Section 17. Hujan Keterpurukkan

Hujan masih membasahi bumi. Nyaris 1 jam berlalu semenjak tragedi duka yang terjadi di antara mereka. Beberapa kali terdengar guntur yang menyambar, seakan menambah suasana kelam malam itu. Semua orang yang berada disana kecuali Kaira memilih untuk berteduh di bawa terpal yang disiapkan Erden dan Juno. Mereka sama-sama tenggelam dalam keheningan. Tak ada yang bersuara apalagi dengan aura kesedihan Cathleen yang masih menguar mengelilingi mereka. Teresa masih setia mendekap Cathleen, sesekali dia membisikkan kata-kata penyemangat di telinga muridnya tersebut, meski tak ada tanggapan yang diberikan.

Teresa mengelus lembut kepala Cathleen sembari mengedarkan maniknya ke arah Kaira yang masih setia berdiam di bawah hujan. Anak muridnya satu itu hanya berdiam duduk di atas dinding pembatas, tempat Carlos melompat tadi. Gadis Helda duduk disana menundukkan kepalanya sesekali memainkan jari jemarinya. Dia menggoreskan kukunya yang belum sempat dipotong, hingga ada banyak goresan yang terukir di jari jemari yang masih dihiasi bercak darah mengering. Alena maupun Sena sudah berulang kali menghampiri, mencoba membujuk gadis itu agar berteduh. Sayangnya Kaira yang seakan kehilangan jiwanya, tak bergerak dari tempatnya. Bahkan terlihat dia mengabaikan ajakan sahabatnya.

Alena mendengus sebal saat ia kembali ke tempat mereka berteduh. Dia mendudukkan dirinya dengan kasar di samping Sena sembari merengut kesal. "Sia-sia, tak ada gunanya mulutku berbusa-busa membujuk si bodoh itu. Dia masih kepala batu, memilih berdiam di sana daripada berteduh. Sial, dia ingin jatuh sakit apa ?!" keluhnya kesal.

"Kalau boleh jujur, lama-lama aku jadi takut bila senior Kaira nekat melompat dari atas gedung ini" Juno berceletuk, kemudian si pemuda bergidik ngeri membayangkan skenario buruk itu.

Secara spontan Naomi yang berada didekatnya langsung memukul kepala pemuda Lee. "Sembarangan kamu ngomong. Jangan aneh-aneh Juno !" peringatnya.

"Juno lebih baik kamu diam ! Jangan memperkeruh keadaan kita saat ini !" Erden ikut memperingati temannya itu. Juno meringis pelan kemudian meminta maaf dengan segera atas perkataannya tadi.

Sena menghela nafas panjang, "kurasa dia terlalu menyalahkan dirinya" ujarnya pelan. Si gadis Khalila memeluk lututnya, berusaha menghangatkan diri dari dinginnya udara yang menyelimuti tubuh basahnya. "Kai menyalahkan dirinya atas kematian Mr. Joselyn. Saat tadi aku menghampirinya dia terus bergumam 'harusnya aku tidak mengatakan hal bodoh itu. Dia pasti masih ada disini.' Kalimat yang sama yang terus dia ucapkan. Aku berusaha membujuknya tapi dia mengabaikanku."

Alena menyadarkan tubuhnya yang lesu pada dinding di belakangnya. "Kita tak bisa menyalahkan dia atas kejadian buruk tadi. Memangnya dia siapa ? Pencipta takdir ? Tapi sungguh, aku nyaris memukul kepalanya bila tadi tidak melihat tatapan anak itu yang kosong. Seakan-akan tak ada kehidupan yang mendiami tubuh itu."

Teresa memandang sendu ke arah murid-muridnya tersebut. Keadaan mereka kacau bukan main. Dan Teresa merasa sangat bersalah karena dirinya seakan tak bisa memberikan bantuan apapun. "Jujur, saya tidak bisa berkata apapun saat ini. Maafkan saya, karena tak bisa memberikan bantuan apapun yang bisa membantu kita" ujarnya dengan nada tulus.

"Anda tidak bersalah" Cathleen tiba-tiba membuka suaranya. Dia memegang erat tangan sang guru yang sedari tadi mengusap kepalanya. "Tak ada yang bisa disalahkan dalam situasi ini. Kenyataannya tak ada satu orang pun entah itu saya, anda, maupun kalian semua yang menginginkan ini terjadi. Yang patut disalahkan adalah mereka yang menyebabkan virus ini tercipta" Cathleen menekankan nada suaranya. Dia mengepalkan tangannya erat, dalam benak dia berjanji akan membalas kematian sang kakak kepada mereka yang memang harus bertanggung jawab.

1 jam dia habis berlarut dalam duka sembari merenung. Banyak hal yang dia pikirkan tentang tragedi buruk yang menimpanya. Pada awalnya dia menyalahkan Kaira dan semua rencana yang gadis itu buat. Tapi setelah lama dia berpikir, Kaira pun tidak mengharapkan ini terjadi. Semua berawal dari keputusan nekat Carlos, sang kakak. Bila dia menyalahkan Kaira, bukankah ini juga salahnya. Toh, dia pun tidak menolak rencana ini untuk dilanjutkan.

Sedari awal Kaira sudah mengatakan bahwa dia sendiri akan mengorbankan dirinya untuk mendatangi rooftop, bilamana itu bisa menyelamatkan mereka semua. Kenyataannya mereka lebih memilih untuk berangkat bersama-sama. Mencoba untuk bertahan hidup sekuat tenaga. Jadi, Kaira tak bisa menjadi subjek yang patut benar-benar bisa disalahkan dalam perkara ini. Cathleen memikirkan hal itu secara mendalam sedari tadi.

"Aku akan berbicara kepadanya" Cathleen berujar penuh keyakinan, kemudian dia menjalankan kursi rodanya menembus hujan yang masih turun.

Kaira masih dengan kegiatannya. Menggesek-gesekkan kuku-kuku hingga beberapa memberikan goresan baru di jari jemarinya. Pandangannya kosong menatap lurus ke arah genangan darah yang ada di bawahnya. Matanya memejam erat, kala kejadian tadi berputar kembali di kepalanya bak kaset yang rusak. Dengan emosi yang bercampur aduk tak karuan, dia menekan kukunya lebih dalam pada jarinya. Tak mempedulikan bagaimana jarinya yang mulai menampakkan luka baru yang lebih besar, bahkan sudah mengeluarkan tetesan darah.

Matanya secara refleks terbuka, kala seseorang menarik dan menghempaskan tangannya dengan kasar. Orang itu berusaha menghentikannya dari menyakiti diri sendiri. Sejenak dia menatap nanar orang yang melakukan hal tersebut, sebelum memalingkan kepala kemudian kembali melakukan kegiatannya yang terhenti. Tak sanggup melihat sahabatnya itu, rasa bersalahnya makin membuncah. Pemikirannya mulai kacau dan kusut, total membuat Kaira tak bisa berpikiran waras.

Cathleen yang melihat itu mendengus kasar, kemudian dia kembali menahan tangan Kaira yang tak henti membuat goresan tersebut. Dia mencengkram erat tangan itu membuat sang empunya menatap tak suka padanya. Meski dibaliknya, Cathleen bisa melihat bagaimana binar rapuh yang disembunyikan. Kaira tak bisa membohonginya.

"Lepas..." kata Kaira dengan nada pelan penuh penekanan.

"Nggak bakal kulepas sampai kamu mau berhenti !" Cathleen balas tak kalah sengit.

"Kate..."

"Apa ?! Mau marah padaku ?!" kata Cathleen dengan nada kesal. "Jangan bodoh Kaira ! Aku tau kamu sering ngelakuin hal yang nggak waras, tapi sekali ini coba berpikirlah yang waras. Dengan kamu melakukan ini, apakah semua akan berubah ?! Nggak ada Kai ! Semua bakal tetap sama ! Kakakku nggak bakal balik kesini, meski kamu ngelukain tangan begini ! Ataupun jika kamu mencoba melompat dari sini !" Cathleen berteriak penuh emosi.

"Berhenti ! Jangan kayak gini ! Kamu pikir kamu yang nentuin takdir hidup dan mati seseorang ?! Nggak ada yang bisa memprediksi ini bakal terjadi ! Nggak ada yang mengharapkan ini terjadi ! Aku, kamu, bahkan kakakku sekalipun ! Jangan bodoh Kaira ! Berhenti, jangan ngelakuin ini lagi. Stop nyalahin dan menyakiti dirimu sendiri Kai. Aku nggak pernah nyalahin kamu atas semua kejadian buruk ini Kaira Helda. Yang lain pun juga gitu" Cathleen berusaha menyadarkan temannya itu.

"Kalo kamu nge-stuck disini aja, nggak mungkin tiba-tiba saja ada perubahan dan kita berakhir happy ending. Nggak kayak gitu cara kerjanya Kai. Let's move on. Ayo kita tinggalkan masa kelam ini, masih ada pr untuk kita. We must survive from this damn nightmare ! Berhenti kayak gini dan kembali jadi Kaira si sinting yang nggak pernah kenal namanya kata malu. Kembali ya Kaira Helda..."

Kaira terdiam sejenak sebelum berakhir kembali menangis di hadapan sahabatnya itu. Dia mengusap kasar wajahnya yang basah oleh air hujan dan air matanya sendiri. "Maaf, aku minta maaf. Sungguh-sungguh. Aku goblok banget ya Kate" ujarnya dibarengi isak pelan. Dirinya seakan ditampar dan disadarkan dari tindakan bodohnya.

Cathleen tersenyum tipis, "emang kamu goblok banget. Heran aku. Kok bisa aku, Alena, ama Sena kuat temenan ama kamu. Makanya kurang-kurangin nonton drama, dasar sialan. Kamu bener-bener ngedrama banget hari ini !" omelnya kesal dengan airmata yang ikut mengalir. Ikut menangis bersama sahabatnya itu dibawah hujan yang masih mengguyur mereka.

Kaira terkekeh kecil, "ya maaf kalo temenmu ini udah nggak waras, goblok, segala anaknya ngedrama lagi" ujarnya diakhiri dengan cengiran lebar.

"Dimaafin kalo kamu ikut neduh, terus bantu kita-kita nyiapin rencana selanjutnya" Kaira mengangguk kemudian melompat turun dari tempatnya duduk dan memijak lantai rooftop. Dia mendorong kursi roda Cathleen ke tempat teman-teman dan gurunya yang sedang berteduh. Mereka yang sedari tadi menjadi penonton setia dan menunggu kehadiran kedua sahabat itu.

Kaira meringis pelan, "maaf membuat kalian kerepotan gara-gara aku" ujarnya.

Alena memukul lengan temannya tersebut, kemudian merangkul erat leher Kaira. "Makanya, dibilangin tuh dengerin kata temennya. Malah sok-sokan budeg gitu" ujarnya kesal.

"Padahal kamu sendiri yang sering bilang ke kita, ada apa-apa tuh cerita jangan dipendam sendiri. Malah kamu sendiri yang ngejilat ludah, dasar kamu ya" Sena ikut mengomel. Kaira hanya bisa membalas dengan tawa canggung. Dia baru menyadari terlalu terpuruk malah membuat dirinya terlihat bodoh. Lebih parah membuat repot banyak orang. Kaira menyesali hal itu sekarang.

-Kkeut

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!