Aluna beranjak dari duduknya, lalu bersimpuh di kaki mertuanya yang terlihat kesal dan enggan menatapnya. Perlahan mulai menggenggam tangan mertuanya.
"Aku mohon ma! Nindia itu adik aku ma dan,," Ucapnya bergetar terhenti saat mertuanya menarik tangan dari genggamannya. Sudut mata Aluna perlahan menumpahkan buliran jernih "Aluna tidak siap ma jika harus dimadu dengan adik sendiri! hiks. hiks." Lirihnya terisak.
"Aluna,,! Apa kamu lupa dengan janjimu?" Balasnya dingin tanpa melirik sedikit pun.
"Ma,, Hiks. Hiks. Hiks."
"Percuma kamu menangis dan berlutut! Mama tidak akan mengubah keputusan, mama sudah cukup sabar selama 5 tahun!" Ucapnya seraya berdiri dari duduknya. "Kalau mertua lain, mereka sudah pasti memintamu bercerai!" Lanjutnya penuh penekanan membuat Aluna terlonjak membulatkan mata.
Kedua matanya bergetar semakin mengalirkan buliran jernih kian membasahi pipinya, lalu mendongak menatap wajah mertuanya. "Tidak mah, hiks. hiks. Ini sa,,lah!" Ucapnya menggeleng kecil setengah menangis.
Sontak mertuanya menunduk menatap tajam wajah Aluna yang sudah memerah dengan mata sembab kian mengalirkan buliran air. Sorot matanya terlihat gelap hingga membuat Aluna bisa merasakan emosi mertuanya yang mendominasi.
Ruangan itu terasa menyempit, dinding kaca perlahan retak, "krak,, krak,, krak,,!" semakin lama retakannya semakin meluas bersiap menimpanya kapanpun. Tubuh Aluna bergetar dan terasa dingin, tenggorokannya tercekat dengan susah paya menelan saliva.
"Sekarang pilihanmu hanya satu, yaitu menerima perjodohan ini!" Lanjut mertuanya dingin penuh dengan penekanan sebelum meninggalkan Aluna seorang diri di ruang tengah.
Aluna memandangi punggung mertuanya yang perlahan menghilang. Tubuhnya terkulai lemas di lantai keramik yang dingin, dunianya seakan runtuh dalam sekejap. Mertuanya tidak membiarkan dirinya melakukan penolakan membuat dadanya kembali tersayat saat itu juga.
Aluna perlahan menyeka wajahnya yang sudah basah sejak tadi. Nasi sudah jadi bubur dengan berat hati harus menerima perjodohan itu.
'
'
'
Malam itu Aluna kembali ke apartemen mewah miliknya bersama Arlan. Berharap di sana ada Arlan yang bisa menunggunya dan memeluknya sambil menenangkan dirinya.
Tapi ia lupa,, kalau sejak dirinya mengajukan persetujuan perjodohan dengan Arlan tidak ada lagi keharmonisan diantara mereka. Hampir setiap malam dirinya kesepian dalam kamar, sedangkan Arlan kerap pulang tengah malam dalam keadaan mabuk.
Aluna perlahan membuka pintu apartemen, langkah kakinya berat memasuki ruangan. Ia menatap sekeliling ruangan yang luas, sangat sunyi. Kemudian, berjalan dengan gontai membuka pintu kamar kembali menatap sekeliling kamarnya yang juga kosong dan sunyi.
Hatinya berkecamuk menatap setiap sisi ruangan, sama seperti malam sebelumnya ia hanya menjalani malamnya seorang diri.
'
'
'
"Hiks.! Hiks.! Hiks!" Aluna menangis di atas kasur dalam keadaan meringkuk. Tubuhnya bergetar kedinginan. "HIKS.! HIKS.! HIKS.!" Tangisannya semakin menggema.
Dia memang setuju akan perjodohan suaminya tapi siapa sangka kalau dirinya akan dimadu dengan adik sendiri. Aluna tidak sanggup membayangkan hari - harinya jika harus seatap dengan Nindia dan melihat Arlan berbagi kasih kepadanya.
Apa dia sanggup untuk menyaksikan? Belum lagi jika Nindia benar - benar mengandung anak Arlan. Sekarang saja ibu mertuanya sudah cukup berubah kepadanya, jika Nindia hamil itu berarti mertuanya akan semakin mengagung - agungkan Nindia.
"Bagaimana jika Arlan ikut berubah setelah memiliki anak dengannya? Sementara dirinya? Hanya sebuah pajangan yang perlahan menua dan usang hingga tidak memiliki nilai lagi." Aluna terus membatin dalam tangis kepedihan.
Semalaman penuh Aluna meringkuk menangis. Pikirannya kalut memikirkan masalah hidupnya. Entah apa yang harus dia lakukan, tidak ad pilihan mundur. Belum lagi Arlan yang tidak ada disampingnya, Aluna menebak saat itu suaminya pasti sudah mabuk - mabukan lagi di klub.
'
'
'
Setelah melewati perdebatan panjang akhirnya tanggal pernikahan Arlan dan Nindia tinggal menghitung hari.
Seminggu sebelum pernikahan, Aluna menepati janjinya untuk mendesain cincin pernikahan untuk suaminya.
Di dalam kamar itu ia kembali melalui malamnya seorang diri. Sebuah kertas HVS berwarna putih di atas meja yang terlihat bersih dan polos.
Aluna memandangi kertas putih itu, hatinya berkecamuk bahkan belum memulai pun tubuhnya sudah bergetar menggenggam kuat pensil di tangan kanannya masih memandangi kertas itu.
"Aluna kamu harus kuat!" Batinnya mengatupkan gigi.
Dengan perlahan Aluna mulai menyentuh kertas itu, lalu menggambar secara samar lingkaran yang menyerupai cincin. Tangannya menari dengan lembut semakin mempertegas pola gambarnya.
Goresan yang samar semakin terang dan tebal hingga hampir menyerupai sebuah cincin yang berbentuk lingkaran sempurna.
Dalam keadaan bergetar, Aluna terus melanjutkan goresannya. sudut matanya berlinang merasakan sayatan dari setiap goresan pensilnya.
Satu cincin dengan ukuran sedikit lebih tebal membentuk lingkaran sempurna, di tengahnya terdapat titik permata yang kecil sekilas terlihat samar.
Kemudian, di sebelahnya terlihat satu cincin lain yang berbentuk lebih ramping dengan berbentuk lingkaran bagian dalam. Aluna mulai membentuk pola seperti menyilang pada bagian tengah atas sehingga menciptakan celah tipis yang sedikit memanjang di tengah sisi kana dan kiri.
Aluna berusaha agar tidak kembali menangis, tapi tetap saja air matanya mulai berjatuhan ketika mulai menggambar sebuah permata yang sedikit lebih besar pada bagian tengah, sedangkan di bagian garis yang menyilang dibubuhi beberapa titik permata kecil yang menyilang mengikuti pola.
Sambil sesekali menyeka wajahnya Aluna tetap menyelesaikan detail - detail cincin indah itu.
Dia tidak pernah menyangka akan mendesain sepasang cincin nikah untuk suaminya sendiri bersama dengan sang adik. Rasanya seperti tertusuk duri di sekujur tubuhnya.
Dulu ia selalu menggambar sepasang desain cincin dengan hati yang hangat. Dan selalu berdoa aga calon pemiliknya memiliki hubungan yang langgeng. Tapi kali ini, entah doa apa yang harus dia ucapkan.
"Tes!"
Setetes buliran jernih yang mengalir dari pipi kanannya menetes membasahi pinggiran kertas saat dirinya memandangi sepasang cincin yang baru saja ia gambar.
Ada rasa kesal kepada diri sendiri karena terlalu percaya terhadap pilihan mertuanya. Dengan mudahnya menyetujui perjodohan tanpa menanyakan terlebih dulu seperti apa wanita pilihannya.
'
'
'
Pagi itu sinar matahari kembali menerangi seluruh sudut kota. Cahayanya yang hangat menembus kaca jendela apartemen hingga mengusik Aluna yang tertidur. Dia terlihat terlelap dengan menjadikan tangan kirinya sebagai bantal di atas meja, sementara satu tangannya terlihat membentang di atas kertas dan pensil di depannya.
"Emghh!" Perlahan membuka mata merasakan sinar yang hangat menembus wajahnya. Aluna memicingkan mata menetap cahaya putih itu sambil menutupi sedikit wajahnya dengan tangan kanannya.
Kepalanya terasa berat dan pinggangnya terasa pegal karena semalaman dia tertidur di kursi sedangkan tangan dan kepalanya bertumpu di meja.
Aluna melirik kasur yang dibalut bedcover berwarna biru mudah terlihat kosong dan masih tertata rapi, sama seperti sewaktu dia kembali semalam.
Itu artinya, Arlan semalaman tidak pulang! "Mas Arlan?" Lirihnya kemudian dengan cepat mencari keberadaan ponselnya.
Dengan panik Aluna menyisiri seisi meja, sofa dalam kamar juga menggeledah habis isi tasnya tapi ponselnya masih belum dia temukan.
Aluna berdiri sambil menggigit kecil unjung ibu jarinya mencoba mengingat kembali tempatnya menyimpan ponsel.
"Blazer,," Gumamnya lalu mulai melirik gantungan yang berada disudut kamar. Dengan cepat Aluna merogoh saku blazer hitam yang kemarin ia kenakan.
Matanya sedikit berbinar saat menemukan ponsel dan langsung menyalakannya. Selang beberapa detik tatapannya sendu memandangi layar yang sama sekali tidak ada tanda dari nomor Arlan menghubunginya.
Log panggilan berulang kali ia buka tutup, juga chat WhatsApp yang berulang - ulang ia scroll dan baca, tapi isinya masih saja sama dengan chat yang kemarin.
Aluna melirik ke jendela, lalu keluar kamar melihat ruang tengah yang kosong kemudian berlari kecil membuka ruang kerja pribadi Arlan dan hasilnya sama saja.
Dengan langkah berat Aluna masuk ke dalam ruangan yang kosong itu. Matanya kembali memerah memandangi jas hitam yang tergantung di sandaran kursi putar depan meja kerja Arlan.
Aluna mendekati meja dan kursi itu, tangannya sedikit bergetar meraih jas Arlan. Kemudian duduk di kursi putar sambil memeluk dan mencium jas itu. Aroma melting dari suaminya masih melekat.
Hatinya kembali tersayat, merasakan kesunyian dan kekosongan dalam hatinya. Hari - harinya yang penuh warna memudar sejak mereka menyetujui perjodohan itu.
Dia rela untuk berbagi suami untuk kebahagiaan keluarga suaminya, tapi membuat kebahagiaannya sendiri telah tergadai.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Mirfa Linda
kasihan Aluna. seharusnya Arlan gak jadi pengecut dg meninggal istrinya sendiri menghadapi mamanya. Aluna terpaksa menyetujui Krn desakan mamanya,
2023-09-05
0
Yunior
Begitulah kehidupan RT kalau mertua ikut campur.
2023-08-19
0