Bab 14

Dewi mendatangi pengacaranya kembali dan menunda untuk mendaftarkan perceraian mereka.

Itu semua karena dia baru saja mendapat kabar buruk, langkahnya tertahan karena ibu mertuanya sedang dirawat. Entah apa sebabnya tiba-tiba terkena serangan jantung.

"Dewi! Bisa kerumah sakit sekarang?" suara Prasetyo dari telepon.

"Kenapa Mas?"

"Mamah terkena serangan jantung!"

"I-iya mas," Dewi bergegas kerumah sakit. Sampai disana, dia lihat ibu mertuanya berbaring tak berdaya. Dewi hanya terpaku dengan nafas tertahan begitu menyakitkan. Lagi-lagi beberapa alasan menghalangi niatnya untuk bercerai.

Mamah mertuanya selama ini sangat baik padanya. Menganggap nya seperti putrinya sendiri. Menghormati dan menghargai dirinya sebagai seorang menantu. Haruskah dia bercerai tanpa bicara dulu dengannya? Batin Dewi.

Sedangkan sekarang bukan waktu yang tepat berbicara padanya. Atau jantungnya akan berhenti mendengar Dewi akan menggugat cerai Prasetyo.

Aku benar-benar dilema ...

"Dewi! Mamah terkena serangan jantung!" Prasetyo memeluk Dewi dan terlihat sedih serta terpukul.

"Kok bisa mendadak begini Mas?" tanya Dewi bingung. Karena beberapa hari yang lalu semua baik-baik saja.

Prasetyo menatap Dewi dengan lekat dan seperti menyimpan sebuah rahasia. Dia menutupi dari istrinya apa yang terjadi sehingga menyebabkan ibunya shock dan terkena serangan jantung.

"Aku juga tidak tahu," Prasetyo masih memeluk Dewi dengan erat. Dewi hanya terdiam.

Tidak lama kemudian, ibu mertuanya siuman namun hanya ingin bertemu dengan Dewi saja. Dia tidak mau menemui Prasetyo.

"Aku? Ayo Mas, masuk sekalian!" ajak Dewi.

"Kamu saja. Aku tunggu disini," ucap Prasetyo karena dia tahu mamahnya sangat marah padanya.

Begitu Dewi masuk, Mamah mertuanya melambai dengan salah satu tangannya agar dia mendekat. Sepertinya memang telah terjadi sesuatu antara Prasetyo dan juga mamahnya, batin Dewi.

"Dewi ...," menyebut nama menantunya sambil terisak hal itu membuat Dewi semakin bingung.

"Mamah, ada apa? Kok mamah malah nangis? Ada yang sakit? Biar Dewi panggilkan suster?" tanya Dewi setelah dia duduk didekat mamah mertuanya.

"Tidak nak," ucapnya sembari tersenyum.

"Bagaimana kabar Rena?"

"Dia sehat mah," sahut Dewi tersenyum hangat.

"Dewi, kamu sudah seperti putri mamah. Apapun yang yang terjadi, hanya kau yang mamah anggap sebagai menantu," tiba-tiba saja berbicara aneh.

"Mamah ... ada apa sebenarnya?" Dewi kali ini semakin bingung. Dia benar-benar tidak mengerti arah pembicaraan ini.

"Pertahankan rumah tanggamu apapun yang terjadi. Kasihan Rena," ucap mamah mertuanya semakin membuat Dewi memicingkan matanya.

"Maksud mamah?" Dewi semakin melongo saja. Padahal dia juga masih menunda pengajuan perceraian itu. Tapi mamahnya berbicara seakan dia dan Prasetyo akan berpisah saat ini. Aneh, batinnya.

Akhirnya Dewi dan Prasetyo pulang karena ibunya tidak mau di tunggu. Prasetyo terlihat diam sepanjang perjalanan. Wajahnya tegang dan murung.

.

Jika masih bisa sebenarnya Dewi ingin menyelamatkan bahtera rumahtangga nya sebelum dia mengambil langkah terakhir. Setidaknya sampai kondisi mamah mertuanya sehat kembali.

Seperti manusia pada umumnya. Ada saatnya kaki salah melangkah dan hati tersesat. Namun selalu ada jalan kembali kejalan yang benar. Dan sudah menjadi tugasnya juga untuk membawa kembali suaminya yang tersesat jalan. Jika saja dia punya kekuatan untuk memaafkan. Kenyataannya memaafkan dan melupakan sangatlah berat untuk di lakukan.

"Dewi, ada yang ingin aku bicarakan," Dewi menoleh dengan mengerutkan keningnya.

"Apa mas?"

Tiba-tiba suaminya bersimpuh di kakinya dan menangis tersedu-sedu sambil menundukkan kepalanya.

Apa lagi ini? Batin Dewi

"Aku bersalah padamu. Aku telah khilaf. Aku dan Maya pernah berhubungan ...!" Prasetyo ingin mengambil hati Dewi bahkan dia rela bersimpuh di kakinya.

Deg!

Dewi kaget dan shock mendengar suaminya mengakui kesalahannya. Namun dia merasa ada yang janggal dengan semua ini. Namun kali ini sungguh diluar dugaan karena suaminya tiba-tiba mengatakan hal yang jujur.

"Apa mas?!" Dewi kaget namun tidak menangis.

"Maafkan aku. Aku akan bertobat dan berjanji tidak mengulanginya lagi!" Ucap Prasetyo memohon dikakinya.

"Mas ...!" Dewi tidak tahu harus apa saat ini.

Plaaakkkk!

Dewi menampar Prasetyo. Satu tamparan sedikit mewakili rasa sakit hatinya. Satu tamparan sebenarnya tidaklah cukup untuk membalas perbuatannya.

Prasetyo mendongak kaget. Dia dan Dewi saling berpandangan. Dewi terdiam, begitu juga suaminya.

"Aku kecewa padamu Mas!"

Ucapnya lalu keluar dari kamar itu. Dia ke kamar Rena dan meninggalkan Prasetyo sendirian yang masih terduduk di lantai.

Dikamar Rena, Dewi melihat tangannya berulang kali dengan sedih. Tangan yang baru saja dia gunakan untuk menampar suaminya sendiri. Bukankah dia pantas mendapatkan tamparan itu, sebelum kata maaf? Benarkah Dewi akan memaafkan perbuatannya? Dewi sungguh di ambang keraguan yang sangat besar.

.

Esok harinya, Prasetyo dan Dewi tidak berbicara. Mereka sarapan namun dua-duanya terdiam.

"Aku berangkat dulu Mas!" Berbicara tanpa melihat ke arahnya.

"Biar aku antar!" Prasetyo berusaha mengambil hatinya.

"Tidak usah, aku naik taksi saja!" Tolak Dewi.

Dewi langsung ke kantor, sementara Prasetyo pergi kerumah sakit terlebih dahulu. Dia tidak ingin kehilangan Dewi karena itulah dia mengakui kesalahannya atas saran dari mamahnya. Bahkan mamahnya pura-pura sakit jantung agar rumah tangga putranya terselamatkan.

"Mah, aku sudah mengakuinya seperti saranmu," ucap Prasetyo di samping sang mama.

Sang mama menoleh dan melihat pipi putranya memerah. Dia tersenyum kecut, pasti menantunya itu telah menamparnya.

Mamanya masih kesal pada putranya sendiri hingga menatapnya dengan geram.

"Mamah kecewa padamu. Bisa-bisanya kau melakukan kesalahan besar seperti itu! Sekarang kau libatkan mamah juga karena kebodohanmu itu!" Ucap sang mamah dengan geram.

"Aku sudah jujur padanya, seperti saranmu," Prasetyo tertunduk sesaat. Tidak lama kemudian hening. Prasetyo lalu pamit untuk ke kantor.

.

Siang hari, Dewi menemui sang mamah mertua saat jam makan siang. Dia ingin melihat keadaannya, karena rumah sakit itu juga tidak terlalu jauh dari kantornya.

Sesaat hening saat dia bertemu dengan sang mamah.

"Dewi, Prasetyo melakukan kesalahan besar padamu. Demi aku, maukah kau memaafkannya?" sang mama menatap lekat wajah menantunya.

"Mamah?!" Dewi menatap mamahnya dengan terkejut bukan kepalang. Dia tak sanggup berkata-kata.

"Kau sudah aku anggap seperti anakku juga. Aku tahu aku tidak pantas memintamu untuk memaafkannya. Kau adalah istri yang baik, kau juga menantu yang baik. Aku sangat menyayangimu. Maukah kau memaafkan kesalahan anakku?" Sekali lagi sang mamah memohon padanya.

Dewi terpejam dan dia tak bergeming.

"Jangan membuat keputusan dalam keadaan marah. Pikirkan lagi saat kau sudah tenang," ucap sang mamah mertua kala Dewi tidak mengangguk dan hanya terdiam membisu.

.

Malam hari,

Prasetyo terlihat marah karena mengetahui jika Dewi diam-diam menemui seorang pengacara.

Dewi berdebat dengan Prasetyo karena Prasetyo merasa Dewi tidak terbuka dan mengambil keputusan tanpa berbicara dulu dengannya. Dia adalah kepala keluarga, apapun yang akan Dewi lakukan harus dengan izinnya, itu yang Prasetyo pikirkan.

"Aku tidak bisa Mas! Hubungan seperti ini tidak sehat. Kita akan berpisah baik-baik tanpa saling mempersulit satu dan yang lainnya," ucap Dewi dalam perdebatan itu.

"Tidak!" Jawab Prasetyo tegas.

"Ini sudah keputusan ku!" Dewi tidak mau mengubah keputusannya.

"Aku bilang tidak!" Prasetyo berteriak dan Dewi ketakutan.

"Aku bilang tidak bercerai! Tidak ada perceraian atau apapun! Camkan itu!" Prasetyo semakin berteriak dengan suara penuh amarah.

"Aku tetap akan bercerai!" ucap Dewi.

"Tidak ya tidak!" Teriak Prasetyo.

Plakkk!

Tangan Prasetyo melayang ke pipinya.

Prasetyo menampar pipi Dewi hingga dia terpelanting di sudut ranjang. Tubuhnya terhempas ke lantai. Dan dia tertunduk dengan memegang pipinya yang sakit.

Dengan nafas tersengal-sengal Dewi memejamkan matanya dan rasa sakit kembali mendera hatinya. Dia tidak menduga Prasetyo akan menamparnya.

"Dewi, maafkan aku," Prasetyo tersadar atas kelepasan yang baru saja dia lakukan.

"Aku ..." Prasetyo menatap istrinya dan akan memegang pipinya yang memerah.

Ada darah di sudut bibir Dewi. Dewi masih tak menduga hal ini akan terjadi. Dadanya masih berdebar hebat dan dia merasa gemetaran.

"Aku minta maaf!" Lagi-lagi Prasetyo meminta maaf.

"Tega sekali kamu memukulku!" Dewi langsung berdiri dan berlari ke kamar Rena.

Suster yang akan masuk dan tidur di kamar Rena akhirnya tidak jadi. Dia lalu tidur di kamar bibi.

"Sepertinya Non Dewi dan Tuan bertengkar lagi. Dia menangis dan bibirnya berdarah," ucap suster itu pada bibi.

"Apa?"

"Non Dewi tidur di kamar Rena. Aku tidur sini ya mbok?"

"Ya. Sebaiknya kau disini saja. Apalah kita, kita tidak bisa ikut campur urusan majikan," ucap sang bibi.

Didalam kamarnya, Prasetyo menjambak rambutnya sendiri karena merasa marah pada dirinya yang tidak bisa menahan emosi.

Ini pertama kalinya dia memukul istrinya sendiri. Selama berumah tangga, belum pernah sekalipun mereka bertengkar sehebat ini.

Bersambung ...

Terpopuler

Comments

Martika Tika

Martika Tika

kenapa ada istri setolol dewi

2023-12-30

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!