LOG 2 - RAWI

Tiga belas tahun yang lalu, dia berdiri di depanku dengan kemeja putih dan celana panjang warna abu-abu. Wajahnya bersih tiada dihinggapi sehelai rambut pun. Dia menata poninya ke belakang, mengolesinya dengan gel rambut. Entah berapa banyak yang dia pakai, rambutnya itu tampak basah dan kaku. Kelihatan sekali lajur-lajurnya seperti pemandangan ladang jagung yang baru sebetis kaki tumbuhnya.

“Kamu yakin mau tampil begitu? Setidaknya cukur cambangmu biar tampak ramah.”

“Jangan urusi cambangku! Kamu yang keterlaluan, Nu. Keterlaluan bersih. ‘Kan malu-maluin aku.”

“Yakin tidak terbalik?”

“Dari dulu kamu yang selalu dianggap tampan. Biarkan tetap begitu. Biar aku yang mengambil peran si garang.”

Tiga belas tahun yang lalu, kami mengerjakan peran masing-masing. Aku mengurusi masalah keamanan fasilitas penelitian ini sedangkan Ranu berkeliling gunung untuk mengamati flora, fauna, dan habitat mereka. Pekerjaan ini membuat kami jarang bertemu kecuali saat sarapan atau makan malam. Terkadang kami bahkan tidak bertemu sama sekali karena Ranu seakan terobsesi dengan tugasnya. Dia jarang pulang. Sebagai gantinya, dia mengirimi kami pesan gambar untuk memberitahu lokasi terakhirnya.

Tanpa terasa kami berdua sudah berkepala tiga dan masih mengurusi hal yang sama. Pernah aku mengikuti Ranu berkeliling gunung gara-gara tidak ada pekerjaan. Aku menghabiskan waktu mengekorinya, mendaki dan menuruni Gunung Merbabu ini. Ranu tidak menolakku. Dia bahkan mengajariku tentang dunianya. Dia sering berhenti lama di satu titik, mengarahkan pandang pada satu hal tanpa berkedip. Dia seperti kerasukan, merapalkan kalimat dengan suara hampir tak terdengar. Ketika itu terjadi, aku memilih menyandarkan diri pada batang pohon untuk menjelajahi alam mimpi. Bangun-bangun dia sudah menghilang. Lalu, kutemukan dia sedang melakukan hal yang sama di titik lain. Menurutku, dunianya lebih membosankan daripada duduk di depan komputer atau mengawasi keadaan lewat layar CCTV.

Aku masih berharap bahwa Ranu sedang berada di suatu titik, melamun dan menghayati pucuk dedaunan. Dia pasti kelupaan mengisi baterai ponselnya. Mungkin saja, sekarang dia telah kembali karena tidak betah dengan tubuhnya yang lengket dan berbau kecut.

Aku menghentikan laju Solari, mengambil ponselku dari saku celana untuk memanggil Naura. “Sudah ada kabar?”

Hanya helaan napas panjang yang kudengar di ujung telepon. Darahku seketika berdesir. Jantungku berdebar tak karuan. Pikiranku kembali ke momen itu di waktu ada seorang mata-mata pemerintah yang masuk ke fasilitas rahasia ini.

“Naura!” Suaraku kencang, merambat bersama angin menuju gugusan pohon terjauh.

“Kamu pulang dulu ya, Rawi.”

Telepon terputus. Aku mengumpat, lalu melemparkan diri ke kursi pengemudi. Tanpa mengikat sabuk pengaman, kupacu Solari langsung dengan kecepatan tinggi. Aku menyetel fungsi semi-auto dan memasukkan tujuan. Kuambil jalan pintas tanpa memedulikan medannya.

Begitu sampai di trotoar berwarna putih, aku langsung melompat dari kursi pengemudi. Kudapati mereka memandangiku dengan mata melotot. Beberapa bahkan sampai menutupi mulut mereka yang menganga. Kudengar Solari berdecit sebelum bunyi mesinnya senyap.

“Katakan padaku apa yang terjadi pada Ranu!”

Mereka bungkam seolah sedang menyusun kata-kata dalam otak mereka. Aku mengepalkan tangan, ingin memukul sesuatu untuk melampiaskan ketidaksabaran ini.

“Jawab!” Aku berteriak. Mereka masih bungkam. Akhirnya aku berpaling dan menutupi wajahku dengan telapak tangan, berusaha melemaskan otot-otot yang masih menegang.

Seseorang kudengar berdeham. “Candra menemukan Ranu tersembunyi di antara semak beri. Seluruh barang bawaannya menghilang. Dan di tubuh Ranu…”

Aku menoleh menuju sumber suara. Naura sedang mengusap-usap dadanya. Dia mengatur napas yang terdengar tak beraturan. Detik ini juga aku merasakan sesuatu menyusup ke dalam rongga dadaku. Perasaan yang amat tidak nyaman.

“Lanjutkan, Ra,” pintaku.

“Ada pisau… tertancap di lehernya. Ranu sudah meninggal, Wi, karena kehabisan darah. Aku minta maaf.”

Aku hening. Mereka ikut hening. Suasana terasa sangat dingin, mendesirkan sekujur punggungku. Aku teringat kembali di hari itu sebelum datang ke tempat ini. Kukatakan pada Ranu bahwa bisa saja kami bukan dipekerjakan, tetapi dipakai sebagai bahan percobaan. Namun, senyuman Ranu membuatku mengikuti jejaknya. Sekarang senyuman itu takkan pernah kulihat lagi.

“Siapa yang membunuh Ranu?” Aku mengunci mata mereka satu persatu.

“Eh, ka-kami belum tahu penyebab kematiannya, Wi.”

“Bukannya sudah jelas, Ra? Katamu tadi Ranu mati karena kehabisan darah.”

“Ya, tapi itu baru asumsi kami.”

“Bukannya tadi kamu juga bilang kalau Candra yang menemukannya? Candra ‘kan paramedis. Harusnya dia tahu sebab kematian Ranu. Di mana dia sekarang? Aku mau bicara.”

Naura mengantarkanku masuk ke gedung utama menuju ruang konsultasi medis. Di dalam sudah ada Candra, dan dokter kami sedang meneliti raga Ranu yang sebagian tertutup kain putih. Aku melihat betapa pucatnya kulit Ranu. Juga tampak bersih, kecuali bekas sobekan di lehernya. Mataku berhenti di sana, tidak bergerak menuju wajah yang serupa denganku itu.

“Rawi, kamu masuk ke sini apakah sudah siap?”

“Sebenarnya aku mau bicara dengan Candra saja, Dok.”

Kulihat mereka berdua saling berpandangan. Aku memalingkan muka segera karena masih dapat melihat tubuh Ranu yang membujur kaku. Tangan-tangan jam analog merentang ke angka sepuluh dan tiga. Kata Naura, Ranu tidak ada kabar sejak kemarin. Dari kemarin itu, sama sekali tidak ada yang curiga jika Ranu menghilang.

“Bagaimana bisa tidak ada yang tahu soal keberadaan Ranu? Jika dia menghilang sejak kemarin, bukankah setidaknya ada laporan darinya di pagi hari? Ranu biasa memberi kabar saat pagi, malam, dan ketika dia menemukan sesuatu yang harus dibagikan. Apakah dia sudah meninggal dari kemarin?” Aku melirik ke arah dokter itu dan Candra secara bergantian.

Candra berdeham dua kali. Matanya tertunduk menjauhi tatapanku. “Menurut hasil autopsi, memang benar kalau Kak Ranu meninggal kemarin. Tepat satu hari lebih tiga jam. Penyebab kematian adalah perdarahan masif akibat luka tusukan yang dalam mengenai pembuluh nadinya. Aku menemukan pisau pelaku masih menancap di−”

“Cukup!” Aku berseru tak terkendali. Sejenak kuambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Apa ada sidik jari yang terekam?”

Candra menggeleng. “Siapa pun pelakunya membakar pegangan pisau. Dan dia tidak meninggalkan sidik jari lain di tubuh kor―maksudku, Kak Ranu. Tempat kejadiannya bersih, sudah kuteliti dengan cermat. Bahkan barang-barang Kak Ranu juga tidak ada.”

“Apa kamu punya dendam pada Ranu, Candra?”

Pupil Candra melebar. Kedua alisnya naik tinggi-tinggi. Dia menukar pandangannya dariku menuju dokter itu. “Tu-tu-tu-tunggu! Kak Rawi tidak sedang menuduhku ‘kan? Itu tadi hanya sekadar bertanya ‘kan?”

Candra membuat suara cekikikan yang canggung. Jelas sekali terlihat jika dia gemetar, mungkin menyimpan rasa takut. Ketika kukatakan bahwa aku mencurigainya, dia tersedak.

“Aku akan kembali setelah mengumpulkan lebih banyak bukti.” Aku berbalik, melangkah menuju ambang pintu.

“Tunggu, Rawi!” Dokter itu memanggil, menghentikan langkahku. Namun, aku tidak menolehkan wajah. “Kamu tidak mau melihat saudara kembarmu dulu?”

Aku kembali berjalan tanpa meninggalkan sepatah kata pun. Meski kenyataan ini asli, aku menolaknya. Di pikiranku masih terekam wajah yang serupa denganku. Bibirnya yang bersih dari cambang ataupun kumis menyunggingkan senyum. Dia terlihat bersemangat dan senang dengan keputusan yang kuambil untuk mengikuti jejaknya berkutat di fasilitas penelitian yang tidak diketahui siapa pun, bahkan oleh pemerintah. Akhirnya, aku benar-benar menyesal mengambil jalan ini.

Seharusnya aku tidak pernah menginjakkan kaki di sini. Seharusnya kuyakinkan Ranu untuk melanjutkan hidup di kota itu.

“Sial!” Aku mengumpat berturut-turut. “Kamu bodoh, Nu. Bodoh!”

Aku sudah sampai di pos pengamatanku―sebuah ruang yang ditahtai tiga layar besar penampil rekaman CCTV yang terletak di atas meja bersama dengan papan ketik, tetikus, dokumen, hingga cangkir yang retak bibirnya. Masih diselimuti amarah, aku membanting papan ketik berkali-kali hingga tombol-tombolnya terlepas. Papan ketik itu sudah tidak berbentuk lagi sekarang.

Aku roboh ke atas kursi, membenamkan wajah dalam telapak tangan. “Siapa pelakunya, Nu?”

Aku merenung, mencari tahu siapa saja yang mungkin berpotensi mencelakai Ranu. Tiap kali aku memikirkan seseorang, bayangan Ranu sekilas berlalu. Aku kehilangan konsentrasi. Aku tidak punya minat untuk menjelajahi rekaman CCTV sekarang. Hatiku terlanjur diluapi amarah dan ketidakpercayaan. Aku berdiri, ganti memukul-mukul meja dengan kepalan tangan. Lalu, aku meninggalkan ruangan.

Selain aku, ada dua orang lagi yang bertugas sebagai penjaga keamanan. Mereka juga berkeliling gunung. Kemungkinan besar mereka melihat Ranu di hutan. Bahkan bisa saja tahu siapa pelakunya. Aku menuju gedung utama. Semua orang pasti sedang berada di sana sebab kabar tentang Ranu tidak mungkin tidak mengundang perhatian, kecuali jika orang itu memang cuek atau dia adalah pelakunya.

Seperti yang kuduga, semua orang yang berjumlah tujuh belas berkerumun di lobi. Aku mengunci tatapan mereka satu persatu. Sulit mengatakan siapa pelakunya karena mereka memasang tatapan bersedih dan mengasihaniku. Di pinggir kerumunan, ada Candra berdiri dengan canggung. Dia menghindar dari pandanganku.

“Tidak usah basa-basi. Pembunuh Ranu, datang dan berdiri di hadapanku!”

Semua orang saling bertukar pandang. Naura maju ke depan, tetapi segera mundur. “Apa yang membuatmu berpikir salah satu dari kami pelakunya?”

Aku mencengkeram telapak tanganku. Amarah itu mulai menohok rongga dadaku lagi. Kuulangi kembali pertanyaanku. Salah satu dari kerumunan itu menjawab, “jangan-jangan orang dari pemerintah datang lagi. Siapa yang terakhir bergabung? Hawa ya?”

Aku cekikikan mendengar penuturan itu. “Sebagai orang yang tidak ada di sini saat kejadian itu terjadi, kamu berani menuduh dia? Kalau orang dari pemerintah bisa masuk ke sini lagi, berarti sistem kita telah hancur. Lupakan risetnya dan kembali ke tempat masing-masing! Tapi menurutku, bukan itu situasinya.”

“Tapi tidak mungkin salah satu dari kami−”

“Aku tidak percaya kali kedua, Ra! Kali ini, pelakunya ada di antara kita.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!