15

"Untuk mengakhiri sesi latihan hari ini, saya akan menunjukkan video pada kalian." Jemima menunjukkan video tarian balet modern dari The Royal Ballet melalui proyektor di depan sana. Ada tari pasangan seperti di depan."

"Seperti yang kita tahu bahwa ini adalah acara penggalangan dana untuk anak-anak di panti asuhan, kita harus tetap tampil maksimal dan jangan bermalas-malasan."

"Baik Miss." Jawaban para ballerina dan danseur memenuhi studio.

Beberapa tahun terakhir balet berkembang pesat di Indonesia dan peminatnya semakin banyak. Itu sebabnya acara amal dilakukan dengan menampilkan berbagai hiburan dan seni termasuk balet.

"Bisakah Faralyn dan Eizlan tampil berpasangan lagi?" Jemima melihat Faralyn dan Eizlan yang kebetulan duduk berdekatan.

Faralyn mengangguk tanpa melihat Eizlan, ia bisa saja berpasangan dengan siapapun. Terlebih dengan Eizlan, Faralyn tidak perlu menyesuaikan chemistry lagi karena mereka sudah sering tampil bersama di panggung. Walaupun akhir-akhir ini Devara lebih sensitif pada Eizlan tapi bagi Faralyn itu tidak jadi masalah.

"Miss!" Aca mengangkat tangan.

Eizlan memutar kepala melihat Aca, ada apa anak itu tiba-tiba mengangkat tangan. Apakah Aca akan membuat kekacauan lagi seperti saat mereka hendak tampil di JMF.

"Silakan Aca."

"Kenapa Miss selalu memasangkan Eizlan dengan Faralyn padahal ballerina lain juga sama bagusnya dengan Faralyn."

"Tidak selalu, Riana dan Elea juga pernah berpasangan dengan Eizlan, apakah ada yang keberatan soal ini?" Jemima mengedarkan pandangan pada semua muridnya.

"Tidak Miss." Jawab mereka.

"Kalau begitu tolong Miss Jemima beri kesempatan untuk Aca menari dengan Eizlan." Faralyn menyahut, ia tidak suka jika Aca berpikir Jemima tak adil.

"Baiklah, karena acara ini berlangsung dua hari maka Faralyn dan Aca akan menari dengan Eizlan bergantian."

Mereka menuju ruang ganti sebelum meninggalkan studio.

Faralyn melepas ikatan pada rambutnya lalu menyisirnya sebentar.

"Pita kamu kemana?" Faralyn bertanya pada Elea yang memakai pita berwarna putih, harusnya hari ini mereka memakai warna merah muda. Saat ini Faralyn dipenuhi pikiran negatif sejak menemukan pita di mobil Devara. Tidak mungkin Elea kan, mereka bahkan tidak saling kenal. Namun sekeras apapun Faralyn berpikir, tidak ada satu pun orang di studio ini yang mengenal Devara.

"Ini dia." Elea menunjukkan pita merah muda miliknya dari dalam pouch make-up. "Tadi kena lipstik jadi aku pakai pita lain, yang ini harus dicuci."

Faralyn ber-Oh membuang segala prasangka di kepalanya. Tidak mungkin Devara selingkuh terutama dengan teman Faralyn. Tidak mungkin.

"Apa pita seperti ini bisa dibeli bebas di toko?" Faralyn basa-basi bertanya meskipun ia sudah tahu jawabannya.

"Nggak, ini Miss Jemima pesan khusus tapi karena sekolah balet kita sekarang sangat populer jadi perusahaan membuat pita serupa yang bisa dibeli oleh siapapun." Jelas Elea.

"Oh, aku baru tahu soal itu." Faralyn lega, rupanya Devara tidak berbohong. Pita itu memang milik Zevina. Ia ingat saat itu Zevina mengajaknya berfoto bersama dan meminta tandatangannya, mungkin Zevina telah menyukai balet dan membeli pita itu.

"Ada apa Faralyn?"

"Nggak apa-apa." Faralyn menggeleng, ia sudah berpikiran terlalu jauh.

"Eh, kayaknya si Aca iri sama kamu, masa dia tiba-tiba mau jadi pasangan Eizlan padahal yang paling bagus itu tetap kamu Lyn."

"Jangan bilang gitu, kemampuan kita semuanya sama kok."

"Lyn-Lyn pantas kamu punya banyak penggemar, kamu baik banget."

"Kamu tahu hatters ku juga sama banyaknya."

Winda sudah menunggu di depan studio ketika Faralyn keluar. Ia melambaikan tangan meminta Faralyn bergegas masuk mobil karena mereka harus segera pergi ke lokasi syuting.

"Kemana selanjutnya?" Tanya Faralyn setelah masuk mobil.

Mobil itu melesat cepat meninggalkan halaman studio. Hari ini kemungkinan besar Faralyn akan syuting sampai malam.

"Syuting iklan Collagen Drink, kamu beruntung punya kulit bagus dan jadi bintang iklan produk Collagen."

"Aku beruntung punya kamu."

"Ih apaan sih!"

Faralyn tertawa melihat ekspresi kesal Winda. Banyak yang mengatakan dirinya beruntung tapi menurut Faralyn justru keberadaan orang-orang baik di sekitarnya yang membuatnya beruntung.

******

"Berhenti di cafe depan ya Pak."

Winda melirik Faralyn, "mau ke cafe itu lagi?" Bukannya istirahat setelah seharian sibuk bekerja dan latihan, Faralyn justru hendak pergi ke cafe. Lagi pula sejak kapan Faralyn suka nongkrong di cafe. Itu sama sekali bukan gaya Faralyn.

"Iya."

"Tapi kamu bilang nggak ada tugas kuliah."

"Emang nggak ada."

"Terus ngapain kesana?"

"Minum kopi, dah!" Faralyn turun dari mobil melambaikan tangan pada Winda. Tidak lupa membawa tas kecil tempat ia menyimpan dompet dan ponsel.

Faralyn ingin melihat hasil mural yang Raksa lukis. Selama cafe itu masih sepi mungkin Faralyn akan sering berkunjung.

Raksa benar-benar menggambar kaktus di dinding cafe. Faralyn pikir Raksa hanya bercanda soal itu. Kaktus buatan Raksa sungguh menakjubkan. Suasana cafe jadi berbeda, lebih ceria dan menyenangkan. Pengunjung pasti tidak akan tahan untuk tidak berfoto di depan dinding itu.

Faralyn memotret mural tersebut dan mengunggahnya ke instastory.

"Silakan mau pesan apa Kak?"

Faralyn memesan Americano dingin dan Eclair dengan isian Yuzu. Kali ini Faralyn akan memakan pesanannya karena ia memang belum makan malam.

"Ternyata benar, yang datang waktu itu Kak Faralyn."

"Kamu kenal saya?"

Karyawan cafe seusia Faralyn itu mengangguk semangat.

"Tolong rahasiakan ini." Faralyn meletakkan telunjuk di bibirnya, ia tidak mau cafe ini jadi penuh dengan para penggemarnya. Itu bagus untuk penjualan tapi tidak untuk para karyawan, mereka akan kewalahan menghadapi puluhan orang di cafe kecil ini.

Faralyn duduk di salah satu kursi dekat jendela setelah mendapatkan Americano dan Eclair.

"Kamu kesini lagi?"

Faralyn memutar kepala melihat Raksa masuk ke cafe—sedikit menunduk ketika melewati pintu cafe.

"Jangan bilang kamu sengaja kesini karena mau lihat mural itu." Raksa melihat mural buatannya sekilas, ia menyelesaikannya dalam satu malam dengan hasil memuaskan.

"Kamu tahu aku orang yang sangat sibuk." Faralyn berusaha memasang wajah sedatar mungkin.

"Lalu?"

"Pastry disini enak." Faralyn tidak berbohong, Eclair yang dipesannya memang enak walaupun sebenarnya tujuan utamanya kesini memang untuk melihat mural itu.

"Tapi terakhir kali kesini kamu nggak makan roti dengan saus hijau itu."

"Kamu nggak lihat aku lagi makan?"

Raksa hanya terkekeh melihat wajah kesal Faralyn, ia memesan makanan dan duduk di meja Faralyn tanpa izin tentu saja. Namun Faralyn tidak protes karena Raksa sudah berbaik hati mengajari Carel membuat mural.

"Apa Carbonara disini seenak itu?" Faralyn melihat Raksa makan begitu lahap. Seperti orang yang tidak makan dua hari, sungguh. Faralyn pernah tidak makan dua hari dan ia makan sangat lahap setelahnya.

"Biasa saja." Bisik Raksa dekat wajah Faralyn takut terdengar karyawan disini. Tunggu dulu, Raksa baru sadar jika malam ini Faralyn amat cantik, tidak—malam-malam sebelumnya Faralyn memang selalu cantik. Namun malam ini Raksa bisa melihat riasan di wajah Faralyn. Sepertinya Faralyn baru melakukan syuting atau semacamnya dan tidak sempat menghapus riasan.

"Tapi kamu makan sampai lupa napas, lihat mata mu berkaca-kaca." Faralyn jadi ingin tahu seenak apa Carbonara disini sampai Raksa berkaca-kaca.

"Aku lapar." Ketika mengingat semua ucapan Dirga dan Ryota, Raksa seperti menelan kerikil—sakit sekali.

"Kamu mau pesan lagi?" Faralyn agak kasihan melihat Raksa kelaparan. Ia ingat Carel mengatakan jika Raksa tinggal sendiri.

"Sebenarnya beberapa saat yang lalu aku melihat banyak makanan di depan ku tapi aku belum sempat menyentuhnya dan diusir."

"Kamu masuk rumah orang sembarangan?"

"Iya, Kak Ryota bilang itu bukan rumah ku lagi." Raksa tidak punya tempat bercerita, ia melantur di depan Faralyn. Ia tak peduli, Raksa harus menumpahkan kesedihannya dan hanya ada Faralyn sekarang. Biasanya ia akan pergi ke makam ibunya dan menumpahkan semuanya selama berjam-jam. "Papa bilang aku nggak boleh menginjakkan kaki disana lagi."

"Kenapa itu bukan rumah mu lagi?"

"Karena aku pergi sesuka hati."

"Jangan khawatirkan itu, banyak apartemen kosong di Jakarta."

Raksa tertawa, kesedihannya luruh seketika. Entah Faralyn sedang melawak atau tidak tapi ia sangat lucu. Raksa sampai tidak bisa menahan tawa walaupun air mata meleleh di pipinya.

"Kamu terharu padahal aku belum kasih nomor pemilik apartemen nya."

"Terimakasih sudah menghiburku, Lyn." Raksa menyeka air mata yang telanjur meleleh. Ia sedikit mendongak berusaha menelan kembali air mata yang bersiap menyusul.

"Kapan aku menghiburmu?"

"Carel beruntung punya Kakak sepertimu." Raksa menatap Faralyn sendu, bukankah seorang kakak tetap akan menyayangi adiknya sebab ada hubungan darah antara mereka tapi kenapa Ryota tidak begitu.

"Banyak yang bilang begitu, aku sama sekali nggak tersanjung." Faralyn kembali melahap Eclair dan meneguk kopi pahit yang penuh es batu.

"Atau kamu yang beruntung punya adik seperti Carel."

"Ya, aku merasa sangat beruntung, dia manis banget kan?" Senyum Faralyn terbit saat membahas Carel, sekarang saja ia merindukan sang adik.

"Kakaknya jauh lebih manis." Kata Raksa santai.

"Apa?" Faralyn berubah memasang wajah galak mendengar kalimat Raksa.

"Kakaknya jauh lebih manis."

"Aku nggak budek ya." Semprot Faralyn.

"Tapi kamu bilang apa barusan, kamu nggak denger kan?"

"Nyebelin banget."

Untuk sesaat mereka sama-sama diam menikmati makanan masing-masing. Carbonara Raksa hampir habis sementara Faralyn masih menyisakan dua Eclair.

"Ngomong-ngomong kenapa kamu pilih nama Glomerulus."

"Karena Glomerulus akan selalu mengingatkan ku pada Mama."

"Apa hubungannya Mama mu dengan organ penyaring racun itu?"

"Mama mengidap Glomerulonefritis sebelum meninggal."

Faralyn tersedak dan terbatuk-batuk mendengar penjelasan Raksa, ia langsung menyesal karena telah lancang bertanya soal itu.

"Sorry aku nggak bermaksud—"

"Nggak apa-apa, itu udah berlalu." Sahut Raksa cepat seolah semuanya sudah baik-baik saja padahal ia masih diselimuti kesedihan hingga detik ini.

Faralyn pikir Raksa berasal dari keluarga harmonis karena lelaki itu selalu tersenyum ceria persis seperti Carel. Ternyata di balik senyum itu Raksa menyimpan kesedihan mendalam.

"Mama mu pasti bangga karena sekarang anaknya jadi seniman mural paling populer di Jakarta." Faralyn mencoba menghibur Raksa walaupun ia tak pandai soal itu. Setidaknya ia harus bertanggungjawab karena telah membuat Raksa sedih.

"Cuma kamu yang bilang gitu."

"Aku dengar itu dari Eizlan dan teman-teman balet, bukan aku yang bilang." Diam-diam Faralyn melirik Raksa yang sudah kembali tersenyum. Namun Faralyn tahu jauh di lubuk hati, Raksa sedang menangis.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!