Naya memijit tengkuknya pelan, terpaksa meninggalkan Radit sendirian di rumah setelah tadi pagi ia menyaksikan sendiri kericuhan keluarga itu yang disebabkan oleh ulah suami tercintanya itu.
Naya ingin cepat menyelesaikan pekerjaannya dan segera pulang ke rumah.
Sejak pertengkaran dengan Radit waktu itu, Naya berkomitmen pada diri sendiri, bahwa ia akan mengurangi aktivitas kerjanya dan memperbanyak waktu berdua dengan suami.
"Udah semua kan Ri?" tanya Naya kepada Riri yang duduk di depannya terhalang meja kerja.
"Sudah bu, tinggal dua ini kok," jawab Riri menerima formulir pemindahan bukuan untuk pembayaran ganti rugi tanah warga yang rumahnya harus tergusur karena project mereka.
"Ri..... " panggil Naya ragu-ragu.
"Iya bu." Riri menatap wajah Naya yang terlihat sedang banyak pikiran itu.
"Um.... kamu ngerasa ada yang janggal nggak ya?" tanya Naya mencoba berbagi keluh kesahnya pada seseorang, karena rasanya belakangan hari ini Naya merasa sendiri.
Radit yang dulu selalu asyik diajak buat berdiskusi ini, sekarang malah berubah menjadi orang yang judes dan berperangai aneh.
Mau berdiskusi dengan ayahnya, justru sang ayah yang sedang mau dia bicarakan, bicara dengan bundanya lebih tak mungkin lagi, bunda yang selama ini hanya berapa di rumah pasti tak mengerti urusan bisnis.
Mau mengadu ke Reza adiknya, ya sama saja pasti Reza belum paham akan masalah ini.
"Bu.... " panggil Riri membuyarkan lamunan Naya.
"Eh... gimana Ri?" tanya Naya.
"Ibu tadi nanya janggal nggak." Riri mengingatkan Naya tentang obrolan mereka yang sempat terputus karena Naya memilih bengong ketimbang melanjutkan ucapannya.
"Ah nggak jadi Ri, saya lagi kebanyakan kerjaan kali ya makanya suka nggak nyambung omongannya." Naya lebih memilih mengelak karena Naya belum seratus persen percaya sama Riri meskipun gadis itu sudah jadi sekretarisnya sejak setahun yang lalu.
"Kayaknya ibu memang harus ngurangi beban pekerjaan ibu deh, biasanya tuh Riri lihat ibu itu terlihat segar, cantik dan semangat, tapi belakangan hari Riri justru melihat ibu kayak kurang bertenaga gitu," nasehat Riri hati-hati.
Naya menghela nafas panjang, dalam hati berucap gimana dirinya tak lelah, beban pekerjaan semakin menggunung, sampai rumah harus melayani suaminya di ranjang yang terkadang nap*u nya sudah seperti singa yang tak lelah menyiksanya.
"Iya, makanya saya sekarang pulang lebih awal, nggak enak juga sama suami, sama mertua, kalo saya pulang larut terus."
"Kenapa ibu tak pindah rumah saja, biar lebih mandiri, lebih bebas."
"Suami saya nggak mau, dia ingin menemani orang tuanya yang sudah sepuh itu."
"Ya bagus sih bu, tapi bukannya kalo dalam satu rumah ada dua rumah tanggal bakalan nggak baik ya bu?" tanya Riri langsung membungkam mulutnya yang keceplosan bicara.
"Hahahaha... kenapa?" tanya Naya lucu melihat tingkah Riri.
"Maaf Bu, bukan maksud saya... " ucap Riri merasa tak enak hati.
"Nggak papa Ri, emang yang kamu katakan bener kok, saya juga sudah mengajaknya pindah tapi suami saya tetap keukeuh pada pendiriannya, ya akhirnya saya pasrah juga, takut kualat saya," ucap Naya lalu terkekeh.
Ponsel Naya berdering nyaring, nama suami tertera pada layar tipis itu, Naya mengangguk mengintruksi Riri untuk keluar ruangannya lalu mengangkat panggilan dari Radit.
"Iya mas?" sapa Naya lembut.
"Lagi sibuk nggak Nay?" tanya Radit.
"Ini udah mau selesai, kenapa mas?"
"Maksi yuk," ajak Radit.
"Mas Radit belum makan siang?" tanya Naya terkejut.
"Tadi ketemu klien cuma ngopi belum sempet makan," jawab Radit.
"Oh gitu, mas Radit mau makan apa? Habis ini aku otw."
"Kalo steak gimana Nay, aku lagi pengen makan daging."
"Oh oke mas, tempat biasanya kan?" tanya Naya.
"Iya tempat biasanya."
Lalu sambungan telepon mereka terputus, Naya segera menyelesaikan pekerjaannya, membawa map yang berisi dokumen dan sekalian menenteng tasnya.
"Ri... saya keluar dulu ya, kayaknya nggak balik kantor," pamit Naya sambil menyerahkan map yang berisi dokumen tersebut kepada Riri.
"Baik bu," jawab Riri mengangguk hormat.
"Kalo ada apa-apa call ya Ri," kata Naya lalu berlalu dari hadapan Riri.
"Nikah bukannya segeran malah keliatan layu gitu sih bos gue," gumam Riri lirih lebih kepada dirinya sendiri.
Naya melajukan mobilnya menuju restoran langganan mereka, rasanya hatinya menghangat setelah pernikahan mereka dua bulan lalu, dirinya dan Radit jarang punya waktu berdua seperti ini.
"Mas... udah lama nunggu?" tanya Naya ketika sampai di tempat duduk Radit.
"Belum lama Nay, kamu mau makan apa?" tanya Radit menyerahkan buku menu kepada Naya.
"Aku makan salad aja mas, tadi siang sudah makan soalnya," ucap Naya menutup kembali buku menu di tangannya.
"Beneran hanya makan salad, nanti nggak ada tenaga lho kalo harus melayani suami," goda Radit sambil tersenyum jahil.
"Astaga mas, pikirannya kesana mulu deh. Lagian kan nanti kita makan malam di rumah," sahut Naya merotasi kedua matanya.
"Habis kamu terlalu sayang kalo dianggurin Nay," celetuk Radit terkekeh.
Lalu Radit memanggil salah satu pelayan dan menyebutkan menu yang mereka pesan.
"Gimana Nay? Masih sibuk?" tanya Radit memotong daging yang telah tersaji di depannya.
"Hari ini aku sih udah tanda tangan pembayaran ganti ruginya mas, setelah ini paling aku cuman bayar-bayar, kan yang handle ayah semua, aku tak terlibat didalamnya seperti biasa."
"Kok gitu?" tanya Radit heran.
"Ya karena aku merasa keberatan sih dengan project ini, kesannya tuh kaya terburu-buru banget, mana dalam penelitian di lapangan orang lama tak dilihatin pula."
"Kok bisa?" tanya Radit lagi.
"Nggak tahu aku mas, pusing! Btw mas Radit beneran mau pisah company dengan mbak Raisa dan mbak Rania? Kenapa?" tanya Naya mengalihkan pembicaraan.
"Ya biar bisa mandiri Nay, nggak enak kerja banyak aturan gitu," jawab Radit cuek.
"Bukannya enak mas ngelola perusahaan bareng sama keluarga?" tanya Naya bingung dengan pendapat Radit.
"Enak apanya? Kamu belum kenal Raisa aja, orangnya egois, mau menang sendiri, masak aku digaji lima puluh juta doang," gerutu Radit pelan.
"Itu kan udah gede mas!" pekik Naya tertahan.
"Gede kalo aku nggak nafkahin kamu Nay, kalo aku bagi sama kamu ya aku kurang dong, apalagi dibanding dengan penghasilan kamu, gajiku pasti nggak ada apa-apa nya, dan aku tak mau karena hal ini nanti kamu meremehkan aku."
"Astaga mas, buang jauh-jauh pikiran itu, aku tak akan pernah meremehkan kamu mas, bagiku seberapapun kamu kasih aku, aku pasti bersyukur menerimamu," nasihat Naya lembut.
Radit mendengus pelan. " Ya itu kan pernyataan kamu sekarang, kalo kamu udah jadi presdir dan menggantikan ayah pasti lain lagi ucapan kamu."
Naya menghela nafas panjang, makanan di depannya tak jadi ia sentuh, ia menatap suami yang sedang melahap makanannya.
Ada rasa terluka ketika mendengar ucapan suaminya, pantas kalau belakangan hari Radit bertingkah aneh, ternyata ia insecure terhadap Naya.
"Radit!" Suara wanita memecah keheningan keduanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Rien
tumben radit perhatian sm nay,ziip"
2023-07-19
0