Faralyn melihat keluar jendela menatap titik-titik air yang jatuh mengenai kaca. Hujan turun tiba-tiba ketika mereka dalam perjalanan kembali ke apartemen.
"Aku mau kerjain tugas kuliah di luar."
"Tumben?"
"Aku harus menghirup udara segar selagi mengerjakan tugas."
"Tapi balkon apartemen juga punya udara segar."
"Pak, kita berhenti di cafe depan." Pinta Faralyn pada supir, ia tahu ada cafe yang tidak terlalu ramai pengunjung di depan sana. Mungkin karena masih baru, cafe itu belum memiliki banyak pelanggan. Namun itu menguntungkan bagi Faralyn, ia bisa mengerjakan tugas dengan tenang sambil melihat pemandangan di luar.
"Kamu pulang aja, nanti aku naik taksi."
"Serius? aku bisa temenin kamu lho."
"Nggak usah."
"Nanti kalau ada apa-apa langsung telepon ya."
"Win, aku bukan anak kecil." Faralyn menatap Winda tajam, tatapan khasnya yang membuat semua orang ciut kecuali Winda karena sudah terbiasa dengan tatapan itu.
"Iya tapi aku selalu temenin kamu kemana-mana."
"Serius nggak apa-apa, aku cuma butuh 15 menit buat pulang dari sini." Faralyn menyampirkan tas berisi laptop dan bukunya.
"Kamu bawa uang nggak?"
"Bawa." Faralyn menepuk-nepuk saku celananya, ia menyimpan beberapa lembar uang disana. Kalaupun tidak ada uang cash, Faralyn masih bisa membayar menggunakan ponsel.
"Hati-hati ya!" Teriak Winda.
Faralyn hanya melambaikan tangan tanpa menoleh lagi pada Winda.
Setelah memastikan Faralyn masuk cafe, Winda meminta supir menjalankan mobilnya.
Cafe itu cukup nyaman dengan area outdoor dan indoor. Halamannya dihiasi lampu-lampu kecil berwarna kuning yang memberikan kesan hangat meski sedang turun hujan. Salah satu sisi dinding di area indoor memiliki rak yang dihiasi tanaman kaktus mini. Sedangkan sisi lainnya dibiarkan kosong. Bagian depannya adalah jendela kaca yang memperlihatkan pemandangan jalanan.
Faralyn memesan satu Americano dingin dan Ciabatta dengan Pesto di atasnya. Selain Faralyn, ada dua pengunjung yang duduk di dekat pintu. Kali ini Faralyn tidak duduk di sudut, ia memilih meja dekat jendela agar bisa leluasa melihat pemandangan luar.
Ia mulai mengerjakan tugas yang diberikan dosen sore tadi. Besok ia harus pergi ke kampus menyerahkan tugas tersebut. Dalam satu bulan, Faralyn setidaknya harus pergi ke kampus sebanyak 4 kali. Selebihnya Faralyn mengikuti kuliah secara daring.
Faralyn tidak memiliki teman dekat karena ia menjalani pendidikan homeschooling sejak lulus SD. Ia menyelesaikan pendidikannya lebih cepat dari sekolah formal.
Beruntung Faralyn memiliki Winda di sisinya, lebih dari sekadar asisten—Winda adalah orang paling berarti bagi Faralyn selain orangtua dan adiknya.
Denting ponsel mengalihkan perhatian Faralyn, ia melihat pesan masuk dari Devara tapi ia mengabaikannya. Faralyn membalik ponselnya hingga layarnya tidak terlihat agar ia bisa serius menyelesaikan tugas.
Lagu Back to the Beginning mengalun dari sound di sudut cafe. Itu adalah lagu yang rilis 16 tahun sebelum Faralyn lahir tapi tetap enak didengar. Itu familiar di telinga Faralyn karena Carel sering memutarnya di mobil.
Hujan, Americano dan lagu yang mengalun adalah perpaduan sempurna untuk Faralyn berlama-lama disini. Faralyn harap cafe ini selalu sepi agar ia bisa selalu berkunjung. Ah tidak, ia tidak boleh berharap seperti itu.
"Faralyn."
Faralyn mendongak mendengar seseorang menyebutkan namanya.
"Glomerulus?" Mata Faralyn membulat. Ia bertemu lagi dengan Glomerulus yang selama ini menjadi sosok misterius bagi semua orang. Jika Faralyn memiliki kesempatan bertemu lagi dengan Glomerulus, itu artinya keinginan Carel untuk belajar melukis akan segera terwujud. Namun bagaimana cara mengatakan ini pada lelaki itu. Mereka bahkan tidak kenal akrab. Glomerulus juga terkenal sangat tertutup, hanya kemungkinan kecil untuknya bersedia mengajari Carel. Apapun itu Faralyn harus berusaha demi Carel.
Raksa tertawa mendengar Faralyn menyebut namanya. Mungkin karena ini pertama kalinya ada yang memanggil Raksa dengan sebutan Glomerulus, itu terdengar aneh di telinganya. Tidak ada yang mengenal Raksa sebagai Glomerulus. Selain Akas, tidak ada yang tahu jika Glomerulus adalah Raksa.
"Kamu sendiri di tempat seperti ini?"
"Nggak."
Raksa menoleh ke kanan dan kiri, ia tidak melihat siapapun bersama Faralyn.
"Ada kamu dan dua orang disana." Faralyn melirik dua orang yang duduk di dekat pintu.
Raksa duduk di kursi kosong di meja Faralyn, ia membawa segelas Americano yang masih mengepulkan asap dan bagel dengan taburan gula halus.
Faralyn menatap Raksa tajam, sejak kapan ia mengizinkan cowok itu duduk satu meja dengannya.
"Namaku Raksa."
Nama asli Glomerulus juga sama uniknya, mendengar nama Raksa, Faralyn jadi ingat hydrargyrum yang merupakan unsur kimia pada tabel periodik dengan simbol Hg dan nomor atom 80. Faralyn lumayan menyukai pelajaran kimia saat SMA.
"Nggak ada yang panggil aku begitu makanya agak aneh didengar."
Faralyn mengabaikan Raksa, ia tetap fokus menulis di atas kertas dan sesekali meneguk Americano miliknya. Sedangkan Ciabatta nya dibiarkan tidak tersentuh.
"Kamu sudah lihat mural di studio?"
"Udah, mereka semua menyukainya, aku pikir kamu cukup berhasil, semua orang heboh setelah tahu Glomerulus lah yang membuat mural tersebut."
"Kamu juga?"
"Alih-alih heboh, aku kaget karena sepertinya aku satu-satunya orang yang pernah ketemu kamu."
"Kamu benar, itu artinya kamu istimewa."
Faralyn melirik Raksa yang sedang mencelupkan Bagel ke dalam Americano. Kalimat Raksa membuat Faralyn merasa tersanjung tapi ia tidak mau menampakkannya.
Rintik hujan semakin deras beradu dengan lagu cafe yang justru mengalun lembut. Faralyn terbuai sejenak, ia ingin menunda mengerjakan tugas dan melamun sambil memperhatikan hujan di luar sana. Ia mengerjakan tugasnya dengan cepat agar bisa berada disini lebih lama.
Faralyn menutup laptopnya setelah menyelesaikan tugas. Ia meregangkan tangannya ke atas dan mengembuskan napas lega setelah menyelesaikan tugas kuliahnya.
"Sepertinya kamu nggak pernah punya waktu untuk bersantai."
"Iya, nggak seperti seseorang yang justru bengong dari tadi." Sindir Faralyn, "kamu pengangguran?"
Faralyn mengecek ponselnya, ia tetap mengabaikan pesan Devara dan memilih melihat pesan dari Carel. Carel menunjukkan foto di area ice skating lalu foto kedua tampak Carel sedang bersama Eizlan.
"Aku lagi kerja sekarang, setelah cafe ini tutup aku akan melukis dindingnya."
"Oh ya?" Sudut bibir Faralyn terangkat ketika memandang foto Carel, ia senang jika Carel menikmati waktunya setidaknya sebelum adiknya itu menjadi idol nanti.
"Ya." Raksa ikut tersenyum, ia ingin tahu apa yang telah membuat si jutek Faralyn tersenyum.
"Mau lukis apa?" Faralyn meletakkan ponselnya setelah membalas pesan Carel.
"Menurutmu apa yang harus aku lukis?" Raksa menyangga dagu dengan satu tangan dan menatap Faralyn.
Faralyn spontan memundurkan wajahnya, ia membasahi bibir bawahnya karena tiba-tiba merasa gugup. Kenapa juga ia harus gugup di depan Raksa si merkuri ini.
"Kaktus mungkin." Jawab Faralyn asal. Ia melihat banyak kaktus disini.
"Ide bagus."
Faralyn mendelik, ia hanya menjawab asal tapi Raksa justru menyetujuinya.
Faralyn melihat keluar jendela, jarang-jarang ia berdiam seperti ini tanpa melakukan apapun. Ia menyukai pekerjannya dan dunianya saat ini tapi terkadang ia butuh istirahat berhenti sejenak dari rutinitas padat yang melelahkan.
"Raksa." Faralyn memutar kepala melihat Raksa.
"Hm?" Raksa sedikit terkejut mendengar Faralyn menyebutkan namanya, itu seperti sebuah keajaiban.
"Aku tahu ini terdengar aneh dan aku tahu kamu bakal tolak mentah-mentah permintaan ku tapi izinkan aku mencoba."
"Apa itu?" Raksa ingin mendengar permintaan aneh apa yang akan Faralyn katakan. Jangan bilang Faralyn ingin menjadikan Raksa sebagai pacar pura-pura, seperti di drama atau film lalu pada akhirnya keduanya benar-benar jatuh cinta.
"Kamu mau nggak ngajarin adik ku bikin mural, dia orang yang berarti buat aku."
Raksa terdiam sejenak, ternyata permintaan aneh yang Faralyn katakan tidak terlalu aneh untuknya.
"Aku tahu kamu ingin menyembunyikan diri mu dari dunia tapi aku udah janji bakal bawa seniman mural paling top di Jakarta." Faralyn memohon, ini tidak seperti dirinya tapi demi Carel ia bisa melakukan apapun.
"Itu bukan aku."
"Itu kamu, kemarin aku pergi keluar dan banyak banget karya kamu di jalan yang aku lihat dan itu luar biasa bagus." Mata Faralyn berbinar-binar saat menceritakan itu.
"Oke." Raksa mengangguk.
"Serius, makasih ya." Faralyn tidak menyangka jika akan semudah itu meminta Raksa menjadi guru bagi Carel.
"Tunggu dulu, ada syaratnya."
"Apa?"
"Jangan beritahu adik mu kalau aku Glomerulus, kenalkan aku sebagai Raksa."
"Setuju." Faralyn tidak sabar memberitahu Carel tentang ini.
Mereka bertukar nomor telepon kemudian Faralyn memasukkan barang-barangnya dan beranjak dari sana setelah memesan taksi online.
"Mau kemana?" Tanya Raksa, harusnya ia tidak menyetujui permintaan Faralyn dengan cepat agar mereka masih bisa mengobrol lebih lama.
"Pulang, supaya kamu bisa kerja lebih awal."
"Kamu nggak makan ini?"
"Buat kamu aja kalau mau."
Raksa melihat roti Ciabatta milik Faralyn, ia tidak pernah makan roti jenis itu sebelumnya. Raksa hampir selalu memesan Bagel untuk makan malam.
"Jadi itu caramu memiliki perut setipis kertas." Gumam Raksa seolah Faralyn masih ada disini. Ia mencelupkan roti ke dalam saus berwarna hijau dan melahapnya. "Sedikit aneh." Ia menoleh keluar cafe dimana Faralyn masih berada disana.
Faralyn menengadah tangan membiarkan tetesan hujan mengenai telapak tangannya. Ia ingin berada disini lebih lama tapi Winda pasti akan meneleponnya tiada henti. Percayalah, Winda jauh lebih galak dibandingkan ibu Faralyn.
"Dia terlihat sangat kesepian." Raksa ingin merengkuh tubuh mungil Faralyn dan mengatakan bahwa dunia akan baik-baik saja meski Faralyn berhenti sejenak untuk beristirahat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
muna aprilia
bagusdd
2023-07-06
1