Baru saja kulihat Kak Fajar dan Kak Argo masuk ke dalam pos komunikasi. Hatiku bergejolak, ingin mengetahui informasi apa yang mereka dapatkan perihal kematian Kak Ranu. Begitu aku turun dan sampai di luar, pintu pos komunikasi tertutup rapat. Aku mengetuknya, tetapi tidak ada sahutan. Kutempelkan telingaku pada pintu. Sunyi. Kuputuskan meninggalkan lokasi sebab aku yakin mereka pasti sudah pergi saat aku menuruni tangga.
Aku pun menyusuri ladang teh yang terbentang di depan posku. Kubentangkan kedua tangan hingga jemariku dapat menyentuh pucuk daun teh, berjalan mondar-mandir sambil memikirkan apa yang bisa kulakukan demi membantu perkembangan kasus. Aku memang setuju dengan pendapat Kak Angkasa kalau Kak Rawi berbohong, tetapi apa alasannya?
Mataku membelalak saat gagasan itu muncul. Aku perlu mencari tahu penyebab dia menyembunyikan kebenaran. Aku berlari melewati gugusan tanaman kayu hingga akhirnya tiba di pos milik Kak Rawi. Pada sebuah batu besar di samping bangunan, Kak Rawi sedang duduk tertunduk. Aku menepuk pelan punggungnya.
“Oh, hei. Hanya sekadar lewat?”
Aku menggeleng. “Aku mau bicara dengan Kakak.”
“Kamu sudah dengar kalau aku akan dipindahkan?”
Aku mengangguk.
“Kalau begitu, kamu tidak perlu dengar apa-apa lagi dariku.” Kak Rawi melanjutkan. “Keputusannya sudah final, Wa. Selamat tinggal.”
Kak Rawi berdiri, membalikkan punggungnya. Tubuh yang selalu tegap itu sekarang tampak layu, dan kedua kaki itu seakan menyeret beban yang amat berat. Aku berderap, membentangkan tanganku di depan Kak Rawi. Kudengar deru napasnya yang lemah, tidak seperti biasanya.
“Sebelum Kakak pergi, aku mau tahu kenapa Kakak berbohong soal kecelakaan yang menimpamu.”
“Aku tidak memalsukan fakta. Aku memang tergelincir dari Solari dan melukai perutku.”
“Jelaskan! Ceritakan secara detail.”
“Aku bisa saja cerita, tapi percuma. ‘Kan kamu sudah memihak si Angkasa itu.”
Hilang sabar, aku meninju perut Kak Rawi yang terluka. Dia meringis, menampakkan deretan gigi yang hampir putih sempurna. Telapak tangannya menutupi bagian yang sakit itu. Sehabis menahan perih, ekspresi wajahnya berubah. Seolah dia tak percaya akan apa yang telah kulakukan.
“Kak, jujur aku masih sangat baru di sini. Lalu, tiba-tiba masalah datang. Sebagai orang baru, masak iya aku cuek. Makanya aku mencari informasi yang berguna demi menunjukkan bahwa aku juga peduli terhadap kalian meskipun aku masih baru. Jadi, tolonglah, Kak, ceritakan padaku.”
Kak Rawi memandangku lama, baru kemudian dia mengangguk, setuju menumpahkan segalanya. “Jadi, waktu itu aku mengambil alih Solari dari Argo. Aku sebenarnya punya memori yang pendek, Wa. Baru saja menaruh barang, lalu diselingi aktivitas lain, sesudah itu lupa di mana barang tadi kutaruh. Sama halnya dengan Solari, aku tidak ingat nomor berapa yang kutumpangi. Yang jelas saat berada di permukaan datar−kamu tahu ‘kan lokasi kincir air?−di sekitar situ aku keliru memencet tombol fungsi robotik. Aku langsung menukarnya dengan yang kumaksud, tapi Solari itu malah bergetar, dan kursinya melemparku ke udara.
“Kamu juga tahu ‘kan kalau aku tidak suka memakai sabuk pengaman. Jadi, kamu bisa membayangkan bagaimana situasinya saat itu. Begitu mendarat di tanah, aku terguling sedikit. Saat itulah aku merasakan perih di perutku.”
“Bagaimana dengan Solari-nya? Kenapa tidak ada masalah pada dua Solari selain nomor tiga? Karena menurut daftar peminjaman, Solari yang dipakai Kak Rawi ketika kecelakaan itu nomor dua.”
“Mudah saja, Wa. Ketika terjadi malfungsi, kita hanya perlu menghidupkan ulang sistemnya. Itu kata Mas Angkasa sewaktu peluncuran kendaraan buatannya. Dan sebenarnya, darahku sedikit mengotori Solari, jadi diam-diam kubersihkan saja. Bahkan luka di perutku, aku sendiri yang menjahitnya.”
Aku membelalak. Tak menyangka bahwa Kak Rawi cukup independen. Dia pasti tipe orang yang tidak suka membebani orang lain. Mungkin dia juga memendam sendiri masalahnya, mencoba keluar dari sana sendirian.
“Aku bisa memahami masalah memori Kakak yang pendek, tetapi tergelincir?”
Kak Rawi berdeham. Kulihat jakunnya naik, lalu turun. “Menurutmu, kamu tidak akan tertawa kalau kubilang aku terpental?”
Aku seketika cekikikan.
“Sudah kuduga. Mas Guntur pasti memarahiku habis-habisan gara-gara tidak mengenakan sabuk pengaman. Kalau tergelincir ‘kan lain cerita.”
“Tapi bisa kok, Kak. Tergelincir karena tidak menggunakan pengaman. Tadi pagi, aku dan Kak Angkasa mereka-reka kejadian Kakak bisa tergelincir.”
“Kamu begitu percayanya dengan Mas Angkasa?”
Jantungku serasa berhenti ketika Kak Rawi menatapku dengan sendu. Aku menyebut namanya, ingin mengungkapkan bahwa aku tidak bermaksud menyakiti hatinya. Namun, Kak Rawi kembali menekankan bahwa dirinya akan dipindahkan. Aku pun memutar otak. Kecurigaan orang-orang jika dalangnya adalah Kak Rawi terbukti tidak benar setelah pernyataannya ini.
“Kak, kamu harus menyampaikan pada mereka apa yang barusan Kakak katakan padaku. Dengan begitu, mereka akan menunda pemindahannya dan Kakak akan punya cukup waktu untuk membuktikan bahwa mereka salah.”
“Buat apa, Wa? Aku juga terlanjur percaya bahwa ini semua salahku. Aku telah membunuh Ranu, saudara kembarku sendiri. Aku bahkan meletakkan harga diriku tinggi-tinggi tanpa menyadari bahwa aku penyumbang terbesar dalam kematiannya. Ya, aku memang dalangnya. Kamu tahu kena−”
“Cukup, Kak!” Aku mendekap Kak Rawi, tetapi dia tidak mendekap balik, justru mematung dalam kebisuan. Kurasakan tubuhnya gemetar dan hawa panas menyeruak. Apakah Kak Rawi sedang demam?
“Wa, aku tekankan sekali lagi. Semua perkataan Mas Angkasa benar terutama tentang masalah keamanan itu. Seharusnya, semua robot hewan buas itu bekerja saat ada orang asing masuk ke wilayah gunung. Karena tidak ada tanda bahaya yang berbunyi, makanya aku menduga pelakunya orang dalam. Namun, setelah kupikir dan kuselidiki lebih lanjut, kemarin lusa sistem keamanannya sedang mati. Aku tidak tahu berapa lama itu terjadi, makanya aku juga diam. Toh, siapa lagi yang berani masuk ke mari setelah pemberitaan itu. Ternyata…”
“Kak!” Aku melepas pelukanku. “Cukup menyalahkan diri Kakak. Jika memang bukan Kakak pelakunya, bertingkahlah selayaknya. Jangan menambah susah masalah dengan menyudutkan diri Kakak sendiri. Lagipula, siapa yang akan menguak kematian Kak Ranu kalau Kakak pergi? Aku? Pak Guntur? Pemimpin kita?”
Bibir Kak Rawi terkatup. Pandangannya mengelana jauh entah ke mana. Mungkin dia sedang berpikir atau justru melamun. Aku pun meraih lengan bajunya, menggoyang-goyangkannya. “Kak, biarkan aku membantumu.”
Akhirnya, pandangan Kak Rawi fokus kepadaku. Bahkan segurat senyum menari di bibirnya. “Kamu masih terlalu muda untuk memikirkan masalah. Biarkan saja semua berlalu seperti air yang menghanyutkan. Lagipula, aku sudah mengikhlaskan kepergiannya. Aku tidak akan menyimpan dendam karena Ranu sangat tidak menyukai itu.”
Aku benar-benar gemas. Kukepalkan sebelah tangan, sedangkan satunya mencubit lengan Kak Rawi. Dia tidak mengaduh. Mungkin karena tangannya terlalu tebal. Tebal oleh otot. “Justru karena aku masih muda, aku punya banyak tenaga. Aku bisa berlari seharian demi mengumpulkan informasi untuk Kakak.”
“Itu artinya kamu menjadi bonekaku. Aku tidak mau.”
“Kak, jangan membuatku kesal!” Aku menggertakkan gigi. “Baiklah, kita mulai dari pernyataan Kakak tadi soal sistem keamanan yang mati. Kapan tepatnya dan karena apa?”
Kak Rawi menyemburkan napas kepasrahan. “Dua hari yang lalu aku terpaksa harus reboot system karena terjadi kesalahan, jadi seluruh sistem mati untuk beberapa saat. Aku harus pergi berkeliling saat itu. Kupanggil Argo untuk mengecek progresnya. Sistem keamanan yang kompleks−mencakup keamanan di gerbang terluar hingga keamanan laboratorium−terkadang perlu perintah manual untuk menghidupkannya. Argo seharusnya sudah tahu hal ini. Aku mengajarinya sampai dia bosan.
“Namun, saat aku kembali dari berkeliling, sistem utamanya justru tidak bekerja. Kupikir ada kesalahan lain lagi, dan Argo tidak tahu sehingga dia mencariku. Tetapi tidak, dalam hitungan detik seluruh sistem bekerja dengan baik. Aku sempat berpikir bahwa ini salah Argo yang tidak cermat, tapi aku tidak bisa membebankan kesalahan yang fatal pada anak itu. Bagaimanapun, aku ini mentornya.”
Aku melongo. “Kenapa Kakak malah pergi berkeliling?”
“Aku pergi ke semua posku. Ke gerbang terdepan, ke menara luar, sampai ke laboratorium untuk memberitahu mereka soal reboot system dan supaya mereka mengabariku kembali jika ada masalah timbul.” Tangan Kak Rawi berlabuh ke bahuku. “Sudah kubilang, ini salahku.”
“Tidak, tidak, tidak.” Kuusir tangan Kak Rawi. “Kalau sistem mati, tandanya orang luar bisa masuk dengan leluasa bukan?”
Kak Rawi mengangguk.
“Kakak tidak berupaya membuktikan ini?”
Bibir Kak Rawi terbelah sedikit. Aku bergegas menempelkan jari telunjukku ke sana. “Aku tidak mau dengar apa-apa lagi dari Kakak.”
Kak Rawi setengah membelalak. Aku sadar, aku telah bertindak terlalu jauh. Aku pasti membuatnya sangat tidak nyaman. Buru-buru kutarik telunjukku, lalu teriakan itu terdengar.
“Ini kali kedua aku melihat pasangan bermesraan. Entah apa aku sanggup menyimpan semuanya.”
“Jangan berpikir aneh-aneh, Jar! Ini bagian dari pengobatan. Hawa sedang menenangkanku yang gundah karena hendak diusir dari sini.”
“Simpan gundahmu untuk lain waktu, Kak, karena aku menemukan bukti yang bisa menyelamatkanmu dari pengasingan.”
Kak Fajar menjulurkan tangannya. Dalam genggamannya itu mencuat dua balok warna putih berbintik cokelat. Aku menutup mulut dengan tangan, menghalangi jantungku melompat dari sana. Aku melirik pada Kak Rawi yang juga menatapku dengan penuh ketidakpercayaan. Kami berdua mengenal benda itu. Makanan energi yang selalu kami makan selama hidup di panti asuhan. Makanan yang hanya ditemukan di luar fasilitas penelitian ini.
“Ayo, tunjukan ini pada pemimpin kita sebelum waktu makan malam tiba!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments