Di sebuah bangunan tua yang bertingkat, terlihat usang dan dipenuhinya semak belukar yang menjalar hampir memenuhi seluruh dinding gedung.
Beberapa bekas runtuhan bangunan berserakan di lantai. Gedung itu sedikit terpencil dan akses menuju jalan raya sedikit sulit karena hanya bisa dilalui roda dua.
"Kerjakan sesuai yang aku perintahkan!" Seru seseorang yang berbalut hoodie berwarna hitam sambil mengangkat bingkisan berwarna coklat, yang kemungkinan besar isinya sejumlah uang tunai. Wajahnya tertutup masker, hanya kedua bola matanya yang terlihat sehingga sulit mengenali sosoknya.
"Baik!" Balas laki - laki itu bersiap mengambil bingkisan tersebut.
"Ets!!" orang yang tidak dikenal itu kembali menarik bingkisannya.
"Ingat! Jangan sampai meninggalkan jejak atau menyeret saya dalam masalah ini, apapun yang terjadi!" Lanjutnya serak penuh penekanan.
Laki - laki tersebut kemudian mengangguk dan mengambil bingkisan itu, lalu dengan cepat memasukkan ke dalam tasnya.
Keduanya telah berpisah sambil melirik sekitar, takut jika ada orang lain yang melihat mereka.
'
'
'
Pagi itu, PT. PERKASA WIJAYA akan melakukan konferensi pers kepada media terkait proyek baru dibawa konstruksi perusahaan mereka.
Di ruang Aula yang masih terletak di dalam gedung perusahaan, tampak para media duduk menunggu kedatangan sang CEO.
"Terima kasih atas kesediaan teman - teman untuk mengikuti konferensi pers ini!" Sahut Kris kepada para media dan merekapun menyimak.
"Saya harap kalian tidak menyinggung atau mempertanyakan sesuatu yang tidak penting!" Lanjutnya menegaskan!
"Ceklek!"
Tak lama kemudian, pintu Aula yang menjulang tinggi terbuka membuat semua orang menoleh.
"Tak, Tak, Tak,"
Langkah kaki sang CEO menggema saat Arlan Raden Wijaya berjalan dengan postur tubuh yang tegap kekar, wajah tampan dalam balutan stelan jas berwarna maron dipadukan kemeja dan dasi senada juga sepatu pantofel hitam terlihat berwibawa berjalan memasuki Aula.
"Lihat itu pak Arlan "CEO PT. PERKASA WIJAYA!" Sahut salah sat reporter.
"Cekrek!"
"Cekrek!"
"Cekrek!"
Sontak membuat seisi Aula dipenuhi dengan kilatan dari blitz camera yang terus memotretnya. Arlan berjalan di dampingi sekretaris dan beberapa bodyguard yang berbadan besar.
Wajah yang tampa namun terlihat datar, memancarkan aura dingin mendominasi membuat yang melihat terpesona juga segan.
Arlan duduk di depan meja yang memanjang menghadap para reporter, sementara disampingnya ada Nindia selalu sekertaris saat itu. Dan Kris sendiri berdiri di belakang mereka bersama beberapa bodyguard.
"Saya Arlan Raden Wijaya selaku CEO PT. PERKASA WIJAYA, mengucapkan banyak terima kasih atas kesediaan teman media menghadiri konferensi pers ini!" Sahutnya serak dan suasana terlihat tenang.
"Hari ini saya mengumumkan proyek pembangunan FAMILY RESIDENCE adalah milik PT. kami! Lanjutnya membuat para reporter mengangguk.
"Maaf, kalau boleh tau kenapa namanya FAMILY RESIDENCE pak? Tanya wartawan wanita.
"Begini, tujuan kami merencanakan pembangunan ini target pemasarannya untuk konsumen yang lokasi tempatnya kerja cukup jauh dari rumah mereka. Jadi, dengan adanya residance ini kami harap mereka bisa memiliki akses yang lebih dekat!" Jelas Arlan dengan wajah serius.
"Dan yang terpenting, mereka tidak perlu terlalu terburu - buru untuk meninggalkan keluarga mereka di pagi hari atau tiba di rumah terlarut larut hanya karena lokasi tempat kerja yang jauh! Mereka bisa memiliki waktu yang luang untuk berkumpul bersama orang - orang tercinta!" lanjutnya.
"Benar juga yah!"
"Iya benar!
para reporter itu saling berbisik mendengarkan penjelasan Arlan.
"Lalu bagaimana dengan lingkungan pak?" Tanya reporter laki - laki.
"Kalau dari segi lingkungan, proyek kami ini nanti termasuk kawasan elit, bahan material yang kami gunakan aman dan kualitasnya tinggi. Kami sudah memikirkan seluruh proses pembangunannya dan tidak akan terjadi pembuangan limbah yang tidak terstandar." Kembali Arlan menjelaskan.
"Dan,, yang terpenting meski proyek kami bukan satu - satu ber kawasan elit tapi kami menawarkan harga yang cukup terjangkau! "Satu hal yang perlu kita ketahui, jika para konsumen kami rata - rata memiliki kendaran pribadi, itu artinya dengan memiliki kediaman yang lebih dekat maka mereka akan mengurangi polusi akibat penggunaan bahan bakar yang berlebihan. Bahkan mereka berpeluang mengurangi biaya yang berlebihan dan berkesempatan memiliki tabungan yang lebih untuk keluarga."
"Prok!"
"Prok!"
"Prok!
Gemuruh tepukan untuk Arlan menghiasi seluruh Aula. Mereka salut dengan ide pembangun proyek itu.
"Wah pemikiran pak Arlan ini cukup luas dan perhatian ternyata." Sahut laki-laki bermasker dan bertopi hitam, wajah sulit dikenali membuat semua orang meliriknya.
"Dengar - dengar anda sedang mempersiapkan pernikahan yah?" Tanyanya sontak membuat semua terkejut.
"Yang bener?"
"Pak Arlan kan sudah menikah?"
Mereka saling berbisik lalu kembali fokus kepada Arlan dan menghujaninya dengan pertanyaan.
"Pak apa kabar itu benar?"
"Cekrek!"
"Cekrek!"
"Pak tolong jelaskan kepada kami!"
Wajah Arlan masam, tatapannya tajam rahangnya mengeras. Entah siapa yang membocorkan berita itu.
"Tolong jangan bertanya lagi!" Sahut Nindia lalu dengan cepat membawa Arlan keluar dari ruangan, namun para reporter itu mengikutinya.
"Tolong jangan meliput lagi!" Seru Kris namun mereka tidak memperdulikan hingga ditengah kegaduhan itu, tak satupun dari mereka menyadari laki - laki yang memulai huru hara itu telah menghilang entah kemana.
"Pak Arlan!"
"Pak Arlan berikan penjelasan!"
"Matikan kameranya!" Tegur Kris menghalau.
"Pak!"
"Pak!"
"STOP!! JANGAN MELIPUT LAGI!" Bentak Kris dengan wajah yang memerah akhirnya membuat mereka terdiam.
'
'
'
"Bagaimana? Apa mereka sudah pergi?" Tanya Nindia panik saat Kris baru saja membuka pintu ruangan pribadi Arlan.
"Hhhfftt!" menghela napas Kris menatap Nindia bergantian dengan Arlan. "Sudah!" Balasnya terlihat kelelahan, buliran keringat membasahi wajahnya.
"HAAAA!" Teriak Arlan "BRAKK!" Suara pecahan vas bunga melengking saat Arlan melemparkannya ke lantai mengejutkan Nindia dan Kris hingga menutup telinga.
Wajah Nindi menegang dengan tubuh bergetar saat melihat Arlan dengan kemarahan yang mampu menekan seisi ruangan. Nindia dapat merasakan suhu ruangan lebih dingin perlahan melirik Kris yang juga sama terkejutnya.
"Temukan orang itu secepatnya!" Seru Arlan dingin sambil mengepalkan tangannya hingga kukunya memutih, ototnya mengeras memancarkan tatapan tajam.
"B,, baik pak!" Balas Kris terbata - bata lalu keluar dari ruangan.
'
'
'
"APA - APAAN INI?" Bentak tuan Wijaya berdiri saat menonton tayangan tv yang terus bergulir memberikan pernikahan Arlan. Bahkan media menyinggung hingga ke saham perusahaan.
"Pa, papa tenang yah!" Sahut nyonya Wijaya menenangkan suaminya.
"Bagaimana pa,,, Agkhh!" Tuan Wijaya kembali memegangi dadanya yang terasa sakit.
"Pa, Papa tidak papakan?" tanya nyonya Wijaya panik memapah suaminya bersandar di sofa.
"RAMA? RAMA?" Teriak nyonya Wijaya semakin panik melihat suaminya yang penuh keringat dingin.
"Paman? Paman tidak papakan? Tanya Rama saat berlari mendekati mereka.
'
'
'
Pagi itu, kembali tuan Wijaya terbaring di dalam kamar pribadinya. Wajahnya pucat, hidung dan mulutnya ter pasang sungkup untuk membantu pernapasan.
Nyonya Wijaya di dampingi oleh Rama berdiri menatap suaminya, buliran jernin teru mengalir membasahi pipinya.
"Ceklek!"
Suara pintu terbuka membuat nyonya Wijaya dan Rama menoleh, nampak Aluna dengan wajah panik berlari kecil menghampiri mereka.
"Bagaimana keadaan papa?" Tanyanya duduk di samping tuan Wijaya menatapnya lekat.
"Dia baru saja tertidur, tapi oksigennya masih harus terpasang kata dokter!" Balas Rama.
"Apa Arlan sudah tahu?" Kembali Aluna bertanya sambil melirik mereka dan nyonya Wijaya hanya menggeleng kecil sambil menyeka wajahnya.
"Ponselnya tidak bisa dihubungi! Kris juga tidak bersamanya!" Jelas Rama.
Aluna kembali menatap lekat mertuanya. Wajah pucat terbaring lemah dengan alat bantu pernapasan membuat dadanya tersayat.
Perlahan sudut matanya menitipkan buliran jernih melihat tubuh yang perlahan melemah diusianya yang semakin menua membuat Aluna takut akan terjadi sesuatu hal tidak diinginkan. Beliau selalu memperlakukannya dengan baik, bahkan selalu mengajarkan banyak hal kepadanya.
Itu sebabnya dia selalu merasa kalau sosoknya sama seperti mendiang ayahnya yang selalu menyayanginya tanpa syarat.
Aluna merasakan sakit yang dalam mengingat semua masalah hidupnya. Belum sepenuhnya siap untuk dimadu, tapi isu pernikahan Arlan justru menyebar di seluruh penjuru kota, belum lagi dengan kondisi tuan Wijaya yang semakin drop.
'
'
'
Saat ini Aluna tengah berada di halaman belakang. Terlihat gelisah dan panik saat terus mencoba menghubungi nomor Arlan yang masih diluar jangkauan.
"Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi!"
"Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi!"
Aluna mengusap wajahnya, pikirannya tidak karuan. Lalu kembali menghubungi Kris.
"Halo Kris? Kamu sudah bertemu dengan pak Arlan?"
"Belum nyonya!" sahut Kris dalam telepon.
"Terima kasih!" Lirihnya menutup telepon kembali matanya memerah.
Entah kemana Arlan pergi. Aluna sudah menghubungi beberapa teman Arlan tapi tak satupun dari mereka yang mengetahui.
Aluna duduk di kursi besi halaman belakang sambil memijat pelipisnya. Kepalanya berdenyut dan terasa pusing bahkan sedikit mual.
"Aluna kamu tenang yah! Arlan pasti kembali, mungkin dia hanya butuh waktu menenangkan diri!" Sahut Wanita yang berdiri disebelahnya sambil menepuk kecil bahunya.
Aluna perlahan mendongak menatap wanita yang berwajah tanang dalam balutan dress selutut dan rambutnya yang sebahu tergerai. "Terima kasih bibi Meryam!" lirihnya dan air matanya kembali terjatuh.
Nyonya Meryam adalah istri paman Arlan yang tengah mendekam dipenjara, ibun dari Rama Redan Wijaya.
Nyonya Meryam duduk di samping Aluna "Bibi mengerti perasaanmu!" ucapnya sambil memeluk tubuh Aluna yang dingin dan bergetar. Aluna menyambut pelukan itu dengan erat menenangkan diri.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Mimi Maryati
kemana arlan pergi nya....
2023-07-23
0