Langit malam ini tampak kesepian tanpa hadirnya gemintang yang biasa menghiasinya, kosong tertutup mendung tebal yang bisa kapan saja menurunkan hujan.
Seperti halnya langit, hati Raksa juga terasa kosong. Setelah menghabiskan seharian penuh bersama Carel waktu itu, Raksa tiba-tiba merindukan Kakak nya. Itu sebabnya Raksa memutuskan untuk pulang ke rumah orangtuanya. Raksa berharap bisa bertemu dengan Kakak dan Papa nya.
Raksa mengedarkan pandangan ke rumah dua lantai yang dindingnya didominasi kaca sehingga ia bisa melihat ruangan di dalamnya. Rumah itu sama gelapnya dengan langit malam. Rumah itu kehilangan sinarnya sejak Mama Raksa meninggal.
Sudah dua tahun berlalu tapi keluarga mereka tidak juga pulih dari duka. Kehidupan mereka tidak sama lagi. Dirga jadi gila kerja dan selalu pulang tengah malam. Ryota—Kakak Raksa juga hampir sama, ia hanya terobsesi dengan pekerjaan.
Sejak Ayumi meninggal, suasana rumah berubah total. Tidak ada lagi yang mendukung Raksa menjadi seniman. Kebiasaan Dirga membandingkan Raksa dan Ryota semakin menjadi. Akhirnya Raksa memutuskan untuk pergi dari rumah dan meneruskan hobi yang kini jadi pekerjaannya.
Raksa tersenyum getir melangkah mengetuk pintu rumah, meskipun tidak kembali selamanya, tak akan ada yang mengharapkannya. Sejak kecil papa nya lebih menyayangi Ryota yang tumbuh menjadi anak cerdas. Nilai akademik Ryota selalu berada di peringkat pertama. Sedangkan Raksa lebih suka menggambar, membuat sesuatu dari barang-barang sekitar dan kadang bermain musik. Saat itu masih ada Ayumi yang mendukung Raksa tapi sekarang satu-satunya harapan Raksa telah tiada.
Seorang wanita paruh baya membukakan pintu, ia tampak terkejut melihat Raksa berada di hadapannya. Sudah cukup lama Raksa tidak pulang, itu sebabnya ART tersebut terkejut melihat kedatangan Raksa.
"Gimana kabar Bibi?" Tanya Raksa dengan senyum lebar seolah tak pernah ada kesedihan yang hinggap di hatinya padahal ia dipenuhi mendung.
"Saya baik Mas, silakan masuk." Ia menanyakan kabar Raksa dan menceritakan keadaan rumah selama Raksa pergi.
Raksa mendengarkan dengan sungguh-sungguh, ia mendapat semua informasi tanpa harus bertanya lebih dulu.
Asisten tersebut mengatakan jika papa Raksa jarang pulang bahkan bisa satu bulan tidak terlihat di rumah padahal ia selalu menyiapkan makanan barangkali tuan pulang. Namun setiap kali deru mobil terdengar, itu Ryota yang langsung naik ke kamar. Makanan yang sudah disiapkan pun tidak tersentuh.
"Jadi malam ini mereka nggak pulang?" Tanya Raksa setelah Bibi selesai bercerita.
"Saya juga kurang tahu Mas."
"Saya tidur disini malam ini."
"Baik, Mas Raksa sudah makan?"
"Belum."
"Saya sudah menyiapkan makanan, saya panasin sebentar ya Mas."
"Iya, saya ke atas dulu." Raksa melangkah menaiki tangga menuju lantai dua. Foto-foto keluarga masih terpasang di sisi kiri tangga.
"Ma, aku pulang." Raksa menyentuh foto Mama nya di antara foto-foto lain. Itu adalah foto saat musim dingin di Jepang, Ayumi tampak tersenyum lebar ke arah kamera. "Aku kangen sama Mama." Lirihnya.
Ryota dan Raksa lahir di Jepang, tepatnya di Tsurui sebuah desa di Hokkaido yang menjadi tempat tinggal paling tenang bagi keluarga mereka. Raksa merasakan betapa hangatnya keluarga mereka dulu. Ryota kecil yang cengeng dan tidak mau mengalah dan Raksa yang selalu menenangkannya.
Papa Raksa memiliki bisnis hotel di Indonesia, ia harus bolak-balik Indonesia Jepang untuk tetap menjalankan bisnisnya sekaligus menghabiskan waktu bersama keluarga.
Ketika Raksa memasuki usia 13 tahun, Ayumi menyarankan untuk pindah ke Indonesia agar sang suami tidak perlu bolak-balik.
Bagi Raksa, kota kelahiran Papa nya di Jakarta jauh berbeda dengan Tsurui tapi selama tinggal bersama Papa, Mama dan Kakaknya, Raksa tetap menyukainya.
Raksa tumbuh menjadi anak yang ceria walaupun dirinya bukan anak favorit Papa nya. Ia tidak pernah iri pada Ryota yang selalu mendapat mainan lebih bagus. Raksa juga tidak pernah marah saat Ryota merusak mainan miliknya. Ayumi selalu ada untuk menghibur Raksa.
"Kamu."
Raksa menoleh ke sumber suara, tampak Ryota berdiri di ujung tangga. Wajahnya dingin dengan rahang tegas menggambarkan betapa ia memiliki hati yang keras.
"Angin apa yang membuat mu kesini?" Tanya Ryota, sorot matanya tajam ke arah Raksa.
"Gimana kabar Kak Ryota?" Raksa melebarkan senyum melangkah turun menghampiri Ryota. Apakah Kakak tidak merindukan ku?
"Seperti yang kamu lihat," Ryota mengedikkan bahu, "aku selalu lebih dari sekedar baik-baik saja."
"Syukurlah." Raksa bergerak memeluk Ryota.
Ryota sama sekali tidak membalas pelukan Raksa, tangannya tetap berada di dalam saku celana.
"Mas, makanannya sudah siap." Bibi muncul setelah memanaskan makanan untuk Raksa.
"Makasih Bi." Raksa melepas pelukan melangkah melewati Ryota menuju ruang makan.
Ryota melihat punggung lebar Raksa semakin menjauh. Setelah Raksa tidak terlihat di balik dinding yang membatasi ruang makan dan ruang tamu, Ryota menaiki tangga menuju kamarnya.
"Wah Bibi masak banyak, ayo makan bersama." Raksa duduk di kursi yang biasa ia tempati saat masih tinggal disana.
"Saya nanti saja Mas." Tolak Bibi. Ia selalu memasak banyak barangkali Dirga dan Ryota akan makan di rumah walaupun itu jarang terjadi.
"Saya nggak suka makan sendiri." Tujuan Raksa pulang adalah agar ia bisa makan bersama keluarganya. Walaupun tak lagi utuh tapi setidaknya Raksa masih memiliki tempat pulang.
"Tolong piring satu lagi." Ryota datang setelah mengganti setelan jasnya dengan polo shirt dan celana kain. Ryota tidak lebih tinggi dari Raksa tapi bahunya yang lebar membuatnya terlihat berwibawa.
"Baik Mas Ryota." Bibi segera mengambil piring lainnya untuk Ryota.
"Kamu belum jawab pertanyaan ku, ada apa kamu tiba-tiba pulang?" Ryota duduk di salah satu kursi yang terletak paling jauh dengan Raksa.
"Aku kangen Kakak dan Papa." Kata Raksa jujur, ia tidak bisa menyembunyikan kerinduannya pada mereka. Raksa tidak memiliki siapapun lagi kecuali Papa dan Kakak nya.
Ryota tertawa mengejek, "kamu sendiri yang pergi dari sini, ini bukan rumah mu lagi."
"Aku nggak bilang ini rumah ku, aku hanya berkunjung."
"Bapak datang, saya ambil satu piring lagi kalau begitu." Bibi sedikit terkejut melihat Dirga pulang lebih awal dari biasanya. Namun ia senang karena bisa melihat keluarga itu kembali berkumpul.
"Anak Papa datang berkunjung." Seru Ryota dengan nada dingin.
Dirga hanya melihat Raksa sekilas sebelum duduk di samping Ryota. Ia sudah menduga jika Raksa datang setelah melihat mobil lain di halaman barusan.
"Gimana kabar Papa?" Tanya Raksa dengan senyum mengembang lebar, senyum yang selalu terlukis di wajah tampannya. Tidak peduli betapa sakitnya hati Raksa, ia tetap tersenyum. Dunia tak perlu tahu kesedihannya.
"Kalau tujuan mu kesini cuma mau nanya itu lebih baik kamu pergi." Gumam Dirga acuh tak acuh. Itu hanya basa-basi yang tidak ia sukai.
"Aku kangen sama Papa."
Dirga mengangkat wajah menatap Raksa lurus, ia tak ingin mendengar kata-kata melankolis seperti itu apalagi dari mulut Raksa.
"Kamu pergi dan datang sesukamu, Papa dan Kakak mu harus bekerja keras demi Gandamana World sementara kamu hanya hidup sesukamu, membuat sesuatu yang nggak jelas di pinggir jalan, terakhir kamu juga melukis di pagar Gandamana Hall."
"Aku sudah minta izin Papa." Raksa memang melukis di pagar belakang gedung Gandamana setelah menyelinap masuk di dalam hari.
"Apa Papa pernah mengizinkan?"
"Pa, orang-orang menyukai lukisan itu."
"Apa itu menghasilkan uang?" Alis Dirga terangkat, alisnya bertaut menyiratkan amarah.
"Hidup bukan cuma soal uang Pa." Raksa tetap berkata dengan nada lembut enggan memancing kemarahan Papa nya walaupun kedatangannya saja sudah pasti membuat Papa nya marah.
"Kamu naif sekali, kamu bukan lagi anak SMA yang bisa hidup mengikuti keinginan mu, ikutlah dengan Kakak mu bekerja di Gandamana."
Gandamana World sudah berdiri beberapa tahun sebelum Dirga menikah dengan Ayumi. Salah satu gedung pencakar langit paling tinggi di Jakarta itu terdiri dari bangunan hotel dan aula serbaguna, apartemen serta pusat perbelanjaan.
"Aku nggak bisa Pa, Kakak dan aku akan sukses di jalan yang berbeda, tolong Papa hargai itu."
"Kamu nggak akan sukses hanya dengan menggambar di pinggir jalan."
"Itu karena arti sukses bagi kita berbeda Kak."
"Jadi apa arti sukses menurutmu?" Kini Ryota menyahut. Rasanya ia ingin menyiram Raksa dengan air agar adiknya itu sadar bahwa dunia tidak sesederhana pikirannya.
"Melihat orang-orang tersenyum karena karya ku."
"Jangan sok jadi pahlawan kalau bikin Papa bangga aja kamu nggak bisa."
Raksa terdiam, ucapan Ryota sepenuhnya benar, ia tak pernah mendengar Dirga mengatakan bangga terhadap dirinya.
"Lebih baik kamu pergi sekarang." Kata Dirga akhirnya, keberadaan Raksa disini hanya membuatnya kesal.
"Tapi Pak, Mas Raksa belum makan." Bibi memegang bahu Raksa agar tidak pergi dulu. Piring Raksa bahkan masih bersih.
"Nggak apa-apa Bi." Raksa tidak mungkin bisa menelan makanannya dengan baik setelah menerima kalimat-kalimat itu.
"Jangan pernah menginjakkan kaki di rumah ini kecuali kamu meninggalkan pekerjaan mu yang nggak jelas itu."
"Aku pergi Pa, Kak." Raksa berlalu dari sana setelah melihat Papa nya dan Ryota sekali lagi.
"Kamu harus bujuk Raksa bekerja di Gandamana, nggak mungkin kamu mengerjakan semuanya sendiri." Ujar Dirga setelah mendengar deru mobil Raksa meninggalkan halaman rumah.
"Ada Papa, aku nggak sendiri."
"Ada saatnya kamu akan sendiri dan sebelum itu terjadi kamu harus memastikan Raksa mau pulang kesini dan bekerja bersama mu."
"Sejak kapan itu menjadi tugas ku?" Ryota tidak suka jika ia harus membujuk Raksa bekerja bersamanya di Gandamana. Raksa harus pulang dengan sendirinya, Ryota tidak akan melakukan itu, tidak akan.
"Sejak beberapa menit yang lalu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments