LOG 19 - SAMUDRA

Aku mengambil kotak P3K dari Hawa, meletakkannya kembali ke tempat. Anak itu memberiku tatapan penuh tanya. Kualihkan pandangan matanya itu pada sosok yang tengah terbaring di atas tempat tidur. Candra sedang memastikan ulang bahwa kondisi Gemintang terbilang baik.

Aku dan Candra bertukar anggukan, lalu kugiring Hawa keluar ruangan, menutup pintu setelahnya. Orang-orang yang menunggu di luar langsung menatapku seolah menuntut jawab.

“Kondisi Bu Gemintang baik. Kalian bantu doa saja.” Ketika tatapan mereka beralih, aku ganti menarik perhatian Hawa. “Wa, kamu istirahat saja. Seharian kamu ‘kan mengekor Rawi, bantu menangkap penjahat itu pula. Biar Pelangi diurus Angkasa.”

Hawa menurut. Di saat bersamaan, kudengar dering telepon yang tertanam di dinding lobi.

“Itu pasti Mas Rawi!” Binar menghampiri telepon seperti anak yang kasmaran pada pacarnya.

Namun, aku lebih dulu sampai dan memegang gagang itu sebelum Binar. “Biar Bapak saja. Anak-anak dilarang mengurus masalah yang berat.”

“Lebih berat Kak Senja kali, Pak.”

“Ha, bicara apa kamu?” teriak Senja dari arah belakang.

“Jangan bertengkar! Ingat situasinya ya.” Aku lekas mengangkat telepon. Di ujung sana, terdengar suara Rawi bercampur napasnya yang tak teratur. Binar masih saja setia menantiku dan berusaha menguping. Kudorong saja wajahnya, mengusirnya. Kuabaikan gerutuan yang meluncur di sela bibirnya, fokus pada ucapan Rawi.

“Jangan gegabah, Wi! Amati dulu situasinya, baru bertindak. Ngomong-ngomong, kamu sudah melihat Embun?”

“Aku tidak melihatnya di sekitar. Dugaanku dia ada di dalam.”

“Ada berapa orang di sana?”

“Aku melihat dua di luar, satu di dalam sedang bersandar di jendela.”

Tanpa sadar aku sudah mengelus-elus dagu. Hal yang sering kulakukan saat meneliti tanah. Seolah pikiranku punya pikiran sendiri.

“Awasi sekitarmu, Wi. Tidak mungkin jumlah mereka sedikit. Setidaknya ada delapan orang.”

“Bagaimana Mas Samudra yakin dengan angka itu?”

“Kalau ini penyerbuan massal, tidak mungkin juga yang ke atas cuma satu. Aku yakin, jika dikaitkan dengan, maaf, kematian Ranu, ini adalah sekawanan orang yang penasaran.”

Mendadak ujung telepon menjadi sunyi. Keringat langsung meluncur dari dahiku sama seperti saat aku menatap sampel yang bertebaran di kaca mikroskop. Rasanya senada menanti keberhasilan suatu senyawa demi menunjang kesuburan tanah.

“Maaf, Mas, aku baru melihat dua orang turun dari menara itu.” Suara Rawi terdengar lebih kecil dari sebelumnya.

“Mereka mau ke mana?”

“Entahlah. Aku akan menyimpan ponselku dalam kantong. Harap Mas Samudra jangan berbicara sepatah pun. Cukup dengarkan saja. Aku akan mendekat.”

Aku menyebut namanya, tetapi sepertinya ponsel Rawi sudah masuk ke dalam saku. Alhasil, aku hanya bisa mendengarkan dengan cemas.

Sambungan telepon ini bisa disamakan dengan menonton film bisu. Bahkan aku tidak bisa mendengar bunyi rumput yang tersibak kaki Rawi atau ranting pohon yang patah karena injakannya. Barangkali karena Rawi sehati-hati itu. Setangkai waktupun habis dengan menyaksikan orang-orang di dalam lobi yang setia menanti kepastian situasi. Lalu, aku mendengar teriakan singkat Rawi.

Sesuai permintaannya, aku bungkam dan siaga mendengarkan.

“Drop your weapon!”

“You drop it first!”

Untungnya, aku mempelajari Bahasa Inggris demi bisa membaca buku-buku luar. Nyatanya, itu tidak hanya membantu penelitianku, tetapi juga saat-saat begini. Apakah keduanya menggunakan senapan? Semakin menegangkan saja!

“So, you’re one of them? How does it feel to live in such environment while letting your kind suffering out there?”

“Enough with this chit-chat. I want my friend back.”

“Oh, the girl.”

Gendang telingaku seperti ditusuk begitu mendengar suara letusan. Gagang telepon kudorong maju sementara tangan satunya menutup rapat lubang pendengaran. Para juniorku tergugah seperti serigala mencium bau darah. Kutenangkan mereka, berkata kalau Rawi baru saja berteriak padaku.

Suasana dalam lobi kembali tenang. Akupun bergaul lagi dengan gagang telepon usai berbaikan dengan suara yang dihasilkannya. Sial! Aku tidak sempat mendengar pembicaraan mereka selanjutnya. Kesunyian mendesirkan punggungku hingga terdengar lagi suara bass yang serak.

“Hey, girl, say hi to your knight in shining armor.”

“Kak Rawi!” seru Embun dengan nada yang bergetar.

“Tenang, Embun, aku akan keluarkan kamu dari sini.”

“Mau keluar ke mana? Turun gunung menuju gurun pasir? Kamu yakin?”

Ada sebagian diriku yang menyesali telah mengangkat telepon ini. Kengerian yang ditimbulkannya sama seperti saat menonton film-film horor jadul yang selalu diputar anak-anak tiap malam Jumat. Sesuatu pasti akan muncul tiba-tiba. Aku takut bila yang tiba-tiba muncul itu adalah peluru yang menembus tubuh Rawi dan Embun.

Aku mengelus tengkuk dengan kasar. Rasa merinding ini belum juga enyah dari permukaan kulitku, semakin menambah deras peluhku saja.

“Jadi, kalian ini orang-orang gurun yang mencari oasis? Aku jelaskan ya kalau yang kalian lihat ini fatamorgana. Kami hidup di sini bukan untuk suka-suka. Ini demi kebaikan umat manusia.”

“Whatever bullshit you’re talking about, sama saja, mulut kalian dimanja oleh hasil bumi.”

“Since we haven’t found the right answer, we must keep ourselves living, right?”

Lagi-lagi telingaku ditusuk oleh bunyi melengking. Kali ini, ledakan tawa laki-laki itu yang membuatku geleng-geleng kepala. Aku penasaran sekali melihat sosoknya. Dalam bayanganku dia seperti binaragawan berbadan besar dan tinggi semampai. Semacam monster dengan Bahasa Inggris yang fasih.

“There’s never gonna be the right answer. Kalian pikir tindakan kalian menyegel gunung ini dari dunia luar adalah tindakan benar. Kami juga berpikir usaha kami masuk ke sini adalah tindakan benar. Semua orang akan menganggap dirinya benar bahkan dalam alam bawah sadarnya. Salah itu kita tentukan dari apa yang kita lihat dan yang keluar lewat bibir. Daripada menanti yang salah ini berubah benar, kenapa tidak kita putuskan sekarang?”

“Berapa banyak yang kalian terima dari para manusia berdasi itu?” tanya Rawi setelah diselipi kesunyian. Barangkali dia tengah membaca lawannya.

“Uuuhh… pengamatan yang bagus. Tapi aku tidak dibayar oleh yang kamu sangka pemerintah itu.”

“Jika bukan pemerintah, berarti kalian disuruh orang pendek yang rambutnya hanya tumbuh di belakang kepala?”

“Lho, itu Mas Pah. Kalian apakan Mas Pahku?”

Jadi, di antara mereka ada wanitanya. Namun, aku tidak tahu siapa wanita ini. Dari suaranya kedengaran kalau wanita ini berusia sekitar empat puluhan. Apakah yang disebutnya “Mas Pah” itu suaminya?

“Dia masih hidup kok. Aku bisa kembalikan dia asal kalian mau meninggalkan tempat ini.” Rawi menawar.

“Ratsnake, kita turuti saja ya. Kita pulang saja ya, Acin. Si Bun tidak mau Mas Pah kenapa-kenapa.” Wanita itu merengek, memicu bentakan dari laki-laki tadi.

Sumpah, sehabis ini aku akan meminta Candra mengecek isi telingaku. Untung aku masih bisa mendengar ada nama-nama disebut. “Ratsnake” terdengar seperti nama samaran yang dipakai para agen sebagai kode, atau bisa juga pembunuh bayaran. Satu di antara keduanya, yang jelas inilah musuh kami. Dan… “Ratsnake” bukan sesuatu yang enak didengar. Bukan karena padanannya yang ular itu—sebab jenis ini tidak beracun—tetapi orang-orang yang mematikan justru cenderung memilih nama yang lembut.

Ayo, Rawi, korek terus informasinya!

“Mas Samudra, kamu ngomong sama siapa sebenarnya? Kok serius gitu.”

Aku berbalik mengalahkan kecepatan kilat. Kegugupan memeras peluh dengan hebatnya sampai yang keluar melebihi ukuran biji jagung. Bagaimana aku tidak sampai begini kalau Angkasa berkata sekencang itu?

“Hei, suara apa itu? Oh crap! Jadi, ada yang menguping rupanya. Baiklah, bunuh saja keduanya. Biar mereka sekalian tahu, sebentar lagi ada dewa kematian datang menjemput.”

Suara letusan mengagetkanku, membuat tanganku kehilangan tenaga. Letusan yang lain menyambung sampai akhirnya hening. Gagang telepon berayun dari kiri ke kanan dan sebaliknya, menyuarakan cekam yang menggetarkan seluruh tubuhku.

“Angkasa… what have you done?”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!