Bab 11

Dewi mengulas senyum lebar kala menatap rumahnya sudah berada di depan mata. Ia tarik koper ingin segera menemui ibunya yang sedang di kerubungi pembeli kebanyakan Ibu-Ibu memilih sayuran.

"Assalamualaikum..."

Kontan semua ibu-ibu menoleh, mendengar wanita mengucap salam. Dewi mengangguk santun seraya tersenyum.

"Kamu," Ujar semuanya. Bu Endang yang terhalang oleh pembeli berjinjit agar melihat siapa yang menjadi pusat perhatian.

"Dewi" Sapa bu Endang, meletakan sayuran yang di pegang lalu menerobos para pembeli menghambur ke pelukan sang putri.

"Ibu..." Dua wanita yang saling merindukan itupun saling merangkul. Namun, tangis Dewi pecah, kala ingat ia tidak bisa menjaga barang berharga miliknya. Padahal Dewi sering mendengar nasihat dari wanita yang melahirkan dirinya itu.

"Perlu juga kamu waspada kepada orang-orang terdekat. Waspada berbeda dengan curiga. Sebab, kecurigaan yang berlebihan akan mengganggu proses sosialisasi kamu kepada lingkungan Nak." Nasihat itu masih terngiang di telinga Dewi. Memang agak dilematis juga bagi Dewi. Di satu sisi harus waspada dan di sisi lain harus percaya terhadap sahabat maupun kekasihnya. Kini Dewi baru sadar petuah dari sang ibu memang benar adanya.

"Dewi... kok malah menangis." Bu Endang merenggangkan pelukan. Wanita itu menatap wajah putrinya ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang hilang tetapi entah apa itu.

"Calon pengantin sudah pulang," Kata salah satu wanita yang sudah selesai belanja mendekati Dewi.

"Tante... " Sapa Dewi, segera mengusap air mata lalu salim tangan tetangga sebelah rumahnya itu.

"Sebaiknya kamu sarapan dulu terus istirahat Wi," Titah bu Endang.

"Baik Bu" Dewi segera melanjutkan perjalanan ke rumah. Di dalam tampak sepi, sudah pasti kedua adiknya sekolah dan sang bapak belum pulang jualan.

Dewi masuk kamar yang sudah tiga bulan tidak ia tempati. Walaupun kamarnya bukan seperti kamar Mak Ningrum, kasur empuk dan luas, tetapi Dewi bersyukur. Segera ia jatuhkan tubuhnya ke tempat tidur, tidak memakan waktu lama ia segera tidur pagi.

Allah hu akbar... Allah hu akbar.

Mendengar suara adzan, Dewi pun terbangun tidak buang waktu lagi segera shalat dzuhur. Selesai shalat, kemudian keluar dari kamar. Samar-samar merdengar obrolan pria dan wanita di meja makan. Dewi mendengarkan dari jarak yang agak dekat.

"Jadi, anak kita sudah sampai Bu?" Tanya Pak Adi. Rupanya pria berusia 45 tahun itu baru saja pulang dari jualan. Tampak topi caping masih melekat di kepala.

"Iya, sini topinya aku simpan dulu." Kata bu Endang. Pak Adi segera melepas topi lalu dengan cepat sang istri mengambilnya.

"Hayo... lagi ngomongin aku." Dewi merangkul pundak pak Adi. Pak Adi terkekeh, lalu dicandak kedua tangan halus putrinya dengan kedua tangan. Dewi ingin rasanya kembali seperti dulu, selalu dimanja sang bapak seperti ini.

"Ayo, kita makan dulu." Ujar bu Endang, setelah meletakan topi suaminya, bu Endang segera kembali.

Dewi melepas tangan dari pundak pak Adi. Menggeser kursi di sebelah sang bapak kemudian duduk, menatap tampilan masakan rawon masih tampak ngebul lengkap dengan kerupuk dan sambal.

"Nggak menuggu adik-adik Bu." Dewi menatap dua kursi di depanya yang masih kosong merasa tidak biasa. Dulu mereka sering makan bersama. Lagi pula Dewi sudah kangen dengan kedua adiknya itu.

"Adikmu katanya ada pelajaran tambahan, biar saja kita makan dulu." Tutur bu Endang, agar kedua putranya nanti menyusul.

Dewi makan rawon kesukaannya, yang biasanya habis satu mangkok, tetapi kali ini hanya makan sedikit, mengundang perhatian sang ibu.

"Kok kamu makan hanya sedikit, Nduk?" Tanya bu Endang kecewa. Pasalnya ia sengaja masak kesukaan putrinya.

"Kenyang Bu." Jawab Dewi pendek lalu membereskan piring.

"Tapi badan kamu berisi, Nduk." Sela pak Adi terkekeh. Jika bu Endang merasa khawatir karena putrinya makan sedikit, berbeda dengan pak Adi merasa senang melihat tubuh putrinya agak gemuk, itu artinya putrinya senang selama di Jakarta.

Dewi hanya menjawab pak Adi dengan senyuman, kemudian jalan ke dapur mencuci piring di bawah sambil jongkok.

Setelah membersihkan meja makan, dan mencuci piring. Dewi duduk di ruang tamu seorang diri sambil mengotak atik benda ajaib dari orang misterius.

Terdengar suara motor berhenti di depan rumah. Dewi segera berdiri melihat dari jendela. Hatinya berdebar-debar kala yang datang pria tampan yang selalu mengisi ruang hatinya.

Tok tok tok

Dewi yang sudah berdiri di pinggir pintu seharusanya tanganya tinggal menarik kenop, tetapi terasa sulit untuk digerakan. Dewi menarik napas panjang sebelum akhirnya kembali tersadar semua harus dihadapi bukan di hindari. Dan pada akhirnya tangannya bergerak menarik kenop.

"Mas." Sapa Dewi menatap sekilas pria di hadapannya, lalu menunduk.

"Aku nggak disuruh masuk nih?" Tanya Firman tersenyum. Sepasang kekasih itu berdiri di dalam dan di luar pintu.

"Masuk Mas." Dewi pun akhirnya mengucap kata, lalu meminta Firman duduk.

"Aku bikin minum dulu Mas," Dewi hendak ke dalam. Namun, tanganya ditahan Firman.

"Tidak usah, aku sudah minum." Firman mengajak Dewi duduk berhadapan. Kemudian membicarakan tentang pernikahan mereka.

"Ini aku sudah memesan undangan, dan ada tiga contoh seperti ini. Kira-kira kamu pilih yang mana?" Tanya Firman tanpa basa basi.

Dewi tercekat mendengar ucapan Firman antusias seperti itu seketika sedih, andai saja dirinya masih utuh, tentu akan menerima dengan mudah.

"Dewi... kamu tidak suka? Atau kamu mau memilih sendiri, ke tempatnya?" Tanya Firmansyah. Ia pikir Dewi tidak suka dengan model undangan yang ia pesan.

"Bukan itu Mas, sebelum kita membicarakan masalah pernikahan ada yang ingin aku bicarakan." Kata Dewi sejak bertemu menghindari tatapan mata Firman.

"Mau menunda apa lagi Wi? Apakah kamu sudah tidak mencintai aku lagi? Atau kamu selama di Jakarta tiga bulan, sudah ada penggantiku?" Cecar Firman.

"Bukan itu Mas." Dewi menunduk, kepalanya bergerak ke kiri, ke kanan. Air matanya menetes.

"Aku minta batalkan saja pernikahan ini Mas." Dewi tergugu.

"Dewi." Firman berjongkok di hadapan Dewi. Ia angkat dagu kekasihnya. "Tatap mata aku Wi, apa kamu akan memutuskan hubungan kita begitu saja, yang selama dua tahun ini kita jalin?" Tanya Firman mengusap air mata Dewi dengan jari.

"Perlu kamu tahu Wi, selama kamu pergi, aku selalu menahan Rindu. Handphone kamu tidak bisa aku hubungi. Aku merasa bahwa kamu sengaja menghindari aku." Tuduh Firman.

Dewi pun menatap mata Firman sendu, entah bagaimana ia akan memulai bicara. Jika Dewi bicara hati Firman akan terluka. Tidak bicara pun sama terlukanya.

"Tidak Mas, aku sudah tidak mencintai kamu lagi." Ujar Dewi kali ini kembali menghindari mata Firman.

"Kamu bohong Wi! Bibir kamu bisa bicara begitu, tetapi mata kamu ini tidak bisa berbohong!" Firman menyentuh pelipis mata Dewi dengan jari.

...~Bersambung~...

Terpopuler

Comments

Nur Hidayah

Nur Hidayah

Harusnya bicara dulu yg sebenarnya pada Firman, Dewi, siapa tau Firman mau menerimanya, jgn lngsung mutusin gitu😢

2023-07-11

2

Eka elisa

Eka elisa

berhrp tu cogn misterius yg mkn nangka nya msk... firmn yg dpt kylit nya mak... 😁😁😁😁bikini cewek lain dong mak buat firman biar dewi ma pngeran mistrius itu.. 😁😁😁

2023-07-10

1

Eka elisa

Eka elisa

dewi dilema... mndingan jujur aj wi... kmu gk mau kn skiti firman tkut y ktika kmu jujur nanti kn sama aj bhkn lbih bikin firmn kcewa... gk ush kwatir wi.... khilngan firman kn msih ada cogn mistrius itu... 😁😁🙏aku curiga jgn"....kmu hmil wii...ko bdan kmu mulai brisi.. enthlah hy emk yg tau..

2023-07-10

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!