"Enak ya Wi, sering mendapat kado seperti kamu." Kata Jesi. Tanpa Dewi cerita, Jesi tahu karena di kamar mereka banyak kado dari orang misterius. Dari jam weker, handphone, boneka mahal, dan juga gaun yang harganya selangit.
"Kalau kamu mau, ambil saja Jes. Aku sudah ambil boneka kok." Tulus Dewi, lalu meneguk air putih setelah selesai makan.
"Ngaco! Nanti kalau aku pakai, terus ketahuan pengirimnya mampus aku." Jesi menggerakan telapak tangan di lehernya seperti memotong sesuatu. Dewi terkikik menatap Jesi tampak lucu.
"Memang kamu nggak pernah dapat kado dari Bang Dandi?" Selidik Dewi.
"Dapat juga sih..." Kali ini Jesi tersenyum. Selama dua bulan, ia sudah jadian dengan Dandi.
Dewi dan Jesi dimanapun berada tidak pernah bosan bercerita tentang Firman maupun Dandi, setiap ada waktu senggang. Apa lagi setiap malam sebelum tidur yang mereka bahas hanya Dandi dan Firman.
Selesai makan mereka kembali bekerja hingga sore hari, Dewi dibantu Ines merapikan tumpukan dokumen di meja kerja Daniswara.
"Kamu belum mau pulang Dewi?" Tanya Banuwati. Ia masih menunggu suaminya selesai rapat. Banuwati rupanya memperhatikan Dewi dan Ines yang masih bekerja di saat semua karyawan sudah pulang. Dewi masih bertanggung jawab merapikan pekerjaan untuk yang terakhir kali.
"Sebentar lagi Nyonya." Jawab Dewi sambil memasukan bolpen ke tempatnya. Setelah rapi, Dewi salim tangan Banuwati, kemudian keluar ruangan.
"Kamu kok akrab banget sama Nyonya Banuwati Wi?" Tanya Ines. Ines selalu memperhatikan tiap kali Dewi dan Banuwati berinteraksi.
"Oh, aku sering ke rumahnya Nes, soalnya aku tinggal satu rumah dengan Gayatri putrinya." Dewi menjelaskan. Mereka pun berkemas-kemas karena waktu pulang sudah lewat satu jam. Sementara Jesi sudah pulang lebih dulu, karena ambil kuliah malam.
"Nes, sekarang kan terakhir aku kerja, aku minta maaf, kalau selama ini punya salah sama kamu." Dewi memeluk Ines.
"Sama-sama Wi, aku juga begitu," Pungkas Ines. Mereka masuk ke dalam lift, hendak pulang ke rumah masing-masing.
"Wi, kita bareng saja," Ajak Ines, mereka sudah berada di parkiran. Ines membawa motor sendiri, sementara Dewi hendak numpang angkutan karena Jesi yang biasa pulang bersamanya langsung ke kampus sejak karyawan pulang jam 4 tadi.
"Aku mau ke stasiun dulu Nes." Tolak Dewi hendak pesan tiket untuk perjalanan besok pagi ke Surabaya.
"Elah Wi, hari gini pesan tiket pakai acara datang ke stasiun. Pesan saja online." Potong Ines. Di jaman yang serba praktis Dewi masih mengambil jalan yang rumit. Pikir Ines.
"Aku kan belum punya handphone Nes." Jujur Dewi, selama tinggal di rumah Mak Ningrum, Dewi jika ingin memberi kabar ayah dan ibunya selalu kirim surat, begitu juga sebaliknya. Jika memotong gajinya untuk membeli handphone, tentu Dewi berpikir dua kali. Sebab Dewi ingin membuktikan ucapanya kepada bu Endang membantu biaya adiknya sekolah.
"Bukanya kata kamu ada yang mengirim paket handphone, pakai saja, kali...." Saran Ines, lalu memaksa Dewi membonceng motornya.
Motor melaju lambat, seperti biasa pemandangan sore hari di kota Jakarta, saat pulang kerja dan anak-anak pulang sekolah jalanan padat merayap hingga tiba di gang sempit.
"Dada Dewi.. "
"Daaa... Ines,"
Begitu turun dari motor sebelum berjalan kaki menuju rumah Mak Ningrum. Dewi singgah di konter yang berada di pinggir jalan. Dewi bermaksud mengikuti saran Ines. Entah siapapun pengirim paket handphone itu, Dewi tidak perduli akan menggunakan. Toh, boneka beruang pemberian orang yang sama pun ia peluk setiap malam.
"Mas, saya mau beli nomor handphone." Kata Dewi sambil meneliti nomor yang di gantung.
"Yang ini Mbak, nomornya cantik seperti orangnya." Goda penjaga konter yang sepantar Dewi itu.
"Ya deh, saya pilih yang ini saja," Pungkas Dewi, ambil nomor cantik, lalu membuka tas slempang ambil selambar uang. Setelah membayar, Dewi segera melanjutkan perjalanan tanpa menanggapi pria yang menatapnya tidak berkedip sejak Dewi baru turun dari motor.
Hingga akhirnya tiba di rumah Emak, di dalam terdengar Mbok Sri sedang memasak.
"Mbok Sri." Sapa Dewi sambil tersenyum. Mata bulat itu memutar mencari para penghuni rumah, tetapi tidak ada selain Mbok. Mungkin semuanya berada di kamar.
"Mbak Dewi kok baru pulang?" Tanya Simbok karena saat ini sudah hampir magrib.
"Iya Mbok, menyelesaikan pekerjaan. Pada kemana Mbok, kok sepi?" Jawab Dewi sekaligus bertanya.
"Di kamar Mbak,"
"Oh," Jawab Dewi kemudian menapaki anak tangga. Ia buka pintu, menatap tempat tidur sudah mengiming-iming minta di tiduri.
Dewi meletakan tas slempang kemudian ke kamar mandi. Air di dalam bak yang berwarna biru membuat Dewi ingin segera menyiduk dan membasahi tubuhnya yang sudah seharian bekerja, membuat badanya terasa lengket.
Selesai mandi, kemudian magrib, Dewi membuka laci lemari ambil handphone yang sudah dua bulan yang lalu ia terima. Namun, Dewi sama sekali belum membuka segel.
Dewi segera duduk di kursi membuka kotak hendak memasang nomor. Namun, begitu mendengar pintu diketuk, Dewi beranjak membuka pintu terlebih dahulu.
"Kak Ratri." Sapa Dewi. Ternyata Ratri yang mengetuk pintu.
"Iya Wi, aku tadi dapat titipan dari Mama." Gayatri memberikan amplop tebal sudah pasti uang isinya.
"Dari Nyonya? Tetapi ada apa Kak?" Dewi terkejut. Tiba-tiba Istri Daniswara boss di kantor memberikan uang kepadanya.
"Wi, kata Mama... uang ini untuk hadiah pernikahan kamu nanti. Kamu kan mau menikah, tetapi uang ini bukan dari perusahaan loh." Tutur Ratri menjelaskan bahwa uang yang diberikan kepada Dewi, Wati ambil dari tabungan. Khawatir menjadi kecemburuan sosial di perusahaan, jika mereka tahu.
"Ya Allah..." Dewi menatap Ratri berkaca-kaca. Diantara segelintir orang yang menyakiti hatinya. Dewi bersyukur, masih lebih banyak orang-orang yang perhatian kepadanya.
"Nanti malam, saya mau kesana Kak." Dewi bermaksud mengucapkan terimakasih.
"Iya, nanti barengan sama aku. Oh iya Wi, apa kamu tidak menunggu aku menikah dengan Mas Arga dulu?" Tanya Ratri.
"Saya hanya bisa mendoakan Kak Ratri, semoga lancar," Jawab Dewi. Dewi sudah tidak bisa mengulur waktu lagi. Sebab, keluarganya di Surabaya, sudah menentukan tanggal.
"Ya sudah Wi, kita saling mendoakan saja." Kata Ratri mengalah. Lalu pandanganya tertuju pada kotak handphone di depanya. Ratri angkat benda tersebut bola matanya melebar.
"Kamu baru beli handphone Wi?" Tanya Ratri menatap Dewi yang duduk di depanya.
"Tidak Kak, ini dikasih kok." Jujur Dewi, menatap wajah Ratri heran. Pasalnya, raut wajah Ratri seketika berubah kala melihat kotak handphone.
"Di kasih? Siapa orangnya Wi, kamu tahu nggak. Harga handphone ini sekitar 40 juta lebih." Ratri heran hanya orang berkantung tebal yang mampu membeli handphone ini. Bahkan Ratri sendiri pun hanya membeli yang harta 5 juta.
"Hah?" Dewi menutup mulutnya, karena kaget juga.
...~Bersambung~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Usna Faizan
c casanova bram yg hantar hadiah2 mahal
2023-07-18
0
Kakadya
jiwa misquen ku meronta2...hp 40 jta aduh wi kalo dijual bisa buat beli apa aja
2023-07-09
1
Eka elisa
astaga... yg ksih kmu hp psti holang kaya wie.... bukn kaleng"...tau.. tpi... enthlah siapa dia ko gk tunjukin psona nya pda mu... enthlah hy emk yg tau...
2023-07-08
3