"Baiklah karena semua sudah berkumpul, kita mulai saja pembicaraan ini!" Sahut Tuan Wijaya ayah Arlan.
Arlan dan Aluna masih terdiam menyimak dalam raut sedikit bingung akan maksud ayahnya.
"Jadi,,,"
"Biar mama yang ngomong pa!" Potong nyonya Wijaya saat suaminya baru saja ingin menjelaskan maksudnya.
Arlan Aluna sontak saling melirik, sementara Nindia dan ibunya terlihat biasa saja.
"Arlan, Aluna, mama sengaja memanggil kalian untuk membahas pernikahanmu dengan Nindia!" Ucapnya dengan ringan tanpa memperhatikan perasaan anak - anaknya.
"Apa?" Arlan dan Aluna terlonjak membulatkan mata.
"Ma, aku tau mama mau menjodohkan ku. Tapi, tapi kenapa harus Nindia Ma?" Protes Arlan panik.
"Mas Arlan benar ma. Nindia itu adik aku mah!" Sambung Aluna merasa kecewa.
"Tante, ibu. Apa - apaan ini? Perjodohan apa yang kalian maksud?" Tanya Nindia yang juga merasa kaget.
"Justru itu, kita inikan keluarga jadi lebih bagus lagi kalau Arlan menikahi Nindia, ketimbang kita harus mengambil orang lain masuk ke dalam keluarga kita!" Tegas mama Arlan.
"DUG! DUG! DUG!"
Irama jantung Aluna mulai tidak beraturan, keringat dingin pun perlahan muncul hingga telapak tangan dan kakinya terasa dingin.
"Tidak ma!" Aluna beranjak dari duduknya. "Aluna tidak mengizinkan suami Aluna menikahi adik Aluna sendiri!" Ucapnya bergetar menatap tajam mertuanya.
"Aluna!" Bentak mertuanya yang juga ikut berdiri menatap balik.
"Ma, mama tenang dulu ma!" Sahut Tuan Wijaya menarik istrinya kembali duduk di sofa.
"Bu! Apa ibu juga menyetujui pernikahan ini Bu?" Ucap Nindia menggoyangkan lengan ibunya, dan Aluna menatap tajam kepada ibu sambungnya.
"Nak. Maafkan ibu, tapi ini demi menyelamatkan keluarga besar kita!" Ucapnya membelai lembut kepala Nindia.
Nindia terpaku dengan mata memerah. Sementara Aluna melayangkan tatapan benci kepada ibu sambungnya. Ia tidak pernah menyangka jika dia tega mengambil keputusan yang begitu besar tanpa memberi tahunya terlebih dahulu.
"Ibu? Kenapa ibu tidak pernah memberitahu Aluna sebelumnya?" Tanya Aluna dengan nada keras.
"Maafkan ibu Nak! Ini demi reputasi keluarga besar kita!" Balasnya menatap Aluna.
"BOHONG!!" Bentaknya "Ibu pasti sengaja kan?" lanjutnya bergetar tidak percaya akan yang dikatakan ibunya.
"Luna, jaga bicaramu! Ibu juga terpaksa melakukan ini!" Balasnya seraya berdiri menatap tajam Aluna.
"Tapi Bu. Kak Aluna itu kakak aku Bu! Hiks.! Hiks.!" Nindia terisak menatap Ibu dan kakaknya yang mulai adu mulut.
Tuan Wijaya mulai menatap istrinya dengan kecewa akan sikapnya itu yang diam - diam menjodohkan Arlan di belakang Aluna. Keadaan ruang tengah mulai menegangkan hingga membuat para ART yang berada di belakang diam - diam mengintip perdebatan itu. Bukan hanya para ART melainkan bibi dan Rama Wijaya juga berdiri bersama mereka menguping perdebatan di ruang tengah.
"Mama, Aku dan Aluna tidak setuju dengan keputusan kalian!" Sahut Arlan serak.
"MA? Mama bilang kalau Arlan dan Aluna sudah setuju dengan perjodohan ini, tapi nyatanya apa??" Tanya tuan Wijaya merasa kecewa akan sikap istrinya.
"MEMANG BENAR PA! ALUNA SENDIRI YANG MENGIZINKAN ARLAN MENIKAH, DAN ARLAN JUGA SETUJU!" ucap mama Arlan lantang.
"TAPI MAMA TIDAK MENGATAKAN KALAU WANITA ITU NINDIA!" Aluna melawan dengan keras.
"Tapi sekarang kamu sudah tahu kan?" Balasnya mendekati Aluna yang menatapnya "INGAT ALUNA, KAMU SUDAH BERJANJI KEPADA MAMA! DAN JANJI TIDAK BISA DIINGKARI!" Lanjutnya dengan keras menunjuk Aluna dengan kejam.
Sekujur tubuh Aluna lemas mendengar perkataan yang terlontar dari mertuanya. Dirinya tidak pernah menyangka kalau mertuanya bukan hanya tega memintanya di madu tetapi bahkan tega membawa adiknya sendiri.
"TAPI MA!" Bentak Arlan.
"TIDAK ADA TAPI - TAPI LAGI! KALIAN SUDAH BERJANJI, MAU SAMPAI KAPAN MAMA MENUNGGU KALIAN, HA?? APA KALIAN MAU MELIHAT MAMA MATI TANPA CUCU?" Lanjutnya semakin marah bahkan wajahnya memerah kembali menunjuk Arlan dan Aluna.
Arlan kehabisan kata, tubuhnya bergetar memandangi mamanya yang penuh amarah. Keduanya tangannya mengepal kuat sampai otot-ototnya mengeras.
"Mah, Ar,,lan Agkkh! Lirih tuan Wijaya memegangi dadanya yang tiba - tiba terasa sakit.
"Pa, Papa?" Arlan dan mamanya sontak mendekat memeganginya dengan panik.
"Ini semua gara - gara kalian, papa sampai kesakitan!" Sahut mamanya dengan penuh penekanan melirik tajam kepada Aluna.
Aluna semakin lemas berada di tempat itu, tenggorokannya tercekat, matanya perlahan mengalir kan buliran jernih memandangi orang - orang di ruangan itu.
"Apa ini? Lelucon macam apa yang sedang mereka ciptakan?" Batinnya menatap sendu mertuanya lalu melirik ibu sambungnya yang terlihat sedang menenangkan Nindia. Aluna mengatupkan gigi menatap benci kepadanya, tapi ketika menatap tuan Wijaya yang kesakitan hatinya bergejolak dirinya malah mengingat almarhum ayahnya.
'
'
'
"Ceklek"
Setelah beberapa menit, pintu kamar tuan Wijaya terbuka mengejutkan semua orang yang sedang berkumpul menunggunya selama proses pemeriksaan di dalam kamar pribadinya.
"Bagaimana keadaan papa saya dok?" Tanya Arlan serak kepada dokter yang baru saja memeriksanya.
"Tuan harus beristirahat, dia tidak boleh stress karena itu akan memicu peningkatan pada tekanan darahnya! Apa lagi dengan usia yang sekarang cenderung fungsi organ - organ termasuk jantung akan menurun!"
Tuan Wijaya memiliki riwayat hipertensi dan sering kambuh akhir - akhir ini, jika dia mengalami tekanan berat, stress juga dengan pola makannya harus selalu dijaga.
"Apa perlu pemeriksaan lebih lanjut dok?" Kembali Arlan bertanya dengan wajah cemas.
"Untuk saat ini beliau hanya perlu beristirahat saja dan tidak boleh stress juga tetap selalu perhatikan pola makannya! Saya juga sudah meresepkan beberapa obat yang akan membantu meredakan rasa sakitnya!" Balas dokter itu mengulas senyum.
"Terima kasih!" Sahut Arlan dan dokter keluarga itu pun pamit.
Aluna perlahan mendekati Arlan yang terlihat berdiri bertolak pinggang menatap khawatir pintu kamar papanya. "Aku ingin menemui papa!" Lirihnya dan Arlan pun mengangguk.
Aluna mulai membuka pintu coklat itu perlahan melangkah masuk di ikuti oleh Arlan. Disaat bersamaan Nindia pun mengangkat kakinya berniat ikut masuk tapi langsung di tahan oleh ibunya.
Nindia menoleh menatap Ibunya yang menggeleng kecil sambil menarik lengannya. Akhirnya Nindia pun kembali bersandar pada dinding menunggu bersama ibu, bibi juga adik sepupu Arlan.
"Pa,,!" Lirih Aluna perlahan duduk di samping mertuanya yang terbaring pucat. "Aluna minta maaf atas sikap Aluna, Aluna tidak bermaksud membuat papa sakit!" Lanjutnya bergetar dengan kedua sudut mata memerah.
Sementara Arlan berdiri di dekat mereka berdampingan dengan mamanya yang sedari tadi menemani tuan Wijaya melakukan pemeriksaan.
"Ini akibatnya jika keras kepala!" Gumam mama mertuanya ketus membuat hati Aluna seperti tertusuk.
"Ma,,,!" Tegur Arlan sedikit berbisik dan mamanya langsung menyilangkan tangan dengan bibir tersimpul.
Tuan Wijaya tidak diizinkan terlalu banyak bicara, dalam keadaan tubuh lemah hanya mengelus lembut kepala Aluna.
Aluna menatap wajah tua di depannya yang berkeriput juga pucat. Rasanya sangat tidak tega jika dia harus melihatnya terbaring lemah, sudah cukup ia kehilangan sosok ayah!
Sejak awal pernikahan perlakuan tuan Wijaya tidak pernah berubah kepadanya. Berbeda dengan nyonya Wijaya yang perlahan mulai menunjukkan sikap keras hingga kerap membanding - bandingkan dirinya dengan menantu teman sosialitanya.
Aluna sudah menganggap tuan Wijaya sebagai pengganti orang tua kandungnya. Tapi, kejadian yang ditimbulkannya oleh mama mertuanya sudah sangat keterlaluan hingga membuatnya bersikap keras.
Bagaimana ini? Di satu sisi dia sudah menerima dan sepakat dengan masalah pernikahan Arlan, tapi di sisi lain dia sangat tidak rela jika harus dimadu dengan adiknya sendiri. Lalu sampai kapan mereka akan memperdebatkan hal yang sama? Belum lagi dengan kondisi tuan Wijaya yang semakin sering drop.
Aluna merasakan sayatan pada dadanya yang sangat perih hingga membuatnya serasa sesak. Seluruh tubuhnya terasa dingin, rasanya ingin segera terbangun dan berharap kalau ini hanyalah sebuah mimpi.
'
'
'
Esok hari, Aluna kembali berkunjung di kediaman keluarga Raden Wijaya seorang diri tanpa sepengetahuan Arlan.
Hari itu dia sengaja menemui mama mertuanya bermaksud melakukan negoisasi perihal perjodohan Arlan dan Nindia.
"Nyonya, nyoya muda disini!" Bisik kepala pelayan yang berambut putih ke peda wanita paru baya yang sedang duduk di ruang tengah sambil mencoba beberapa set berlian yang baru saja dia beli.
Nyonya Wijaya melirik pak tua itu dan di sampingnya sudah ada Aluna berdiri memandanginya.
"Bawa ini ke belakang!" Serunya memberikan set berlian kepada kepala pelayan dan langsung segera dia bawa sesuai perintah.
"Duduk!" Sahutnya sambil melipat tangan.
Aluna kemudian duduk di sofa berhadapan dengan mertuanya. Tubuhnya mulai menegang menatap wajah di depannya yang terlihat mengintimidasi.
Suhu ruangan berasa lebih dingin hampir membuatnya menggigil. Tapi masalahnya lebih penting hingga ia memberanikan diri angkat bicara.
"Ma, aku mohon ma batalkan pernikahan mas Arlan dengan Nindia!" Sahut menatap sendu mertuanya yang masih melipat tangan dengan santai.
Nyonya Wijaya sontak membulatkan mata menatap tajam Aluna "Tidak bisa!" Tegasnya.
"Tapi ma, masih ada wanita lain di luar sana yang bisa menjadi calon istri mas Arlan! Balasnya bergetar dengan mata mulai memerah.
"Nindia itu paling tepat untuk Arlan! Mama juga sudah tau seperti apa sikap Nindia dibandingkan dengan wanita lain yang belum tentu sesabar dan sebaik Nindia!" Ucap mertuanya dengan wajah mulai masam.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
⚘️💙⚘️ Neng Gemoy ⚘️💙⚘️
dosa gak ya kalo getok si mama pake wajan ? 😅😅😅
2023-08-21
0
⚘️💙⚘️ Neng Gemoy ⚘️💙⚘️
harusnya si mama ini di suruh ngaca ... siapa yg sebenernya keras kepala dan diktator ? 😡
2023-08-21
1
⚘️💙⚘️ Neng Gemoy ⚘️💙⚘️
mama mertua bener2 durhakim ini mah ... 😡
2023-08-21
0