Setahun kemudian.
"Kamu nggak mau resign aja Nay? Sudah ada aku yang bisa nafkahin kamu, sekarang kamu tinggal fokus untuk hamil, aku capek ditanya sama bapak ibu terus kapan kamu punya anak," tegur Radit melihat Naya sudah rapi mengenakan pakaian kerja.
Naya hanya menghembuskan nafas lelah, bukan sekali ini Radit memintanya berhenti bekerja dan fokus jadi ibu rumah tangga.
Ini bukan karena Naya egois ya, bukan juga tak mau menuruti keinginan suami untuk tinggal di rumah dan mengurus keluarga.
Tapi ini lebih ke passion Naya yang tak bisa hanya jadi ibu rumah tangga saja, sejak awal ketika ia menerima pinangan Radit, Naya sudah menekankan akan tetap bekerja dan berkarier di luar rumah.
Naya merasa dia masih bisa menjalankan kedua peranannya dengan baik, kalau selama ini peranannya sebagai ibu rumah tangga belum bisa maksimal kan semata-mata karena Radit tak pernah mau diajak tinggal terpisah dari kedua orang tuanya.
"Kenapa diem aja Nay?" tanya Radit lagi.
"Em mas... " Naya belum selesai bicara tapi perkataannya sudah dipotong cepat oleh Radit.
"Iya aku lupa kalo dulu pernah berjanji untuk mengijinkan kamu tetap bekerja meski kita telah menikah," ucap Radit judes lalu melangkah keluar kamar.
Bahu Naya melemah, sejak awal menikah diskusi mereka selalu begini, tak pernah mencari jalan keluar terbaik, apapun pendapat Radit harus dituruti, apalagi setiap Naya ingin berdialog, Radit akan memutus pembicaraannya lalu pergi keluar kamar lalu bermanja dengan ibunya.
Naya bukannya tidak berusaha, dia sudah pergi konsultasi ke dokter kandungan dan melakukan serangkaian pemeriksaan dan hasilnya baik-baik saja, lalu Naya harus bagaimana kalau Tuhan belum mengijinkan dirinya hamil.
Dan sekarang kondisi perusahaan ayahnya sedang tidak baik-baik saja akibat keputusan sang ayah yang gegabah waktu itu, kemungkinan besar perusahaan akan gulung tikar kalau Naya tidak mengeluarkan kebijakan yang tepat.
Naya berencana menuruti semua kemauan Radit tapi menunggu sampai dia membantu ayahnya menyelesaikan masalahnya dulu.
Bahkan ketika Naya mau mengatakan hal yang sebenarnya saja, Radit seolah tuli untuk sekedar mendengar ucapan Naya.
Tak ingin berlama-lama disana Naya segera menyambar tas kerjanya dan melangkah keluar.
"Mbok... lihat mas Radit nggak?" tanya Naya kepada ART rumah itu ketika matanya menyisir ke penjuru ruangan dan tak menemukan Radit.
"Kayaknya masuk ke kamar ibu deh mbak," jawab simbok lalu pergi dari hadapan Naya.
Dengan berat hati Naya mengetuk pintu kamar tidur mertuanya, bagaimanapun ia kesal ia tetap berkewajiban untuk pamit kepada suami kalau ia akan pergi keluar rumah.
Tok.... Tok... Tok....
"Eh Naya, ada apa Nay?" ibu yang membukakan pintu.
"Mas Radit di dalam bu?" tanya Naya.
"Tuh tidur lagi, katanya nanti berangkat jam sepuluh," jawab ibu sambil membuka pintu kamarnya lebar-lebar mempersilakan Naya melihat Radit yang tertidur dengan memeluk guling.
"Oh ya sudah Naya berangkat kerja dulu ya bu, tolong pamitkan sama mas Radit nanti." Naya menunduk meminta tangan ibu dan menciumnya takjim.
Ibu hanya menatap punggung anak menantunya, rasanya ingin mengajak berbicara tentang keinginan dirinya memiliki cucu dari Radit, tapi apa daya dia tak bisa memaksakan kehendak.
Naya sampai ke kantor dengan wajah semakin keruh, meninggalkan masalah di rumah tanpa penyelesaian itu rasanya benar-benar tidak enak.
"Bu... tadi dicari bapak," tegur Riri sebelum Naya masuk ke ruang kerjanya.
Naya mengangguk, menyerahkan tasnya ke Riri lalu melangkah menuju lift.
Lift yang membawanya ke atas ke ruang kerja ayahnya itu seakan berjalan dengan lamban, membuat Naya gusar dan tak sabar.
"Bapak ada kan Wul?" tanya Naya tanpa basa-basi.
"Ada bu."
Naya mengangguk dan langsung masuk ke dalam ruangan sang ayah.
"Nay..... " sapa sang ayah lirih.
"Ayah kenapa?" tanya Naya khawatir melihat ayahnya terlihat pucat pasi.
"Kita habis Nay," ucap Rustam lirih.
"Ayah tenang dulu." Lalu Naya melangkah menuju dispenser dan mengambilkan air putih hangat untuk ayahnya.
Rustam menerima gelas ditangan Naya dan meminum perlahan air itu.
"Coba sekarang ayah cerita ke Naya pelan-pelan Yah," bujuk Naya lalu mengelus pundak Rustam pelan.
"Ternyata project itu gagal Nay, disana nggak ada apa-apa."
Naya mendelik, otaknya berputar dengan sangat cepat, menangkap perkataan sang ayah.
"Semua sudah ayah pertaruhkan dan tak ada apa-apa disana." Rustam terguncang, dadanya turun naik menahan emosi.
"Kok bisa sih Yah, memang teknisi yang dibawa orang itu gimana? Kok bisa nggak tahu disana ada kandungan sumber alamnya atau nggak!" teriak Naya panik.
"Terus temen ayah yang tiga itu kemana?" lanjut Naya dengan suara gusar.
"Mereka kembali ke negara mereka Nay, dan sekarang ayah dimintai tanggung jawab karena disana terdapat gas beracun yang harus kita tutup agar tak menyebar kemana-mana," terang ayah dengan gemetar.
Naya tak menjawab, langsung dia sambar telepon internal di meja sang ayah, dan meminta Peter untuk datang ke ruangan itu.
"Ayah kenapa bisa segegabah ini sih, sejak awal Naya sudah curiga kok kesannya mereka seperti terburu-buru begini," omel Naya lirih, takut suara kerasnya justru membuat ayah semakin drop.
Tok.... tok....
"Masuk!" teriak Naya dari dalam.
"Bu Naya manggil saya?" tanya Peter terlihat kaget karena kondisi pak Rustam yang terlihat sedang tak baik-baik saja itu.
"Pak... tambang baru itu bermasalah, disamping disana nggak ada kandungan yang kita cari, disana mengeluarkan gas beracun..... "
Belum selesai Naya berbicara, tubuh Rustam ambruk dan jatuh ke lantai.
"Ayah!!" teriak Naya panik.
Peter berlari keluar ruangan untuk meminta Wulan memanggilkan ambulance.
Tak lama ambulance datang, dan tubuh Rustam diangkat ke atas brankar dan dibawa menuju ke rumah sakit.
"Wul.... tolong kasih tahu Riri, batalkan semua schedule saya," ucap Naya lalu berlari mengejar brankar yang di dorong menjauh menuju ambulance.
Naya ikut masuk ke dalam ambulance, dengan didampingi oleh Peter dan staf lain.
Dengan deraian airmata Naya mencoba menghubungi Radit untuk meminta sang suami untuk menyusulnya ke rumah sakit.
Sekali, dua kali panggilannya tak mendapat respon, Naya lalu menulis pesan kepada sang suami mengabarkan keadaan sang ayah.
Sementara di tempat lain, Radit yang menerima panggilan telepon dari Naya hanya memandang layar tipis di depannya tanpa berniat mengangkatnya, hatinya masih kesal karena kejadian tadi pagi.
"Kenapa sih mukanya muram mulu?" tanya Nindya manja, tanpa sepengetahuan Naya memang Radit telah mempekerjakan Nindya di perusahaan sejak beberapa bulan terakhir.
"Pusing!" sahut Radit ketus.
"Kenapa?" tanya Nindya dengan suara mendesah.
"Nggak papa," jawab Radit akhirnya.
"Biar nggak pusing yuk kita hangout aja, melepaskan semua stres." Nindya duduk di pegangan kursi kerja Radit sambil sesekali mengelus pundak Radit pelan.
Radit menatap Nindya intens, ya memang benar ajakan Nindya barusan, dia butuh melepaskan semua ketegangan di otaknya.
Lalu mereka berjalan beriringan keluar dari ruang kerja Radit, pria itu tidak sadar sama perangkap Nindya yang sengaja wanita itu pasang untuk menjebak dirinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Rien
pelakor menyebalkan
2023-07-21
0