Setelah terjadi pertengkaran diantara mereka, Naya memilih mengalah dan mengurangi aktivitasnya di luar rumah.
Dia pulang kantor lebih awal dan mengerjakan pekerjaannya dari rumah, meski harus merepotkan bawahannya dengan mengirim dokumen yang ia perlukan melalui email.
Radit lebih melunak melihat Naya lebih banyak berada di rumah, seperti saat ini ketika jam tiga sore Radit sampai rumah, Naya sudah anteng di kamar sambil menatap layar laptop untuk mengerjakan laporan perusahaannya.
"Mau kopi mas?" tanya Naya ketika Radit telah selesai membasuh diri.
"Boleh Nay," jawab Radit pelan.
Naya beranjak menuju dapur untuk menyeduhkan kopi untuk suaminya, lalu ibu mertuanya memanggilnya dengan lembut.
"Nay.... sini nak."
"Iya bu." Naya mendekat sambil membawa secangkir kopi untuk Radit di tangan.
"Tolong kasih ini ke Radit." Ibu menyerahkan amplop tebal ke tangan kiri Naya.
"Maaf ya bu pakai tangan kiri," ucap Naya sambil menerima amplop itu yang ia perkiraan berisi uang.
Sesampainya di kamar Naya meletakkan kopi di nakas dekat ranjang, lalu memberikan amplop itu kepada Radit.
"Dari ibu mas."
"Simpen aja itu buat kamu." sahut Radit sambil menyesap kopi.
"Maksudnya?" tanya Naya bingung.
"Uang bulanan kamu," jawab Radit cuek.
"Kok dari ibu?" tanya Naya tambah bingung.
"Emang kenapa kalo dari ibu? Masalah? Yang penting kan aku nafkahin kamu Nay, mau darimana uangnya yang penting kan halal, bukan hasil nyuri " ujar Radit jutek.
"Tapi kan kasihan ibu mas, kita harusnya yang ngasih ke beliau bukan beliau yang ngasih ke kita, terus gaji mas Radit kemana emang, kok bulan ini bulanan aku dimintain ke ibu?" Cecar Naya terus.
"Bawel!" ketus Radit lalu keluar dari kamar meninggalkan Naya sendiri, kesal ditanya oleh Naya.
"Astaga... kenapa bisa berubah gitu sih sifatnya, padahal dulu pas pacaran nggak kayak gitu lho, huft," gumam Naya lirih.
Naya meletakkan amplop itu di atas nakas, nanti ia akan minta Radit mengembalikannya ke ibu, toh Naya juga masih sanggup memenuhi kebutuhannya sendiri, bukan sombong ya tapi memang gajinya di perusahaan sang ayah sudah gede bahkan sampai tembus tiga digit.
Tak kunjung melihat Radit masuk ke dalam kamar mereka akhirnya Naya menyusul Radit keluar.
Disana di ruang keluarga, Radit sedang tiduran di sofa dengan kepalanya diletakan di atas pangkuan sang ibu.
Sesekali ibu mengelus rambut Radit lembut, Naya yang melihat itu tentu shock, Radit yang telah berusia dua puluh tujuh
tahun masih semanja itu kepada ibunya.
"Nay... kenapa berdiri disitu? Sini Nay," panggil ibu membuat Naya terbangun dari lamunannya.
"Um i iya bu, Naya nyari mas Radit kok," sahut Naya gelagapan.
"Kenapa Nay?" tanya Radit bangun dari rebahannya menatap Naya heran.
"Eng... nggak, nanti aja mas," jawab Naya lalu berbalik masuk kembali ke dalam kamar.
"Ikutin Dit, ngambek kali kamu tinggal sendirian," perintah ibu langsung membuat Radit beranjak mengejar Naya.
"Nay.... " Radit menjulurkan kepala ke dalam kamar.
Naya tak menyahut, fokusnya tetap ke layar laptop yang menampilkan grafik penjualan, dia harus memastikan ada dana cadangan untuk operasional kantor utama.
"Kamu marah Nay?" tanya Radit duduk di pegangan sofa sambil memeluk Naya.
"Mas... tolong kembaliin uang ibu," pinta Naya menatap Radit.
"Kenapa?" tanya Radit mengerutkan kening.
"Nggak papa, kalo mas Radit belum ada uang aku nggak papa mas, lagian aku nggak enak udah numpang disini masak dikasih ibu uang juga."
"Kok numpang sih?! Bahasamu nggak enak banget didenger sih Nay!" gerutu Radit kesal.
"Terus apa namanya mas kalo bukan numpang? Wong ini rumah bapak ibu, gimana sih!" sahut Naya gemas.
"Terserah kamu aja deh, mau bilang numpang kek, nginep kek, bagi aku ini rumah orang tuaku jadi nggak ada istilah numpang, untuk uang itu pegang aja, takutnya nanti kamu ngedumel dalem hati udah dinikahin tapi nggak dinafkahin," ucap Radit gusar lalu keluar kamar lagi.
"Dia kenapa sih sensitif banget akhir-akhir ini," gumam Naya lebih ke diri sendiri, karena si suami sudah ngacir lagi entah kemana.
Tak. mempedulikan suami yang semakin aneh, Naya kembali menekuri laptopnya dan menghubungi customernya untuk meminta mereka mempercepat pembayaran.
Naya kembali melihat saldo rekening perusahaan, matanya membelalak melihat ada uang masuk sebesar sepuluh milyar.
Langsung tangannya meraih ponsel di dekatnya dan mendial nomor Hendra.
"Pak Hendra, ada dana masuk sebesar sepuluh milyar, itu dari mana ya?" tanya Naya heran.
"Itu dana pribadi bapak bu, tadi saya baru mau infoin ke ibu tapi ibu keburu hubungi saya," jawab Hendra dari seberang sana.
"Oh oke Pak, makasih banyak." Naya menutup sambungan teleponnya dengan Hendra.
Naya merasa aneh, project ini terkesan diburu-buru dan tak memikirkan akibat jangka panjangnya, ya kali kan project sebesar itu hanya diputuskan dalam waktu kurang dari satu tahun.
Naya takut kalau ini adalah jebakan untuk menghancurkan bisnis ayahnya, mengingat sang ayah termasuk salah satu pengusaha yang cukup sukses, walau mungkin belum masuk sepuluh besar pengusaha tambang di negeri ini, tapi nama beliau sudah diperhitungkan di negeri ini.
Tak menunggu lama Naya menghubungi ayahnya untuk mendiskusikan hal ini.
"Ya nak," sapaan merdu terdengar dari seberang sana.
"Yah... Naya lihat ayah mentransfer sepuluh milyar ke rekening perusahaan, ayah ambil uang simpanan ayah?" tanya Naya to the point.
"Iya Nay, kenapa emangnya nak?"
"Lalu pak Bara, pak Michael, pak Sandi kapan mau setornya? Kok Naya rasa hanya ayah yang sudah urun modal, yang lain belum?" tanya Naya hati-hati, jujur perasaannya semakin kesini semakin tak enak, apalagi sampai ayahnya mengeluarkan uang simpanan hari tuanya.
"Kira-kira bulan depan Nay."
"Memang mereka mau taruh modal berapa yah?"
"Masing-masing dua puluh milyar, yang empat puluh milyar itu ayah yang nanggung."
"Harusnya mereka setor dulu Yah sepuluh milyar jadi kan kita nggak kepusingan gini, apalagi kita baru launching produk baru kan, dana kita kesedot itu semua," keluh Naya lirih.
"Dana mereka baru ready bulan depan dan itu sudah masuk kesepakatan kami Nay, udah kamu tenang saja ya, percaya sama ayah," bujuk Rustam.
"Naya boleh ngobrol nggak Yah ama mereka?" tanya Naya.
"Nggak perlu nak, ayah takut mereka jadi tersinggung nanti, kesannya kita nggak percaya sama mereka."
Naya terdiam, rasanya semakin curiga, pengusaha sekelas Rustam kan tak mungkin segegabah ini.
"Ya sudah sih Yah, Naya tutup ya Yah."
"Iya Nay, nggak usah diforsir pikirannya, ayah akan handle semuanya."
Lalu klik, dan Naya hanya mampu mengerjapkan mata perlahan, tak tahu harus melakukan apa, sekedar untuk membuat sang ayah tak terburu-buru saja rasanya sesulit ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Rien
kalau suamiku ky radit hmmmm
2023-07-19
0