memandang ke kejauhan. Aku membiarkan angin membelai tubuhku dan mengibarkan rambutku. Dulu, ketika sedang tinggal di hutan, aku sering berlari sambil membawa busur panahku.

Aku menatap ke atas dan mendapati rembulan bersinar terang. Aku begitu menyukai kilaunya. Aku berdiri di sana entah untuk waktu berapa lama. Perhatianku teralih ketika aku mendengar suara ketukan di pintu kamarku.

Aku menoleh ke arah pintu.

"Masuklah!" ujarku.

Pintu itu terbuka dan menampakkan kakakku yang sedang berdiri di samping Rose. Mataku membelalak kaget. Aku segera berlari dan menghambur ke dalam pelukannya.

"Eldrin!"

Kakakku memelukku begitu erat. Aku seakan tidak percaya dengan apa yang terjadi saat ini. Aku melepaskan pelukannya dan menatapnya dari ujung kepala sampai kaki.

"Bagaimana kau bisa ada di sini?" tanyaku dengan raut wajah tak percaya.

"Kau pikir kau bisa menghilang begitu saja?" Dia membalas pertanyaanku dengan pertanyaan lain.

Aku menunduk lemah.

"Ayo anak-anak kita berbicara di ruang tamu saja!" Suara Rose seperti seorang ibu yang begitu protektif terhadap anaknya.

Aku dan Eldrin saling berpandangan dan mengikutinya ke ruang tamu. Kami bertiga berkumpul di sana dengan canggung. Aku masih belum mengerti kenapa Eldrin bisa sampai di sini dan bagaimana caranya ia pergi meninggalkan istana dan menyebrangi dinding pembatas tanpa diketahui oleh siapapun.

"Eldrin, aku masih tidak percaya kau benar-benar ada di sini!"

"Memangnya kau pikir hanya kau saja yang bisa kabur dari istana?" Ia mendengus kesal.

"Aku minta maaf. Tapi aku harus melakukan ini." Aku menunduk memandangi kedua tanganku.

"Kenapa kau tidak memberitahuku?" Kali ini suaranya penuh prihatin.

Aku menatapnya dan menggeleng pelan.

"Aku tidak bisa memberitahu hal ini pada siapapun," ujarku lirih.

"Setidaknya kau bisa membagi bebanmu denganku," ujarnya dengan tatapan penuh kasih sayang.

Aku mengangguk dan mengerjapkan mataku agar aku tidak kembali menangis. Mataku begitu bengkak karena sejak tadi aku tidak berhenti menangis. Tatapanku beralih pada telinganya.

"Telingamu berubah!" Aku mengucapkannya sambil sedikit tertawa.

"Begitu juga dengan telingamu!" cengirnya.

"Eldrin, bagaimana ayah dan ibu?"

Dia tidak segera menjawab pertanyaanku dan alih-alih menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan.

"Setelah kepergianmu, semua orang di istana berusaha untuk mencari mu." Ia menghentikan ucapannya.

Aku menunggunya untuk melanjutkan ketika tatapan matanya tampak menerawang ke kejauhan.

"Malam itu, ayah menyuruh semua pengawal untuk mencarimu ke seluruh penjuru hutan. Namun tidak ada yang bisa menemukan dirimu. Hingga keesokan harinya salah satu penyihir istana melaporkan bahwa ada sisa energi sihir di sepanjang dinding pembatas yang menandakan bahwa ada elf yang melewatinya. Saat itu aku yakin bahwa kau telah menyebrang." Kini tatapannya kembali tertuju padaku.

Aku mengangguk perlahan sambil menggigit bibirku dan aku tidak tahu apa yang harus aku katakan. Aku melihat Eldrin meraih sesuatu ke dalam saku mantelnya.

"Aku menemukan ini di atas meja kamarmu," ujarnya seraya menunjukkan secarik kertas dan sekuntum bunga emas yang aku tinggalkan untuknya.

Aku meraih bunga emas itu dari tangan Eldrin. Aku tidak menyangka bahwa aku bisa memegang bunga itu lagi.

"Kenapa kau melewati dinding pembatas?" tanyaku dengan suara serak.

"Aku tidak ingin kau sendirian di dunia yang asing ini."

"Eldrin, kau tidak boleh mengorbankan kehidupanmu demi aku!" Kali ini aku membiarkan air mataku menetes.

"Setidaknya aku bisa mengajak keponakanku bermain kelak."

Aku menoleh ke arah Rose ketika mendengar Eldrin mengatakan hal itu.

"Aku sudah menceritakan semuanya padanya ketika kau mengurung diri di kamar tadi," ujarnya dengan raut wajah bersalah.

"Jadi kau sudah tahu bahwa kini hidupku sudah hancur berkeping-keping," ujarku seraya menoleh ke arah Eldrin.

"Mungkin hari ini hidup membuatmu hancur. Tapi apapun itu, aku berharap kau mampu bertahan dan menemukan hari esok yang lebih indah."

"Entahlah, aku tidak yakin aku bisa menemukan kebahagiaan." Aku kembali menunduk lesu.

"Eleanor, ayolah! Kau harus melanjutkan hidup! Meski kadang harus menunduk lelah, tapi hidup harus tetap dilanjutkan!"

Hatiku seolah berdesir mendengar dia mengatakan hal itu. Aku merasakan secercah semangat yang kembali menyala dalam diriku. Setidaknya ada Rose dan Eldrin yang akan selalu menemaniku melewati hari-hari tergelap dalam hidupku di dunia yang penuh permainan ini.

Mungkin mulai saat ini aku harus belajar menerima kenyataan bahwa Dimitri sudah tidak bersamaku lagi. Aku harus mulai belajar untuk melepaskannya meskipun rasanya seperti mencabut jantungku sendiri.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!