11

Mobil Carel berhenti di halaman rumah dua lantai tanpa pagar dengan eksterior keseluruhan berwarna coklat. Carel memastikan sekali lagi bahwa itu benar rumah Raksa dengan melihat alamat yang Raksa kirimkan padanya.

"Bapak pulang aja, saya mungkin agak lama disini." Ujar Carel pada supirnya setelah turun dari mobil.

"Baik nanti saya langsung jemput setelah selesai." Supir membantu Carel menurunkan alat-alat lukis dari mobil ke teras rumah Raksa.

"Makasih ya Pak." Carel melangkah menginjak halaman rumput yang tampak terawat, ia mengedarkan pandangan ke seluruh area rumah.

Halaman tampak teduh dengan pohon Kerai Payung yang rimbun. Di bawahnya terdapat kursi kecil yang nyaman untuk bersantai kapanpun tanpa takut terkena sengatan matahari.

Carel menekan bel satu kali dan menunggu, dari teras ia bisa melihat keseluruhan bagian dalam rumah berkat jendela kaca yang memenuhi bagian depan.

Pintu terbuka lalu Raksa muncul dengan celemek yang melekat di tubuhnya.

"Aku kepagian ya datangnya?" Melihat Raksa masih mengenakan celemek itu artinya ia sedang memasak saat Carel datang.

"Nggak kok, justru bagus kalau kita mulai lebih awal tapi sebelum itu sarapan dulu ya." Raksa mengajak Carel menuju ruang makan.

Carel masih belum selesai mengagumi rumah Raksa, interior nya juga berwarna coklat keseluruhan dengan kesan earthy yang sangat kental. Jendela kaca super besar membuat sinar matahari dapat sepenuhnya masuk.

Tidak banyak furniture, hanya sofa dan meja yang berada di tengah-tengah ruang tamu. Di atas meja juga kosong tanpa taplak atau hiasan apapun.

Menyadari dirinya tertinggal, Carel segera mengejar Raksa melewati ruang tamu berbelok menuju pintu samping dimana dapur berada. Itu adalah konsep outdoor kitchen yang menghadap ke taman samping. Meskipun tidak banyak tanaman hias seperti di apartemen Carel tapi taman tersebut tampak sedap dipandang. Selera Raksa dalam memilih konsep rumah benar-benar bagus.

Ruang makannya langsung tersambung dengan dapur. Raksa sudah menyiapkan bola nasi yang dibumbui dengan miso dan bawang putih, tumis bayam, telur gulung dan sup yang masih dimasak.

Di meja sudah disediakan sendok dan sumpit serta air putih.

"Wah, Kak Raksa bikin ini semua?" Carel melihat dua piring besar dengan makanan yang tertata rapi di atasnya. Seperti set sarapan yang disiapkan oleh koki hotel.

"Iya, kamu suka makan kan."

Carel hendak menyanggah tapi ia memang suka makan. Carel malu mengakuinya karena mereka baru saling kenal.

"Kamu selalu makan di foto yang Faralyn unggah di media sosialnya." Tambah Raksa.

Carel terkekeh, ia memang suka makan tapi tidak menyangka jika Faralyn hanya mengunggah fotonya saat makan. Orang-orang akan mengira jika Carel hanya makan tanpa melakukan hal lain.

"Semuanya udah siap tinggal pindahin sup ke mangkok." Raksa menarik kursi agar Carel duduk.

Carel duduk manis memperhatikan taman yang juga terawat sama seperti halaman rumah.

"Kak Raksa jago masak ya."

"Nggak jago, ini pertama kalinya dalam bulan ini aku pakai dapur, aku lebih sering beli makanan di luar." Raksa meletakkan dua mangkok sup daging sapi di atas meja.

"Kakak tinggal sendiri?" Carel ingin menanyakan itu sejak tadi karena tidak ada orang lain disini.

"Iya." Raksa duduk di hadapan Carel, ia tidak yakin apakah rasanya enak tapi ia sudah melakukan yang terbaik.

"Tapi Kakak punya waktu buat merawat taman."

"Aku suruh orang buat bersih-bersih rumah sekaligus merawat halaman dan taman."

"Oh." Carel manggut-manggut mengerti, pantas saja meski tinggal sendiri rumah ini sangat terawat.

"Cobain, semoga rasanya nggak terlalu buruk."

Carel melahap bola nasi dan telur gulung lalu kuah sup yang masih panas. Matanya berbinar-binar saat mengunyah makanan tersebut.

"Enak sesuai penampilannya, kok bisa rasanya persis seperti di restoran Jepang."

"Ini makananku sejak kecil." Raksa memasak yang menurutnya paling mudah, ia harap Carel menyukainya.

"Kak Raksa tinggal Jepang?"

"Mama ku orang Jepang."

"Oh pantas aja mukanya beda." Carel terkekeh.

Raksa senang ada yang menemaninya makan, biasanya ia selalu sarapan seorang diri. Itu sebabnya ia sering makan di luar agar tidak kesepian walaupun sebenarnya sama saja.

"Setiap kali makan makanan enak aku selalu kepikiran Kak Fara."

"Kenapa?"

"Dia nggak bisa makan banyak jenis makanan karena harus jaga berat badannya."

"Suatu hari aku akan bawa Faralyn mencicipi banyak makanan."

Carel berpikir bagaimana caranya Raksa akan membawa Faralyn mencicipi banyak makanan. Faralyn akan menganggapnya sebagai tindak kejahatan. Selain galak, Faralyn juga sangat berpegang teguh pada pola dietnya.

Mereka pergi menuju belakang rumah sekaligus memindahkan peralatan yang sudah Carel bawa dari rumah. Raksa juga mengeluarkan alat-alat lukis miliknya.

"Kita akan melukis dinding ini." Raksa menunjukkan dinding polos belakang rumah. Sebenarnya sejak pindah satu tahun yang lalu, Raksa berniat melukisnya tapi karena sibuk ia tak sempat menghias dinding tersebut. Sekarang Raksa bisa melukis bersama Carel. "Tema apa yang kamu suka?"

"Aku suka quote dengan hiasan warna-warni di sekitarnya."

"Aku nggak terlalu jago lettering."

"Kalau gitu biar aku yang bikin sketsa lettering nya."

Mula-mula mereka mengecat seluruh permukaan dinding dengan warna dasar. Raksa mengajari teknik dasar mengecat dinding agar hasilnya bagus. Carel tampak menikmati aktivitasnya saat ini.

"Kenapa kamu mau belajar mural?"

"Aku pengen kasih kejutan buat Kak Fara dihari ulang tahunnya dengan bikin mural."

"Apa Faralyn suka mural?"

"Kak Fara suka lukisan, aku pengen ngasih sesuatu yang berbeda."

Raksa tersenyum, ia mengetahui hubungan persaudaraan Faralyn dan Carel sangat baik. Tiba-tiba senyumnya berubah getir, ia sedikit iri dengan mereka karena bisa berhubungan baik. Hubungan Raksa dan kakaknya sangat buruk, ia bahkan lupa kapan mereka mengobrol. Pertemuan Raksa dan sang kakak selalu berakhir dengan pertengkaran.

******

Ponsel Faralyn berdering keras memekakkan telinga mengejutkan si pemilik yang tengah tertidur pulas. Faralyn mengumpat, ia lupa mengatur ponselnya ke mode diam padahal ia berniat tidur sampai siang hari ini.

Setelah sukses pementasan kemarin, Jemima memberi libur satu hari pada mereka sehingga Faralyn bisa istirahat dan tidur sampai siang. Hari ini Faralyn hanya berencana olahraga di gym apartemen setelah menemui dokter.

Tangan Faralyn meraba-raba nakas mencari ponsel karena tidak tahan mendengar suaranya.

Suara benda jatuh membuat Faralyn terpaksa membuka mata, ponselnya sudah terjun beradu dengan lantai. Faralyn merosot meraih ponsel tersebut dan menjawab tanpa membaca nama si penelepon.

"Selamat pagi sayang." Suara manis Devara menyambut di seberang sana.

"Kenapa Dev?" Faralyn bersandar pada tempat tidur belum sadar sepenuhnya.

"Hari ini kamu libur kan, keluar yuk."

"Aku capek banget pengen istirahat."

"Lyn, tapi kita udah lama nggak keluar bareng lho."

"Dua Minggu yang lalu kamu udah nemenin aku seharian."

"Itu nggak dihitung, aku jemput kamu satu jam lagi ya."

"Dev, aku capek." Faralyn menolak tapi Devara sudah memutuskan sambungan.

Faralyn beranjak melangkah tertatih menuju kamar mandi. Kakinya terasa perih saat digunakan berjalan tapi ia harus segera mandi dan siap-siap sebelum Devara sampai.

Sejak bulan lalu Faralyn memang berjanji akan mengambil cuti untuk pergi keluar dengan Devara. Namun ada dua pementasan yang harus Faralyn lakukan sehingga jadwal latihannya makin padat. Saat libur, ia menggunakannya untuk pergi dengan Carel. Namun hari ini Faralyn tak hanya lelah, tubuhnya terasa remuk.

Faralyn keluar dari kamar setelah membersihkan diri dan mengenakan celana longgar moka yang dipadukan dengan crop top berwarna sage.

"Kok udah bangun?" Winda mendapati Faralyn keluar dari kamar dan sudah berganti pakaian, "janji sama dokternya kan nanti siang."

"Dev ngajak jalan." Faralyn memilih sepatu yang akan ia pakai. Harusnya ia tak memakai sepatu karena itu akan memperparah lukanya.

"Ya ampun tapi kan kamu harus istirahat hari ini Lyn."

"Aku udah janji keluar sama dia." Akhirnya Faralyn memutuskan memakai sandal, ia tak mau kakinya yang berharga semakin parah.

"Tapi masa dia nggak bisa ngertiin kamu sih?" Winda kesal karena Devara tak pernah meminta pendapat Faralyn jika hendak keluar.

"Apa boleh buat." Faralyn mengedikkan bahu pasrah.

"Aku bikinin protein shake, kamu bisa minum di jalan."

"Oke." Sembari menunggu Winda membuat protein shake, Faralyn memakai sedikit riasan agar tidak terlalu pucat.

Lyn, pakai baju putih ya biar kita samaan.

Faralyn mendelik membaca pesan Devara, rasanya ia ingin membanting ponselnya sekarang juga.

"Ada apa lagi?"

"Dev bilang harus pakai baju putih." Faralyn menghentakkan kakinya kesal karena ia harus ganti baju lagi.

"Ribet amat tuh cowok." Gerutu Winda tidak peduli jika Devara adalah pacar Faralyn. Yang terpenting bagi Winda adalah kondisi kesehatan Faralyn.

Faralyn kembali ke kamar untuk mengganti atasannya dengan warna putih.

Ketika keluar dari kamar, Faralyn mendapati Devara sudah menunggunya di ruang tamu.

"Hai." Sapaan Faralyn membuat Devara mengangkat wajah lalu mengembangkan senyum.

"Kamu cantik banget." Puji Devara melihat penampilan Faralyn hari ini, ia tidak salah memilih baju putih karena itu tampak cowok untuk Faralyn.

"Kamu nggak ganteng, biasa aja." Cibir Faralyn.

Devara tertawa beranjak dari duduknya lalu memeluk Faralyn, "tapi mata mu mengatakan kalau aku tampan." Bisiknya di telinga Faralyn.

"Mau kemana hari ini?" Tanya Faralyn.

"Ke rumah orangtuaku."

"Eh tiba-tiba?" Faralyn tidak mempersiapkan diri untuk bertemu orangtua Devara, paling tidak ia harus berpakaian lebih bagus.

"Aku udah lama nggak kesana." Devara sengaja menunda mengunjungi papa dan mama nya agar bisa sekalian pergi bersama Faralyn.

"Tapi aku pakai baju kayak gini, nggak apa-apa?" Faralyn melihat penampilannya sekali lagi.

"Memangnya kenapa, kamu cantik pakai ini." Devara meraih pinggang Faralyn melangkah keluar dari apartemen.

Setelah masuk mobil, Faralyn melanjutkan make-upnya yang belum selesai karena Devara menyuruhnya ganti baju tadi. Sesekali Devara melirik Faralyn dan tersenyum.

"Lihat jalannya jangan lihat aku nanti nabrak." Gumam Faralyn menyadari Devara melihatnya beberapa kali. "Warna lipstik ku terlalu bold ya?"

"Bagus kok tapi kamu lebih pantas pakai warna soft."

"Aku ganti aja, kamu punya tisu nggak?"

"Ada di dalam situ."

Faralyn membuka dashboard mengambil tisu untuk mengusap bibirnya. Ia mengganti lipstiknya dengan warna peach yang membuatnya terlihat segar.

Ketika hendak menutup kembali dashboard, Faralyn melihat pita rambut berwarna merah muda menyembul keluar. Faralyn familiar dengan pita tersebut karena itu adalah aksesoris yang digunakan ballerina Wonderful Academy saat tampil kemarin. Namun Faralyn tidak memakai warna merah muda kemarin, ia yakin pita miliknya ada di apartemen sekarang.

"Ini pita siapa?" Faralyn menarik pita tersebut menunjukkannya pada Devara.

"Hm?" Devara spontan menginjak rem, ia gelagapan. Itu adalah pita yang Aca kenakan, semalam mereka pulang bersama dan Aca mungkin meninggalkannya di dashboard. Harusnya Devara memeriksa dashboard nya sebelum menjemput Faralyn. Tidak, harusnya ia menggunakan mobil lain.

"Bukannya punya kamu?" Devara balik bertanya.

Faralyn menggeleng, ia tidak pernah meninggalkan barang-barangnya sembarangan terutama di mobil orang lain.

"Kayaknya punya adik ku." Devara segera memasukkan kembali pita itu ke dashboard.

Faralyn terdiam, ia tahu persis jika itu pita milik Wonderful Academy karena mereka memesannya secara khusus. Pola angsa pada pita itu tak akan ada di tali rambut manapun.

Terpopuler

Comments

muna aprilia

muna aprilia

semoga cepet ketahuan

2023-07-15

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!