Alana terkesiap kala membuka pintu dan melihat seseorang yang tidak asing berdiri dihadapannya.
"Ada angin apa Bibi datang kemari?" tanyanya dengan tatapan tidak suka.
"Sudah aku katakan, jangan memanggilku dengan sebutan itu!" tegasnya dengan kesal.
Alana menanggapinya dengan tersenyum tipis. Lalu dia menatap serius wajah sang Ibu tiri yang mulai menua. "Apakah dengan menikahi Papa, maka sebutan Bibi itu akan berubah?" tanya Alana dengan menjeda ucapannya.
"Tidak akan!" jawabnya sendiri sembari berjalan masuk dan membiarkan pintu kamarnya terbuka. "Sama sekali tidak akan berubah, Bibi tetaplah pelayan bagiku!" ulang Alana dengan nada serius. Kemudian tangannya bergerak cepat meraih sesuatu.
"Cih, sekarang kau sudah berani menantangku! Apa kau pikir dengan menikahi Kenzo, maka kau sudah memiliki kekuatan?" balas Sally dengan nada emosi. "Jangan mimpi! Dia bahkan akan segera menceraikanmu."
"Itu bukan urusan Bibi!" Alana sedikit muak dengan sikap angkuh Ibu tirinya yang telah menyebabkan kematian Ibunya itu. "Kalau tidak ada urusan lagi, Bibi sudah boleh pergi!"
"Kau mengusirku? Apa ini balasanmu selama 12 tahun aku merawatmu, bahkan tidak sedikit pun kau menghargaiku sebagai Ibumu!" teriak Sally hingga mengundang perhatian para pelayan di rumah itu. Dia dengan sengaja mengeraskan suaranya, agar seisi rumah mendengarkan.
Alana tidak menyahut ucapan Sally. Dia berdiri diposisinya sembari menunggu tindakan Sally selanjutnya.
Sally pun diam. Dia seperti pemeran antagonis yang lupa naskah. Tiba-tiba dia terjatuh dan berpura-pura menangis. "Hiks. Hiks. Kau sungguh kejam. Bahkan kau mulai berani mendorongku. Apa selama ini kau baik padaku, hanya karena ada Papamu?"
Alana memutar bola matanya. Dia jengah dengan sikap kepura-puraan Ibu tirinya. "Sudah cukup dramanya, Bi. Katakan apa tujuan Bibi datang?"
Sally kembali berdiri. "Kau harus membantu Papamu!" pintanya dengan sedikit memaksa. "Jangan kira kau menikah dengan Kenzo itu usahamu sendiri!" ucap Sally dengan setengah berbisik. "Kau harus ingat Alana, bagaimana kau bisa menikah dengan Kenzo", lanjutnya dengan menaikkan alisnya.
"Aku tidak akan pernah lupa dengan kejadian itu! Bahkan aku tidak lupa dengan apa yang Papa dan Bibi lakukan, hingga aku berada di tempat ini, tempat yang tidak pernah aku inginkan."
"Cih, kau munafik! Dari penampilanmu saja sudah terlihat jelas, kau sangat menikmati kehidupanmu di sini."
"Itu artinya Bibi mengakui, kalau kehidupanku sebelumnya sangat menyedihkan", balas Alana dengan tersenyum penuh arti. "Kalau begitu aku harus berterimakasih pada Papa dan Bibi, karena telah menikahkanku secara paksa." Alana menekankan kata paksa seraya menahan emosi.
Sally masuk ke dalam kamar Alana. Lalu menutup rapat pintu kamar. Netranya menyusuri setiap sudut ruang sempit kamar Alana. "Cih, ternyata kamarmu sama jeleknya, dimana pun kau berada", ledek Sally.
"Jika Bibi datang kemari hanya untuk menghina saya, lebih baik Bibi segera tinggalkan tempat ini dan jangan pernah lagi datang kemari", balas Alana yang tetap berusaha menahan emosinya.
"Anak pembawa sial sudah mulai berani bicara. Apa kau pikir Kenzo akan membelamu jika kau dalam masalah? Atau kau akan mengadu pada Papamu yang bo**h itu?" Sally tertawa meledek. "Dia tidak akan pernah mendengarkanmu!" tukas Sally.
"Papa sudah dengar semua yang diucapkan oleh istri Papa tercinta ini? Silahkan Papa nilai sendiri bagaimana kehidupan Alana selama di sana", pungkas Alana seraya mematikan ponselnya. Alana telah menghubungi sang Ayah saat dia berjalan masuk ke dalam kamarnya.
Sally mulai panik. "Sejak kapan kau menelpon Papamu?"
"Silakan Bibi tanyakan sendiri pada Papa! Dan untuk masalah perusahaan, aku sudah janji pada Papa akan berusaha meyakinkan Tuan Kenzo, tapi aku melakukannya bukan karena Bibi memintanya. Aku melakukannya karena perusahaan itu hasil kerja keras Papa dan almarhumah Mama", sahut Alana dengan santai. Lalu dia berjalan melewati Sally dan membuka pintu kamarnya. "Silakan Bi..."ucapnya dengan tangan terbuka.
Sally keluar dari kamar Alana. Dia bernafas lega, karena Alana berjanji akan berbicara pada Kenzo. Di saat bersamaan dia juga memikirkan alasan yang tepat yang akan dia katakan pada Ramond saat tiba di rumah nanti.
...---...
Alana mendengus kasar seraya menyandarkan tubuhnya di daun pintu. Ingatan saat kecelakaan yang di alami oleh Ibunya kembali di putar dalam pikirannya. Air matanya pun tiada henti mengalir membasahi pipi chubbynya.
"Mama..." ucap Alana lirih. Mata sembabnya menunjukkan betapa pilunya hati Alana saat ini.
Alana kembali mengingat peristiwa ketika Ibunya mengetahui hubungan gelap sang Ayah dengan pelayan dirumahnya. Delapan tahun lamanya sang Ayah menutupi hubungannya dengan Sally yang saat ini menjadi ibu tirinya dan akhirnya diketahui oleh Ibunya Alana, namun Ibunya Alana tidak siap menerima kenyataan itu hingga Ibunya Alana mengalami mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi dan terjadilah kecelakaan.
Alana menghela nafas berat. Air matanya kembali berderai kala bayangan sang Ibu yang tergeletak dan penuh dengan noda merah hampir disekujur tubuhnya. Tanpa terasa mata lelah Alana akhirnya terlelap masih dengan meneteskan air mata.
...---...
Alana terbangun kala mendengar suara ketukan pintu kamarnya.
"Nyonya..." suara itu terdengar jelas, karena Alana tertidur tepat di dekat pintu kamarnya
Alana bangkit dari posisinya dan membukakan pintu. "Ya, ada apa Bi?" tanya Alana dengan suara paraunya.
"Maaf, Nyonya. Saya cuma mau mengingatkan, kalau Nyonya belum makan siang sama sekali. Ini sudah pukul 4 sore", ucap Kokom dengan sopan.
"Saya tidak lapar, Bi. Tapi saya mau minta tolong dibuatkan teh hangat", pinta Alana dengan wajah lesu.
"Baik, Nyonya." Kokom melangkahkan kakinya menjauhi Alana. Kemudian Alana menutup kembali pintu kamarnya. Dia berjalan menjauhi pintu dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membasuh wajahnya.
Tidak berselang lama Bibi Kokom datang dan mengetuk pintu kamar Alana.
"Sebentar, Bi", sahut Alana saat baru saja selesai merapikan rambutnya. Lalu dia berjalan untuk membukakan pintu. "Terimakasih, Bi", ucap Alana kala segelas teh hangat dia terima dari tangan Kokom.
"Sama-sama, Nyonya", sahut Kokom ramah. Lalu dia pergi.
Alana menutup pintu kamarnya dan berjalan menuju kursi di dekat jendela kamarnya. Dia duduk sembari menyesap sedikit demi sedikit teh hangat di dalam gelas. Tanpa Alana sadari waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Dia pun masuk ke dalam kamar mandi dan menyelesaikan ritual mandinya.
Setelah berpakaian rapi, Alana bergegas keluar dari dalam kamarnya dan mencari keberadaan Kenzo.
"Bi Kokom, apa Tuan sudah pulang?" tanyanya.
"Sudah Nyonya. Tadi di tuntun Pak Roni ke ruang kerjanya."
"Oke, terimakasih, Bi", balas Alana. Lalu dia berjalan menuju lantai atas.
Tok. Tok.
Alana berdiri sembari mengetuk pintu.
"Masuk!" terdengar suara bariton Kenzo dari dalam.
Alana membuka handle pintu dan menjulurkan kepalanya. "Permisi Tuan", ucapnya.
"Ya, masuklah", ucap Kenzo. Lalu dia memberi isyarat agar Roni keluar dari ruangan itu.
Alana masuk ke dalam bersamaan dengan Roni keluar. Dia berdiri tepat dihadapan Kenzo dengan sedikit gugup.
"Ada apa?"
"Maaf saya mengganggu waktu Tuan. Ada yang ingin saya sampaikan mengenai perusahaan Papa saya. Tuan --- "
"Jangan teruskan! Saya tidak akan mengubah keputusan saya!" sahut Kenzo dengan tegas. Dia menolaknya sebelum Alana menyelesaikan ucapannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
FT. Zira
cerdas😏
2023-10-05
0
FT. Zira
haishh... yang kek gini ceburin ke rawa" kyk nya akan bagus dah
2023-10-05
0
ZasNov
Ya ampun greget banget sama Sally.. Dia harus mendapat hukuman atas perbuatan buruknya selama bertahun2..
Hmm, Kenzo.. Baru juga Alana mulai ngomong, udah dipotong aja..
2023-08-29
1